Saintis Berbicara al-Alamu Hadis

Saintis berbicara alamu hadits
Sc: id.pinterest.com

Siapa yang pernah belajar kitab-kitab Tauhid atau Mantik pasti pernah mendapati dalil-dalil yang mengungkap ke-huduts-an alam semesta. Secara ringkas, dalilnya gini: “Alam semesta itu selalu berubah, dan setiap yang berubah itu hadits (adanya setelah tiada), dan setiap yang hadits membutuhkan suatu Dzat yang mengadakannya.” Dari sini, terbentuklah kesimpulan: “Alam semesta ini membutuhkan Dzat untuk mengadakannya.”

Bagi Masisir dan santri yang pernah ngaji masalah ini, tentu tidak asing mengenai pembahasan argumen tersebut. Kalau kamu ragu, silahkan cek sendiri secara lebih terperinci di berbagai kitab tauhid seperti Syarah Kharidah Bahiyyah, Hasyiah Imam Bajuri ‘ala Jauhar Tauhid, Syarah Aqidatul Awam, Silsilah Akidah Imam Sanusi, hingga Qoul Sadid karya syeikh Abu Daqiqah, serta karya-karya lainnya.

Dari hasil ngaji kita ini, mungkin kita punya pikiran yang sama bahwa para ulama kita memiliki keahlian luar biasa dalam merangkai argumen-argumen yang meyakinkan. Setelah membaca dan memahami argumen-argumen tersebut, kita mungkin bilang, “Bener juga ya, alam semesta ini gak mungkin muncul begitu saja. Harus ada Dzat yang menciptakannya.” Demikianlah kesimpulan yang umumnya terbentuk setelah menjalani perjalanan intelektual melalui argumentasi mereka.

Namun, di belahan dunia sana, ada loh orang-orang yang enggan menerima argumentasi semacam itu. Saya punya beberapa teman yang hobi mempelajari filsafat. Mereka telah melahap berbagai buku filsafat dengan segala genrenya. Bagi orang-orang semacam ini, argumen yang terkesan terlalu disederhanakan itu kurang cukup meyakinkan. Bagi mereka, sebuah argumen yang mengarah pada kesimpulan “alam semesta memerlukan pencipta” memerlukan deretan argumen yang lebih rumit dan ilmiah. Argumentasi seperti yang terdapat dalam kitab-kitab Tauhid tadi mungkin terasa kurang “ndakik” bagi mereka.

Dalam dunia tipu-tipu ini banyak sekali manusia yang bermodelan seperti teman saya itu, serius. Mereka berpandangan bahwa para ulama tidaklah otoritatif ketika berbicara tentang dunia alam semesta. Bagi mereka, dunianya para ulama adalah buku-buku agama sehingga tidak layak untuk membicarakan kerumitan alam semesta. Dari cara pandang ini, mereka meragukan argumentasi tentang kebaruan (huduts) alam yang disampaikan bukan oleh ahlinya.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin membagikan beberapa pandangan saintis dunia yang pendapatnya selaras dengan argumentasi yang disampaikan oleh para ulama kita. Dan kalau mereka masih bilang kalau saintis bukan ahli di bidangnya, tempeleng aja kepalanya kawan! Gila aja, para saintis itu telah mengabdikan hari-hari mereka untuk memahami alam semesta ini. Kurang otoritatif apa coba. Kalau bukan mereka yang kita percayai, siapa lagi?

Setelah kamu membaca tulisan ini kamu akan menyadari bahwa argumen yang dihadirkan para ulama kita dan apa yang dibicarakan oleh saintis semuanya kembali pada kesimpulan yang sama bahwa “Tuhan itu mutlak adanya. Kehadiran-Nya adalah keharusan, tidak ada alternatif lain”.

Mari kita mulai!

Dalam perjalanannya melintasi langit-langit malam yang luar, Edwin Hubble, seorang astronom berkebangsaan Amerika, duduk di belakang teleskop raksasanya dengan penuh ketenangan. Dirinya berusaha mencoba memahami rahasia yang tersembunyi di balik cakrawala yang tak terbatas.

Saat dia memperhatikan pergerakan bintang-bintang tersebut, Hubble menemukan sebuah pola yang menakjubkan; bintang-bintang yang ia amati semakin menjauh dari Bumi, dan bahkan saling menjauh satu sama lain. Dia menyadari bahwa alam semesta ini sebenarnya tidak diam, melainkan sedang mengembang, memperluas dirinya tanpa henti.

Bayangkan jika kita bisa memutar balik waktu. Alam semesta ini akan terbalik pula, merapatkan diri menjadi satu titik kecil yang menyusut, hingga akhirnya, tak lebih dari titik nol dengan massa yang tak terbatas. Inilah gambaran dari pengamatan Hubble, membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa ada suatu titik awal dari ketiadaan, suatu titik mula yang melahirkan segala sesuatu.

Dari pemikirannya itu, Hubble menamai konsep ini dengan istilah yang kini begitu akrab di telinga kita; teori Big Bang. Dalam perspektifnya, ini berarti bahwa alam semesta bermula dari satu titik yang meledak dahsyat, kemudian membesar dan berkembang seperti yang kita lihat saat ini.

Namun pertanyaan pun muncul, apakah semua ini terjadi secara kebetulan semata? Apakah ledakan dahsyat ini hanya kejadian alamiah belaka, tanpa ada kekuatan yang mengatur dan mengawasinya??

Ahli fisika matematis, Profesor Paul Davies dari Universitas Arizona di Amerika, telah melakaukan perhitungan mendalam terhadap kondisi yang diperlukan saat Dentuman Besar (Big Bang) terjadi. Hasil perhitungannya mengungkap angka yang sungguh mencengankan dan memukau. Menurut Davies, jika laju pengembangan hanya berbeda lebih dari 10⁻18 detik saja (satu detik dibagi satu miliar kemudian dibagi satu miliar lagi), alam semesta tidak akan terbentuk. Ia menjelaskan kesimpulannya:

“…..jika laju pengembangan berbeda lebih dari 10-18 detik dari semestinya maka sudah cukup untuk memorak porandakan keseimbangan yang rumit tersebut. Energi ledakan alam semesta mengimbangi gaya gravitasinya dengan ketepatan yang nyaris tak dapat dipercaya. Dentuman besar (big bang) jelas bukanlah sembarang ledakan di masa lalu, namun ledakan dengan kekuatan yang dirancang begitu indah.”

Majalah ilmiah Turki, Bilim ve Teknik, mengutip sebuah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terkemuka. Dalam artikel tersebut, terungkap tentang keseimbangan yang sangat fenomenal yang dicapai dalam fase awal eksistensi alam semesta. Kesimpulan yang diusung dari artikel ini adalah “kemungkinan alam semesta terjadi secara kebetulan sama seperti kemungkinan pensil berdiri diatas ujungnya yang tajam selama miliaran tahun”. Boom!! Pensilnya curhat: “Sedetik aja gak kuat bang.”

Semua hasil analisis yang telah dilakukan ini akhirnya menyingkiran semua dugaan bahwa alam semesta ini muncul secara kebetulan semata. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu teratur dan kompleks dapat berasal dari kebetulan belaka? Guna memudahkan pemahaman kita, mari kita resapi sebuah analogi menarik yang digunakan untuk memperjelas bahwa kemunculan alam semesta secara kebetulan adalah hal yang mustahil.

Kita bayangkan Big Bang yang menjadi cikal bakal segala keteraturan di dalam planet dan seluruh kosmos ini sebagai ledakan-ledakan yang lazim kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ketika meledakkan dinamit atau petasan, apa yang kita dapatkan hanyalah serpihan-serpihan remeh yang tak bermakna. Tak mungkin bukan? Dari ledakan itu kita akan mendapati rumah indah dengan segala perabotannya yang lengkap nan megah ditambah dengan seperangkat alat-elektronik yang berfungsi dengan sempurna. Mustahil!!

Coba bayangkan lagi! Kita berada di puncak sebuah gedung setinggi 100 lantai, membawa 1000 pulpen kaligrafi untuk dilemparkan ke bawah. Lalu, di bawah telah disiapkan kertas raksasa, menantikan kedatangan pulpen-pulpen itu. Setelah dilemparkan dari ketinggian, muncullah kaligrafi Bahasa Arab dengan khat kufi yang sangat indah memesona. Bisakah akal kita memercayai hal-hal tersebut!?

Sama dengan penciptaan alam semesta, adalah suatu kemustahilan bila semua keteraturan di dalam alam semesta ini terjadi secara kebetulan. Oleh karena itu, adalah suatu kepastian bahwa alam semesta melibatkan suatu desain yang Maha Sempurna dan Maha Tepat. Semua ini terjadi karena adanya penciptaan yang disengaja dan direncanakan oleh Sang Pencipta. Hal ini menjadi kesimpulan umum para ilmuwan dan astronom, termasuk ilmuwan dan astronom yang berpaham materialisme yang tidak mengakui adanya Sang Pencipta.

Seperti H.P. Lipson, seorang materialis asal Inggris, ia menerima kebenaran penciptaan, meskipun ‘tidak dengan senang hati’, ketika dia berkata:

“Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul?… Namun saya pikir, kita harus mengakui bahwa satu satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya”.

Andrei Linde, seorang profesor kosmologi berpendapat:

Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun, bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah?

George Greenstein, Professor dalam bidang astronomi menyimpulkan:

Kekuatan supranatural pasti terlibat…

Walhasil, semua fakta yang telah diuraikan tadi tidak menyisakan ruang kemungkinan bahwa alam semesta ini tercipta secara kebetulan. Keberadaan sesuatu yang lain yang mengatur dan mengendalikan alam semesta yang begitu teratur ini mutlak dibutuhkan. Sesuatu yang lain ini pastilah bukan ciptaan, dan memiliki kekuatan yang Maha Dahsyat, yang tak pernah bisa dilukiskan oleh manusia. dialah Sang Pencipta (The Creator).

Pada akhirnya, argumen cemerlang para ulama kita dan penelitian mendalam saintis dunia menggelinding pada satu natijah yang sama, bahwa: Tuhan itu ada, atau bisa kita katakan bahwa TUHAN ITU HARUS ADA. Sang Pencipta mutlak adanya. 

Nah pertanyaan selanjutnya, siapa Tuhan yang harus ada itu? Siapa Tuhan yang menciptakan alam semesta sangat presisi ini? Dari segala Tuhan yang diklaim dan dipercayai oleh berbagai agama, mengapa harus Allah yang kita pilih sebagai kebenaran?

Selamat ber-overthinking-ria. Tabik!

Oleh: Ahmad Muzayyin Ali Syariati

Editor: Rifqi Taqiyuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *