Festaphoria, Pentas Musikus Masisir yang Semestinya Diapresiasi

Pentas Musikus Masisir
Sc: istockphoto.com

Ragam latar belakang menjadi fakta nyata kemajemukan Masisir. Jadi yaa mbuat santai aja Festaphorians!

Kontroversi selalu menarik perhatian publik, di sela-sela ruwetnya pikiran menjelang ujian, pas sekali topik hangat siap santap tersajikan. Bahasan yang gurih berhasil mendinamiskan tongkrongan, apalagi setelah tulisan kawan saya terbit, berjudul “Festaphoria di Antara Dua Kata” yang kemudian menggemparkan jagat permasisiran karena views-nya telah melebihi 4.000. Tulisan yang mewakili sebagian warga Masisir itu membuat saya ingin berkomentar, setidaknya viewers saya melampaui sedikit lah ya.

Keberagaman Masisir mendorong munculnya pikiran-pikiran variatif yang kemudian memicu pelbagai ekspresi. Sebagai fitrah manusia, ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam berekspresi, tujuan dan instrumen dalam menggapai tujuan. Dalam konteks Festaphoria, panitia mengungkap tujuan diadakannya adalah untuk mewadahi mahasiswa yang mempunyai bakat di bidang musik sekaligus menghibur audiens yang hadir. Kemudian dalam proses menempuh tujuan, acara ini diadakan di Masrah Galal Syarqawi, Ramses berupa konser musik. 

Alasan Kegelisahan Saya

Lazimnya, hierarki Masisir dalam bermusik itu bermula dari membeli alat musik lalu memainkannya di rumah, kemudian jika dirasa sudah mumpuni ia mulai bermain bersama kawannya, dan jika sudah merasa percaya diri, ia memberanikan tampil di acara-acara Masisir, dan jika kepercayaan dirinya itu sudah jauh melampaui, ia akan mencari atau membuat wadah yang lebih besar lagi untuk berekspresi, dalam konteks ini berbentuk konser musik. 

Ada kepuasan tersendiri saat kita dapat menjawab pertanyaan, terlebih lagi jika dapat menjawab semua pertanyaan ketika ujian di Al-Azhar. Begitu pun juga perasaan para musikus Masisir ketika mampu mencapai level puncak, tampil sebagai partisipan dalam konser Festaphoria. Berhak sekali mendapatkan apresiasi atas latihan dan kerja kerasnya yang konsisten selama ini. 

No debate, mengenai tujuan yang diungkap panitia, konser yang menjadi perdebatan ini merupakan manifestasi kualitas seni Masisir, al-fann atau seni menjadi terma untuk menyebut ilmu pengetahuan dalam Islam setelah ilmu dan ma’rifat. Maka konser sebagai puncak pentas seni yang mempertontonkan kompetensi musikus Masisir ini semestinya dinilai positif.

Mari Bersikap Adil

“Mahasiswa Al-Azhar tak harus melulu jadi ustaz, ulama, kiai atau semacamnya, yang terpenting nilai-nilai Al-Azhar itu diaplikasikan dan disebarkan.” Saya rasa ungkapan ini telah banyak dibahas, pun menyoal lagu religi nampaknya juga sudah tuntas. Selanjutnya terkait lagu yang disenandungkan dalam Festaphoria, non-religi itu apakah tidak pantas bagi Masisir melantunkannya?

Di sini saya melihat adanya relasi kuasa, yaitu dominasi subjektifitas Masisir yang dihinggapi oleh ungkapan keharusan menjadi ulama, dengan sesuatu yang berlainan. Jika mengamini Masisir ngga harus menjadi ulama, maka upaya untuk mencapai profesi lain perkembangannya perlu juga didukung, ngga semestinya dipertentangkan selama ngga bentrok dengan syariat.

Tidak adanya panduan etika musikus dan etika audiens tertulis dalam Festaphoria ini yang mesti diperhatikan panitia, kita fair saja disini yang barangkali ini dapat menjadi bahan evaluasi. Perihal apa yang boleh dan tidak boleh dan lain sebagainya menjadi aturan yang harus dirumuskan. Bukan konsernya yang dibumi hanguskan, tetapi ketentuan-ketentuan didalamnya yang mesti dimatangkan dan diindahkan. 

Di lain sisi, standar “kepantasan” memang dapat membatasi ruang-ruang dalam mendakwahkan nilai-nilai Al-Azhar. Misalkan dalam musik, seandainya bermusik itu yang religi saja, lalu bagaimana agamawan dapat menjangkau mereka yang hari-harinya bermusik non-religi dan ngga biasa mendengar lagu religi, juga ngga biasa mendengarkan ceramah, gimana proses mendakwahinya? Tentu ada langkah adaptasi yang harus ditempuh. 

Mari coba lihat konteks Muhammad Salah Sang Maestro Bola asal Mesir. Departemen Sains Politik Universitas Stanford membuat riset yang menghasilkan bahwa tingkat islamophobia di Inggris menurun hingga 18,9 persen sejak ia bergabung di Premier League bareng Liverpool. Begitupun halnya dengan Muhammad Ali dan Khabib Nurmagedov, Petinju muslim-professional yang sukses dan terkenal. Lama kita kenal juga, Putri Ariani, penyanyi muslim Indonesia yang meraih Golden Buzzer di America’s Got Talents berhasil mengharumkan nama Indonesia. 

Andaikan sebelum sukses, Mo Salah itu Masisir yang setiap hari main futsal di Nadi Qoumi, Khabib dan Ali itu yang tiap hari mengikuti latihan boxing dan ikut menjegal haromi Sudan, barangkali juga akan mendapati hal yang sama, persepsi orang akan memandang biasa saja atau bahkan sebelah mata. Kemudian, andaikan juga jika Putri itu berkuliah di Al-Azhar, betapa bangganya Al-Azhar atas pencapaian anak didiknya itu.

Selanjutnya qaala netizen, lho berarti Al-Azhar bukan universitas yang pas untuk dijadikan tempat belajar bagi kalangan demikian. Lah justru dengan kemajemukan itu, nilai-nilai Al-Azhar dapat tersebar ke dalam lingkup yang lebih luas, selama proses pembelajaran terus dijalankan, dan bakatnya terus berkembang hingga pulang ke tanah air, maka proses dakwah justru akan lebih efektif dijalankan. Nilai dakwahnya lho yang ditekan, kalau soal kualitas individu mah, yaa urusan masing-masing.

Watak Tendensius

Bayangkan saja jika di pikiran seniman dihantui oleh bayang-bayang “kepantasan”, maka perkembangannya ngga akan seprogresif itu. Emang boleh? Bedakan mencederai muruah (harga diri) orang yang ingin menjadi agamawan dan yang lain. Karena citra saat menjadi tokoh agama memang harus terjaga, berbeda dengan tokoh lain, selama kualitasnya tinggi, maka muruah nya itu akan terlampaui oleh kualitas. Sehingga orang-orang akan tetap menghormati.

Saya ngga bisa membayangkan jika Syekh kita di Al-Azhar itu bermain musik, bernyanyi, menari, berteriak menyapa penonton. Jika hal itu menjadi ngga pantas, lalu bagaimana seni musik itu dapat berkembang? Seniman seperti Sudjiwo Tejo misalkan, dia berjoget dengan wayangnya, orang-orang tetap respek karena kualitasnya telah mencapai tahap profesional. 

Seni biarlah berkembang pesat, ngga elok dibatasi oleh rambu-rambu kepantasan, selama instrumennya tidak bertentangan. Proses dakwah dapat beragam, semakin orang berkualitas maka potensi memberikan pengaruhnya semakin tinggi, sebagaimana Moh Salah yang masuk kedalam daftar 50 muslim dunia yang paling berpengaruh dirilis The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), hal ini ngga menafikan terjadi dalam bidang yang lain.

Syaikh Muhammad Syaltut, menganggap bahwa “musik adalah salah satu kesenangan naluriah hidup, seperti sentuhan pakaian lembut, rasa makanan yang enak, atau bau yang harum.” Jika olahraga adalah kebutuhan jasmani, beribadah ialah kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan kebutuhan rasa. Memang ada seni yang menjerumuskan pada kehinaan, tetapi banyak pula yang menjerumuskan manusia sampai pada derajat kemuliaan.

Di akhir saya ingin menegaskan kembali, Mo Salah, Ali, Khabib, Putri hanya sebatas analogi yang bagi saya “sama”, dapat digolongkan juga dalam dimensi kesenian. Tujuan semuanya sama-sama indah, instrumen untuk mencapainya patut pula diindahkan. Begitu pun juga dengan menjustifikasi, tujuan mengingatkan itu baik, tetapi instrumen saat mengingatkan pun harus baik pula, sehingga maksud dapat tersampaikan. 

Yaa terlepas dari berbagai kontroversi, bagi saya Festaphoria patut diapresiasi. Tumbuh subur selalu keindahan!

Oleh: Faiz Abdurrahman 

Penulis adalah Koordinator Esai Website Manggala 2023-2024

Editor: Rifqi Taqiyuddin

 

Responses (3)

  1. Analogi Muhammad salah sebagai pemain bola, Khabib sebagai pegulat, itu bukan qiyas yang shohih.
    Anggap saja antum bukan Azhari yang mau jadi ulama’ tapi setidaknya sebagai muslim azhariy tau kaedah dasar istinbath hukum dalam Islam.
    Bagamana mungkin gulat dan sepak bola disamakan dengan “music pop rock”? Itu jelas qiyas fasid. Terlebih lagi ada khilaf yg berat dalam hal music, bahkan imam Syafi’i melarang menggunakan alat music sebagai kayu bakar karna ihthiyat nya. Dan kalaupun ada yg membolehkan music apakah dibenarkan untuk mengadakan konser music yang konsekuensinya akan banyak norma norma Islam yg di langgar. Ikhthilat, perempuan teriak2, itu bukan hanya menghilangkan muruuah ulama, tapi sebagai muslim juga dilarang.
    Lalu masalah lagu non religi yang di pakai sebagai pendekatan dakwah, satu; untuk apa antum dakwah kalau ga mau jadi ulama’? Dua; apakah perempuan muslim harus jadi pelacur untuk pendekatan dakwah? Tiga; Kalau antum ga mau jadi Azhari yang ulama, untuk apa antum suruh ulama bertasamuh ke lagu2 non religi?

    Terakhir, setidaknya sebagai mahasiswa harus adil dalam memberi pendapat. Kalau antum ambil contoh syeikh saltut dalam seni kenapa ga tanya ke imam madzhab 4 tentang seni? Banyak kok hal2 seni yang di bahas ulama tanpa melanggar syariat. Kenapa harus”tanpa melanggar syariat”? Karna tujuan hidup menurut ulama itu satu, kembali kepada Allah, beribadah. Selain dari itu awham, ilusi. Allahu alam. Semoga kita semua di beri hidayah yang benar.

  2. Ketika Al Azhar tidak mengatakan bahwasanya musik adalah haram, lantas apakah dengan demikian menjadikan “konser” yang mana didalamnya ada ikhtilat, perempuan berjoget ria didalamnya menjadi Halal?

    Ibarat makan, apakah makan halal atau haram? Halal, lalu bagaimana jika kita makan di atas nampan yang terbuat dari emas, apakah halal? Lalu bagaimana jika kita pindahkan makanan tersebut kedalam nampan yang terbuat dari plastik apakah hukumnya tetap sama dengan halnya kita makan diatas nampan yang terbuat dari emas??Dengan begitu permaslaahannya bukan pada hakikat makan itu sendiri bukan begitu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *