Oleh: Ahmad Arif Avianto
Penulis adalah kru Website Manggala 2023-2024
Berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah umrah adalah impian setiap muslim. Bagaimana tidak, ia merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak keutamaan. Karenanya, tak heran keinginan masyarakat muslim pergi ke tanah suci guna menunaikan ibadah umrah pun selalu tinggi setiap tahunnya, terutama pasca ibadah haji dilaksanakan.
Bukan tanpa alasan, waktu tersebut dipilih karena beberapa pertimbangan. Sebut saja pengunjung tanah suci yang tidak terlalu ramai, tiket pesawat yang lebih murah, serta harga sewa penginapan yang lebih ramah di kantong meskipun cuaca sedikit lebih panas. Hal yang sama pun berlaku bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir (red:Masisir). Dengan berbagai pertimbangan tersebut, akhirnya banyak Masisir yang memilih menetap di tanah suci dalam jangka waktu yang cukup lama sembari menghabiskan masa liburan musim panasnya.
Stereotip Umrah Masisir
Sebagaimana yang sudah disebut di muka, umrah adalah ibadah yang mulia dan sangat dianjurkan. Bahkan, menurut Imam Syafi’i ibadah tersebut masuk dalam kategori wajib yang harus dilaksanakan seorang muslim setidaknya sekali seumur hidup. Namun sayangnya, belakangan ini ketika mendengar kata umrah, stereotip yang muncul di benak sebagian Masisir bukanlah ibadah, melainkan iming-iming penghasilan yang besar.
Lalu, bagaimana awal mula stereotip ini muncul? Stereotip ini penulis duga awalnya muncul pada akhir 2022, ketika banyak Masisir yang berpulang dari Saudi memberikan testimoni betapa mudah dan berlimpahnya penghasilan yang mereka dapatkan di sana. Entah dengan menjadi tour guide/muthowwif dan menyediakan layanan jasa seperti badal umrah, dorongan, dan wakaf Al-Qur’an. Bahkan mahasiswa yang pulang dari Saudi, kompak membeli barang-barang mewah. Akhirnya, ramailah Masisir berangkat ke Saudi karena tergiur keuntungan yang serupa.
Bandwagon Effect dan Sikap Materialistis
Ditinjau dari aspek psikologi, fenomena ini disebut dengan bandwagon effect. Yaitu, kecenderungan individu untuk mengikuti sesuatu ketika banyak individu lain yang melakukannya, alias ikut-ikutan, atau dalam bahasa Sunda disebut tuturut munding. Hadirnya bandwagon effect ini pada dasarnya dapat memberikan dampak positif dan negatif tergantung tren apa yang diikuti dan bagaimana menyikapi tren tersebut. Dalam kasus ini, berbondong-berbondongnya Masisir berangkat umrah bisa menjadi pengaruh positif dan negatif, tergantung bagaimana pelaku menyikapi tren tersebut.
Fenomena psikologi lain yang menjadi perhatian khalayak ramai adalah tren membeli barang mewah sepulang dari Saudi. Fenomena ini tidak terlepas dari mindset materialistis yang secara tidak sadar dimiliki oleh sebagian Masisir. Richins dan Dawson (1992) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa salah satu anggapan utama individu materialistis adalah possession-defined Success. Possession-defined success sendiri berarti keyakinan bahwa barang milik dan uang merupakan alat ukur untuk mengevaluasi prestasi diri dan juga orang lain. Dalam hal ini, untuk memvalidasi pundi-pundi yang mereka dapatkan dan bukti mereka pernah ke Saudi, barang mewah menjadi tolok ukurnya.
Kalau kita cermati, bandwagon effect dan sifat materialistis ini ternyata memiliki korelasi dan saling memengaruhi satu sama lain. Tren membeli barang mewah sepulang dari Saudi tidak terlepas dari banyaknya individu yang melakukan hal serupa sehingga membuat individu setelahnya yang berpulang dari Saudi, mencontoh perilaku serupa. Meskipun awalnya individu tersebut tidak memiliki keinginan untuk membeli barang-barang mewah, pengaruh dari lingkungan sekitar, kebiasaan yang diwariskan, serta validasi atas keberhasilan mereka menjadi penyebab mereka akhirnya membeli barang tersebut.
Kekhawatiran yang muncul akibat dua fenomena ini adalah bukan tidak mungkin dapat menjadi kebiasaan dan dianggap wajar di lingkungan masisir. Kebiasaan ikut-ikutan dapat berujung pada fenomena FoMO (Fear of Missing Out) yang menempatkan tren sebagai patokan. Sementara bibit-bibit sifat materialistis yang disebarkan oleh kebiasaan ikut-ikutan dapat menghasilkan pemikiran yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan, kesuksesan, dan keberhasilan pencapaian seseorang.
Bijak dalam Bertindak
Sah-sah saja memang membeli barang-barang mewah sebagai bentuk apresiasi diri. Akan tetapi, perlu kita pastikan dulu bahwa kebutuhan yang lebih mendesak harus lebih dulu didahulukan. Karena apresiasi diri tidak termasuk kebutuhan primer alias prioritas kedua. Akan lebih bijak jika sebelum mengapresiasi diri, pelaku lebih dulu memenuhi kebutuhannya. Apalagi jika tujuan membeli barang mewah hanya untuk ikut-ikutan dan gengsi semata.
Kebiasaan mengikuti tren memang tidak dapat dilepaskan pada era digital saat ini. Oleh karena itu, perlu kesadaran serta kebijaksanaan dari para pelaku tren dalam menyikapi setiap tren yang akan diikuti. Berangkat umrah berjamaah merupakan salah satu contoh tren positif yang mesti dipertahankan. Akan tetapi, berangkat umrah hanya karena tergiur besarnya keuntungan dan menjadikan barang sebagai validasi setelah berangkat bukan perilaku yang dapat dibenarkan. Karena seperti ibadah lain, umrah tidak dapat dilaksanakan hanya semata karena mengejar keuntungan. Hati yang bersih serta niat yang ikhlas niscaya mengantarkan kita mencapai umrah yang memberikan kebajikan.
Editor: Muhammad Rifqi Taqiyuddin