Tadabur Hayawan Natiq dalam Ilmu Mantik

Tokoh dai internasional, Nouman Ali Khan menghadirkan interpretasi menarik terkait dengan makna kata “tadabur”. Dalam salah satu kanal YouTube miliknya, beliau merinci perbedaan esensial antara “tafsir” dan “tadabur”. Menurutnya, tafsir berfungsi sebagai upaya untuk menggali makna dari setiap kata dan kalimat yang tersusun dalam Al-Quran. Sementara itu, tadabur dianggap sebagai suatu wujud usaha untuk meresapi makna yang telah kita pahami, dengan tujuan mengimplementasikannya dalam keseharian kita.

Dengan merujuk pada makna tadabur tersebut, saya tertarik untuk menadaburi makna hayawan natiq, yang secara konsisten dijadikan contoh dalam ilmu Mantik. Hampir seluruh korpus literatur ilmu Mantik, dari berbagai tingkat keilmuannya, selalu menggunakan kalimat hayawan natiq sebagai perumpamaan. Fenomena ini serupa dengan penggunaan contoh Zaid yang selalu memukul ‘Amr dalam literatur ilmu Nahwu. Sebuah kejadian kriminal yang memilukan.

Ya, hayawan natiq pada hakikatnya, mencerminkan esensi manusia. Manusia—meminjam terjemahan Fahruddin Faiz—adalah binatang yang berakal budi. Kita adalah entitas yang memiliki sifat ke-binatang-an dan dibekali dengan kemampuan berpikir yang canggih. Kita mungkin telah lama mengetahui makna ini, namun apakah kita telah sungguh-sungguh menadaburinya? Apakah kita pernah merenung secara mendalam terkait makna “hayawan” dan “natiq”, serta menerapkannya dalam keseharian kita? Saya ragu.

Karena itulah, melalui tulisan ini, saya bermaksud untuk membagikan hasil refleksi saya terhadap makna hayawan natiq kepada para pembaca yang bijaksana. Lebih dari sekedar menjadi contoh, saya berupaya agar makna ini menjadi pengingat akan hakikat diri kita sebagai manusia. Karena jujur saja, terkadang saya merasa bosan sekali dengan contoh klise yang muncul dalam buku-buku Mantik. Hayawan natiq lagi, hayawan natiq lagi. Namun, setelah merenung sejenak dan tenggelam dalam lautan makna kata ini, saya menyadari bahwa kata ini memiliki daya hidup dan kekuatan filosofis yang luar biasa.

Dalam proses refleksi pribadi ini, saya banyak dibantu oleh buku yang pernah saya baca (dan saya baca kembali) saat saya duduk di kelas 11 Madrasah Aliyah. Buku itu berjudul “Al-Nidzam Al-Ijtimaii fi Al-Islam” karya Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani. Meskipun beliau merupakan figur kontroversial di kalangan umat Islam, kita sebagai pembelajar sudah seharusnya berusaha untuk melihat suatu permasalahan secara objektif. Kita dituntut untuk memahami substansi dari suatu pernyataan tanpa terperangkap dalam jurang cacat logika yang acap dimasuki sementara manusia, seperti argumentum ad hominem.

Mari Tadabur!

Tadabur kata Hayawan

Hayawan”, sebagai genus yang membentuk esensi manusia, menciptakan keterkaitan yang mendalam antara kita dengan dunia binatang. Dengan kata lain, terdapat unsur-unsur mendasar dalam hakikat kita yang senada dengan entitas lain yang berada di bawah genus yang sama. Pertanyaanya pun muncul: unsur-unsur apa yang kita bagi bersama denga hewan? Jawabannya dapat dirinci menjadi dua: kebutuhan jasmani dan kebutuhan naluri. Kedua aspek ini melingkupi seluruh spesies di bawah payung genus “hayawan”.

Sederhananya, kebutuhan jasmani (al-haajah al-‘udwiyyah) merupakan kebutuhan dasar yang timbul dari tuntutan tubuh makhluk hidup. Makan, minum, buang air besar dan kecil adalah contoh nyata dari kebutuhan dasar jasmani bagi manusia dan hewan. Sementara itu, kebutuhan naluri (gharizah) merupakan insting atau tanggapan terhadap rangsangan yang telah ada sejak kelahiran (fitrah) manusia dan hewan.

Penting untuk diingat bahwa naluri ini terbagi menjadi tiga macam: 

  1. Naluri bertahan hidup (gharizah al-baqa’): nampak pada upaya-upaya manusia atau hewan dalam mempertahankan eksistensi dirinya. Ketika manusia atau hewan merasa terancam atas sesuatu, maka ia akan mengaktikfkan naluri pertahanan hidupnya, entah itu dengan lari dari ancaman atau melawan.
  2. Naluri menyembah sesuatu/beragama (gharizah al-tadayyun): nampak pada penyembahan dan penyucian manusia terhadap sesuatu. Karena secara fitrah, manusia dan hewan sadar akan kelemahan dirinya sendiri. Ia membutuhkan entitas lain yang lebih kuat dan unggul dari dirinya agar ia merasa tenang dan terlindungi. Orang ateis yang terkesan tidak menyembah sesuatu, sebenernya masih memenuhi dorongan naluri mereka. Karena yang mereka sembah dan puja adalah pemikiran dan tokoh-tokoh idolanya.
  3. Naluri melestarikan jenis (gharizah al-nau’): bisa terlihat dari upaya-upaya manusia dan hewan untuk melestarikan jenisnya agar tidak punah. Rasa suka terhadap lawan jenis, rasa sayang ibu kepada anaknya, juga keinginan terhadap hubungan seksual adalah wujud nyata dari naluri ini.

Perbedaan esensial antara kebutuhan jasmani dan naluri memerlukan pemahaman yang cermat. Salah kaprah dalam membedakannya dapat mengarah pada penyejajaran antara kebutuhan jasmani dan naluri, yang sebenernya memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini tercermin dalam beberapa aspek: 

Pertama, penyebab kebutuhan jasmani berasal dari dalam tubuh manusia (faktor internal). Sementara naluri dipicu oleh rangsangan dari luar tubuh manusia (faktor eksternal).

Kedua, dorongan kebutuhan jasmani timbul dari kebutuhan organ tubuh manusia. sementara dorongan naluri muncul akibat rangsangan realitas atau pemikiran dan khayalan.

Ketiga, kebutuhan jasmani wajib dipenuhi. Karena ketidakpenuhannya dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian. Sementara itu, naluri tidak wajib dipenuhi dan hanya akan menimbulkan perasaan pusing dan gelisah jika diabaikan.

Dengan mentadaburi makna “hayawan” ini saja, kita dapat menolak pandangan Barat yang menyatakan bahwa seks adalah kebutuhan hidup manusia. Sebagai umat Islam, kita perlu menyatakan dengan tegas bahwa seks bukanlah kebutuhan jasmani, melainkan murni naluri. Ini terbukti dengan fakta bahwa ketidakpenuhannya naluri ini tidak menyebabkan kerusakan fisik atau kematian.

Banyak ulama, seperti yang diceritakan oleh Syekh Abu Ghuddah dalam karyanya “al-‘Ulama al-‘Uzzab” (Ulama yang Menjomblo) hidup sehat dan bahagia tanpa memenuhi naluri ini (alias tanpa menikah). Berbeda dengan kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum yang jika tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan kebinasaan.

Dalam prakteknya, perbedaan ini mampu membantu kita mengidentifikasi suatu dorongan dalam diri. Sebagai contoh, jika seorang laki-laki terangsang karna realita (baca: perempuan) yang ia lihat, atau pikiran yang tidak senonoh, ia dapat mengidentifikasi bahwa itu adalah naluri. Naluri tidak wajib dipenuhi. Jika laki-laki tadi tidak memenuhi dorongan tersebut, ia hanya akan merasa pusing dan gelisah, yang dengan seiring waktu dua hal itu akan hilang.

Dalam kasus ini, kita dapat menggunakan pendekatan terbalik. Jika seseorang tidak ingin naluri seksualnya terangsang, maka minimalisasilah pandangan dan pikiran terhadap hal-hal yang dapat memicu naluri tersebut. Dari sini seharusnya kita dapat memahami dan merasakan kagum nan bangga terhadap syariat Islam yang mewajibkan setiap laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan mereka. Subhanallah!

Lantas, bagaimana posisi “natiq” dalam hakikat diri kita? Mari kita renungkan!

Tadabbur kata Natiq

Kata “natiq” adalah differencia (fasl) dari definisi manusia. Ia berfungsi membedakan manusia dari spesies lain di bawah genus “hayawan”. Yang artinya, sifat “natiq” atau kemampuan berpikir ini khusus dimiliki oleh manusia.

Akal yang dimiliki oleh manusia berperan penting dalam banyak aspek. Salah satunya ialah cara manusia memenuhi setiap dorongan dalam dirinya. Ketika hewan ingin makan, ia makan di mana pun makanan tersebut tersedia. Jika ingin membuang kotoran, hewan melakukannya di mana saja tanpa mempertimbangkan etika. Begitu juga dengan keinginan berhubungan dengan lawan jenisnya, hewan melakukannya tanpa mengenal tempat karena ia tidak memiliki akal.

Berbeda dengan hewan, manusia menggunakan akalnya untuk merenungkan cara terbaik memenuhi dorongan tersebut. Manusia memikirkan apakah suatu tindakan benar atau salah, baik atau buruk. Ia tidak sekedar memakan makanan tanpa mempertimbangkan hak milik. Ia tidak akan mau membuang kotoran sembarangan. Ia juga tidak akan memenuhi naluri seksualnya di tempat terbuka layaknya hewan. Semua keputusan ini dipandu oleh akal yang ia miliki.

Namun disayangkan, bahwa akal yang dimiliki dan dibanggakan oleh manusia tidaklah sempurna. Menurut perkataan Syekh Abu Daqiqoh dalam karyanya “al-Qoul al-Sadid”, bahwa akal ini tidak mampu untuk mencapai kebanaran hakiki secara independen. Manusia memerlukan informasi “Maha Benar” yang menjelaskan mana yang baik dan buruk, serta mana yang benar dan salah dalam hidup dan dirinya.

Walakhir, semoga proses tadabur panjang kita terhadap makna “hayawan natiq” ini dapat menjadi pengingat yang menyentak akan hakikat diri kita sebagai manusia.

Tabik!

Oleh: Ahmad Muzayyin Ali Syariati

Penulis adalah kru Website Manggala 2023-2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *