Paradoks Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri

(Sc: arabnews.com)

Oleh: Faiz Abdurrahman

Penulis adalah Anggota Pimpinan Usaha Manggala 2022-2023

Memasuki Ramadan, lumrah rasanya kita mendapati orang-orang penuh gembira, baik memang hakikatnya begitu, ataupun hanya sekedar dibuat-buat. Beragam hal dilakukan sebagai bentuk ekspresi, di Jawa Barat misalnya kita mengenal “munggahan” yaitu semacam makan bersama satu dua hari sebelum akhirnya wajib berpuasa. Di Mesir, kita menyaksikan lentera warna-warni dan pernak-pernik bertuliskan “Ramadan Karim” menghiasi gedung dan jalan. Berbagai bentuk ekspresi lain yang tak kalah menarik seperti menembakkan meriam di Lebanon, menabuh drum sahur di Turki, dan lain sebagainya.

Kesempatan dalam meramaikan bulan ini turut dimanfaatkan oleh lembaga dan organisasi. Program-program melimpah seperti buka bersama, bagi-bagi takjil, Kultum Ramadan, dan acara lainnya baik offline maupun online yang meski terkadang jumlah peserta yang hadir sangat memprihatinkan. Ibadah-ibadah baik bersifat vertikal juga horizontal kita saksikan. Terlebih di Mesir, sebuah ungkapan “Tidak akan kelaparan orang yang memilih Mesir sebagai destinasi Ramadan” begitu terasa nyata, sebab ibadah horizontal berbentuk berbagi terhadap sesama amat begitu kental, di mana orang-orang dengan suka rela membagikan, baik berupa Syantah Ramadan, uang tunai, makanan berbuka, atau bahkan sekedar kurma untuk takjil di jalan.

Usai berpuasa, kemudian kita memasuki Hari Raya Idul Fitri, di mana umat islam di seluruh dunia berjamaah merayakan. Seperti kata Buya Hamka, “Jika ingin melihat orang islam maka lihatlah ketika hari raya idul fitri, itulah orang islam. Tetapi jika mau melihat orang beriman maka datanglah ke masjid ketika shalat subuh.” Pada momen ini, kita dapat menyaksikan muslim dari beraneka ragam sosok dan budaya tumpah ruah menggemakan takbir dan berjamaah melaksanakan shalat Id, bersyukur atas kemenangan besar yang telah diperoleh setelah menjalankan puasa Ramadan.

Ramadan Bukan Bulan Yang Paling Baik, Lantas?

“Bulan Ramadan adalah bulan yang paling mulia, di dalamnya terdapat malam lailatul Qadar yang lebih baik daripada malam seribu bulan, beribadah di bulan ini akan dilipat gandakan berkali-kali lipat”. Begitulah kiranya kalimat pamungkas yang selalu digaung-gaungkan baik sebelum maupun saat bulan Ramadan, baik di mimbar-mimbar ataupun di media sosial.

Dalam kitab Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani mengisahkan ada seorang Badui bertanya kepada sahabat yang dikenal dengan ahli tafsir, Abdullah bin Abbas mengenai tiga hal. “Hari apa yang paling baik? Bulan apa yang paling baik? Dan amalan apa yang paling baik?” Kemudian beliau menjawab bahwa hari yang paling baik adalah hari Jumat, bulan yang paling baik adalah bulan Ramadan, dan amalan yang paling baik adalah Salat.

Setelah Ibnu Abbas wafat, tiga hari setelah itu Sayyidina Ali mendengar jawaban yang disampaikannya, kemudian berkomentar. Bahwa menurut Sayyidina Ali, andai para ulama, filosof, ahli fikih, dan sebagainya ditanya terkait pertanyaan di atas, maka tentu akan menjawab hal yang sama seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Abbas.

Menanggapi jawaban Ibnu Abbas, beliau berkata “Hari yang paling baik adalah hari di mana kita bertemu dengan Allah dalam kondisi yang paling ideal (Husnul Khotimah). Bulan yang paling baik adalah bulan yang di dalamnya kita bertaubat, banyak mengerjakan kebaikan, dan sedikit mengerjakan keburukan. Dan amalan yang paling baik adalah amalan yang diterima oleh Allah SWT.”

Menyimak kisah di atas, dirasa atau tidak, hari ini kita mendapati ketimpangan antara bulan Ramadan dengan bulan lainnya. Barangkali kita tahu seorang muslim atau kita sendiri mempunyai persepsi “Males baca Quran ah, kan sekarang udah bukan Ramadan”, “Banyak shalat malamnya nanti aja pas Ramadan”, “Ngapain banyak berbagi, nanti aja pas Ramadan biar berlipat ganda”, atau “Taubat dan maaf-maafnya nanti aja pas lebaran”, seakan mengetahui secara pasti bagaimana kebijakan Allah SWT dalam memberikan ganjaran.

Lebih fatal lagi, jika salat kemudian dijadikan sebagai patokan atas segala macam ibadah. Di mana seorang dianggap banyak beribadah bergantung kepada seberapa banyak dalam melaksanakan salat. Seolah ia menafikan berbagai bentuk ibadah lain yang bersinggungan dengan kemaslahatan alam. Maka jawaban sufistik Sayyidina Ali, bahwa sebaik-baiknya amalan adalah yang diterima oleh Allah, menjadikan kita lebih bergairah lagi dalam menjalankan berbagai kebaikan. Sebab bisa jadi senyuman kepada orang lain lebih baik daripada salat yang dikerjakan.

Jawaban anti-mainstream yang dilayangkan Sayyidina Ali tentu bukan berarti menyimpulkan bahwa bulan Ramadan bukan bulan yang paling baik. Jika kita perhatikan seksama, keduanya hanya berbeda sudut pandang. Sayyidina Ali seperti ingin menekankan bahwa di hari apapun kalian, di bulan apapun kalian, tetap terus semangat dalam melaksanakan ibadah dengan amalan apapun bentuknya, sungguh bulan paling mulia bisa kalian ciptakan sendiri. Dalam konteks sedekah misalnya, bisa jadi banyak orang membutuhkan dan mengharapkan, tetapi karna orang-orang berpikiran hanya afdal memberikannya pada bulan Ramadan saja, sehingga banyak kelaparan melanda. Terlebih tentu sebagai seorang thalib (penuntut ilmu) di Mesir, banyaknya musa’adah adalah sebuah harapan agung nan istimewa.

Baca Juga: “Ramadan dan Sekat Kaya-Prasejahtera

Idul Fitri Bukan Hari Kemenangan

Setelah purna berpuasa, tepatnya hari Jumat kemarin, barulah kita memasuki hari di mana banyak kita mendengar “Hari ini adalah hari kemenangan, hari sama-sama kita saling bermaaf-mafaan dan berbahagia”, yakni hari Raya Idul Fitri 1444. Kendati sebelum itu, beberapa masisir ada saja yang tetap keukeuh salat Taraweh pada Kamis malam dan berpuasa di hari Jumat sebab mengikuti madzhab di Indonesia yang menyelenggarakan lebaran pada hari Sabtu.

Prof. Quraish Shihab (QS) mempertanyakan terkait apa yang dimaksud dengan hari kemenangan. Apakah kemenangan yang dimaksud itu adalah menang melawan hawa nafsu? Atau menang melawan Setan? Ketika kita merujuk dari mana lafadz menang ini berasal, kita sendiri kerap mengucapkan “Minal aidin wal faizin”. Di sana terdapat lafadz faizin yang diartikan dengan kemenangan. Menurut Prof. Qurasih Shihab ini salah kaprah, lafadz “faizin” dalam al-quran terdapat dua puluh kali, dan sembilan belas di antaranya bermakna diampuni dosa dan masuk surga.

Riwayat lain menyatakan bahwa kalimat tersebut dicetuskan oleh Penyair Spanyol lalu diucapkan kembali setelah kaum muslimin memenangi Perang Badar. Terlepas dari itu, sebenarnya Prof. Quraish Shihab ingin mempertegas bahwa jangan pernah menduga Idul Fitri itu adalah hari kemenangan, sebab kemenangan membuat kita leha-leha dan merasa bangga. Sebagaimana saat kita bermain game, ketika sudah sampai pada level puncak, maka akan timbul rasa puas dan malas, sebab merasa tidak ada lagi yang dapat dilanjutkan.

Rasulullah mengajarkan “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum” Sebagai doa agar diterima segala amal, bukan sebuah keyakinan amalan kita akan diterima. Perjuangan melawan setan dan hawa nafsu idealnya tidak mengenal kata henti hingga kita meninggal. Ketika keyakinan menang itu berada dalam diri, bisa jadi dirinya itu sebenarnya telah kalah, sebab setan mahir sekali dalam memperindah hal yang buruk. Sebagaimana dalam Al-Quran “Zayyana lahumusy-syaiṭānu a’mālahum”.

Memaknai Idul Fitri sebagai hari perayaan juga dikomentari oleh Cak Nun. Beliau mempertanyakan terkait apa yang kita rayakan? Mengapa kita berbahagia setelah meninggalkan bulan Ramadan? Bukankah seharusnya perayaan itu idealnya pada bulan Ramadan? Atau jangan-jangan kita berbahagia karena telah meninggalkan Ramadhan? Dalam memaknai Idul Fitri, Cak Nun melihat memang terdapat dua pengertian, bisa diartikan kembali untuk makan di siang hari setelah kita sebelumnya wajib berpuasa, atau kembali kepada fitrah, yakni suci sebagaimana dilahirkan pertama kali, merenungi terkait bagaimana sejatinya kehidupan ideal yang mesti dijalankan sembari merubah diri menjadi lebih baik.

Epilog

Menyegarkan ingatan lagi terkait tujuan diciptakan, bahwa ibadah bukan hanya soal hubungan dengan Allah SWT (vertikal) semata seperti salat atau membaca al-Quran, melainkan juga segala sesuatu yang dialokasikan untuk kemaslahatan makhluk hidup (horizontal). Contohnya seperti belajar hingga menjadi pakar, lalu mengajarkan sehingga banyak orang menjadi sukses pada bidangnya. Pun dalam berbisnis, hingga memperoleh banyak uang, sehingga banyak orang dapat terbantu. Begitu juga menjadi politisi, banyak orang dapat terbantu oleh kebijakan yang diputuskan, dan berbagai macam bidang lainnya.

Bulan suci Ramadan yang kita dapati setahun sekali ini sangat ideal jika kita jadikan sebagai ajang reflektif tentang apa yang telah lalu dilakukan dan mengembalikan pula standar kehidupan kepada derajat yang lebih baik lagi. Sudah sejauh mana kiranya tujuan untuk ibadah ini tercapai? Kemudian, setelah berakhirnya Ramadan, seberapa konsisten kah kita dalam menjalan kebaikan? Sebab di antara indikator suksesnya Ramadan adalah lebih meningkatnya amalan ibadah kita, serta meningkatnya semangat dalam memberikan manfaat untuk makhluk hidup.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *