Oleh: Raden*
Daya tarik Mesir sebagai tempat tujuan study masih menjadi primadona bagi kalangan anak muda bahkan orang tua. Karenanya, tak heran selalu terjadi pelonjakan mahasiswa dan pelajar baru yang berdatangan dari penjuru Nusantara setiap tahunnya. Baik dari barat, hingga bagian timur Zamrud Khatulistiwa yang masing-masing berbeda suku dan budaya terus berbondong-bondong mendatangi Negeri Piramida. Karenanya, bisa dibilang Mesir kini bak menjadi miniatur Indonesia.
Kemajemukan kultur dan budaya mahasiswa Indonesia di Mesir (setelah ini disebut Masisir) dapat dikelompokan dan disusun ke dalam struktur masyarakat menjadi Kekeluargaan Nusantara (sesuai dengan asal daerah masing-masing). Terbentuknya Kekeluargaan Nusantara merupakan sebagai wadah permersatu dan berperan sebagai pusat pembinaan dan pengembangan potensi anggotanya. Tidak hanya itu, adanya kekeluargaan juga sebagai bagian dari kepanjangan tangan organisasi induk Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir atas dasar adanya kedekatan emosional kedaerahan.
Namun yang menjadi pertanyaan bagi diri penulis adalah mengapa kini kekeluargaan seolah tidak memiliki tempat yang fundamental bagi anggotanya? Apakah sudah tidak begitu pentingkah kekeluargaan bagi anggotanya? Lantas bagaimana dengan harapan terbentuknya kekeluargaan sebagai wadah pemersatu? Apakah hanya ilusi?
Jika kita mencoba menyelam kedalam lautan fenomena yang ada, problematika yang terjadi di lingkungan Masisir sangatlah kompleks; seperti kematian, orang sakit, kasus kriminal, bahkan sampai kasus asusila. Kekeluargaan acapkali diibaratkan seperti pemadam kebakaran. Mengapa? Karena ia dibutuhkan hanya ketika dibutuhkan, bahkan tidak sesuai dengan tugas pokoknya, sehingga kesadaran yang terkonstruki dalam kesadaran Masisir terhadap kekeluargaan adalah kesadaran pragmatis. Ketika tidak ada benefit yang ia dapatkan, hanya ada rasa tidak peduli yang muncul di dalam benaknya.
Kesadaran Pragmatis
Konsep “kesadaran pragmatis” tidak secara khusus dikenal dalam konteks filosofis maupun psikologis. Jika kita mencoba menguraikan konsep utamanya, yang mungkin terkait adalah “kesadaran” dan “pragmatisme”.
Kesadaran (consciousness) adalah sesuatu yang merujuk pada kemampuan individu untuk memiliki pemahaman dan pengamalan diri serta dunia di sekitarnya. Dalam konteks psikologi dan neurosains, kesadaran adalah fenomena kompleks, yang melibatkan pemrosesan informasi, persepsi, perasaan, dan refleksi.
Sedangkan pragmatisme, ia adalah suatu pendekatan filosofis yang menekankan pentingnya hasil atau konsekuensi praktis dari suatu keyakinan atau tindakan. Konsep kesadaran pragmatis lahir dari keresahan penulis terhadap Masisir yang memiliki pemahaman atau kesadaran yang dipandu oleh pertimbangan praktis dan dampak nyata atau atas pertimbangan efektifitas, kegunaan, atau relevansi dalam konteks praktis.
Contoh kasus dari konsep kesadaran pragmatis adalah Masisir berbondong-bondong ke Sekretariat Kekeluargaan ketika pengurusan izin tinggal dan ketika adanya pengundian temus. Namun di sisi lain, mengapa ketika ada kegiatan yang diadakan oleh kekeluargaan ia enggan datang? Bahkan mungkin informasi diadakannya kegiatan entah sampai atau tidak kepada mereka. Lantas apa yang menjadi problematikanya?
Mayoritas yang Problematik
Enggannya Masisir untuk berpartisipasi dalam dinamika yang ada di suatu kekeluargaan adalah dikarenakan kelompok mayoritas yang ada di dalam kekeluargaan enggan menyapa golongan minoritas yang minim akan relasi sosial yang ada di lingkungan kekeluargaan. Sehingga pada akhirnya yang terjadi hanyalah diskriminasi terhadap mereka yang tidak memiliki relasi sosial dengan kelompok mayoritas tersebut.
Kelompok mayoritas yang dimaksud di sini adalah mediator, almamater, atau kedaerahan. Sedangkan kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki mediator atau mediatornya tidak besar, tidak memiliki almamater atau almamaternya tidak besar. Padahal kita sama dibawah naungan rumah besar yaitu kekeluargaan tetapi mereka mengkotak-kotakan tanpa ia sadari.
Anilisis penulis mengenai adanya dualisme minoritas dan mayoritas ini, hanya dirasakan oleh kelompok minoritas itu sendiri, karena mungkin falsafah kehidupan “silih asah silih asih silih asuh” hanyalah sebatas slogan, tetapi pada realitanya hanyalah utopis. Sehingga sungguh miris apa yang dicita-citakan oleh founding father telah dirusak oleh sebagian oknum.
Membentuk Kader Organik Bukan Kader Pragmatis
Orientasi Mahasiswa Baru (ORMABA) adalah salah satu ajang doktrinasi yang ideal, mengapa? Karena Mahasiswa Baru (Maba) diibaratkan lahan tanah yang subur, ia bisa ditanam doktrinasi dan pengetahuan tentang kekeluargaan.
Menurut penulis, Ormaba yang sukses bukan tentang acaranya yang mewah, atau kuantitas pesertanya yang melimpah. Akan tetapi Ormaba bisa dikatakan sukses adalah ketika kualitas doktrinasi itu dapat merasuk kedalam saraf-saraf dan akal pikiran Maba sehingga akan terbentuk kader yang militan dan solid. Dari situlah terbentuk kesadaran kader-kader kekeluargaan, sehingga regenerasi tidak berhenti, dan gagasan-gagasan yang inovatif akan terus tumbuh serta tidak kolot seperti generasi-generasi tua yang hanya mendambakan romantisme lama.
Dari sinilah pada akhirnya melahirkan generasi yang inovatif, reflektif dan adaptif. Berawal dari kualitas Ormaba yang baik maka akan lahir kader-kader organik. Istilah kader organik penulis meminjam dari tokoh teoretik Marxis Italia yaitu Antonio Gramsci yang memperkenalkan “intelektual organik”.
Dalam pemikiran Gramsci, intelektual organik adalah seorang intelektual yang tidak hanya terlibat dalam pemikiran dan aktivitas akademis, tetapi juga terlibat secara langsung dalam kehidupan politik dan sosial sehari-hari. Kemudian Gramsci membedakan antara “intelektual organik” dengan “intelektual tradisional”. Menurutnya, “intelektual tradisional” cenderung terisolasi dalam lingkungan akademis dan kurang terhubung dengan dinamika sosial politk.
Jika kita analisis dari pemikiran Gramsci tehadap struktur sosial yang ada pada Masisir, “intelektual organik” adalah kelompok struktur sosial organisatoris dan “intelektual tradisional” adalah kelompok struktur sosial talaqers. Nah, di sini penulis juga seolah melihat adanya dualisme antara organisatoris dengan talaqers yang seperti memiliki jalan berbeda. Oleh karena itu, kita perlu membentuk kesadaran kolektif, sehingga akan semakin membentuk solidaritas yang kuat antar kader-kader kekeluargaan.
Durkheim salah seorang pencetus sosiologi modern mengatakan bahwa solidaritas merupakan perasaan saling percaya antara anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Solidaritas ini merupakan bagian penting dalam hubungan antara individu dengan masyarakat. Setelah menganalisis apa yang terjadi pada kekeluargaan, penulis akan sedikit memberikan saran dengan menggunakan metode dekonstruksi yang kemudian merekonstruksi kekeluargaan. Metodologi ini digunakan oleh Jacques Derida dan bahkan digunakan oleh Dr. Osman Khust yang merupakan Rektor Universitas Kairo dalam bukunya Nahwa Ta’sis ‘An Addini al-Jadid.
Dekonstruksi di sini mencoba untuk menyelidiki dan memahami, bukan berarti meruntuhkan bangunan yang sudah berdiri kokoh akan tetetapi mencoba merevitalisasi apa yang perlu di revisi. Pertama, kita perlu mendekonstruski makna dan tujuan kekeluargaan terbentuk. Memang jika kita lihat di awal, kekeluargaan adalah sebagai wadah permersatu dan berperan sebagai pusat pembinaan dan pengembangan potensi anggotanya. Namun seiring berjalannya waktu dan melihat realita sekarang, kekeluargaan juga dibentuk sebagai lembaga sosial, lembaga kaderisasi dan lembaga pengurusan administrasi izin tinggal dll. Nah, setelah mendekonstruksi makna dan tujuan kekeluargaan, perlu adanya rekontruksi sebagai upaya untuk membangun kembali.
Kedua, merekonstruksi kekeluargaan dengan membentuk kader-kader ideologis dan kader-kader organik sebagai langkah baru menuju kekeluargaan yang inovatif, progresif dan adaptif. Karena sangat sulit jika kita terlalu sibuk dan berharap kepada generasi sebelumnya yang sudah apatis bahkan kesadaran mereka terhadap kekeluargaan mungkin telah mati.
Pada akhir tulisan ini, penulis kembali menekankan bahwa yang ditawarkan penulis dalam mewujudkan kekeluargaan yang harmonis dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan para founding father adalah dengan adanya dekonstruksi dan rekonstruksi. Ketika kedua konsep ini digabungkan, dapat memunculkan interpretasi bahwa teori dekonstruksi dan rekonstruksi mencerminkan usaha untuk menyelidiki, memahami, dan kemudian membangun kembali struktur konseptual atau sosial yang dianggap rusak atau tidak stabil.
Oleh karena itu, jangan sampai harapan yang mulia dengan terbentuknya kekeluargaan dirusak oleh sebagian kelompok dan hanya dikuasai oleh kader-kader pragmatis sehingga kesadaran Masisir terhadap kekeluargaan menjadi mati suri dan lebih tepatnya adalah cerminan betapa kekeluargaan sudah tidak lagi menjadi keluarga. “Quo vadis Kekeluargaan?”
*Penulis adalah pemenang Lomba Opini HUT Milangkala ke-46 KPMJB
Editor: Rifqi Taqiyuddin
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya.
Yang sedikit saat ini bisa menjadi banyak di kemudian hari, yang mayoritas saat ini juga bisa berubah menjadi minoritas di saat yang lain.
Setiap anggota kekeluargaan memiliki medan perannya sendiri, tidak hanya di kekeluargaan.
Sebagaimana lazimnya dalam keluarga, tidak semua anak akan tinggal dekat dengan rumahnya. Meski begitu, keluarga akan tetap menjadi rumah tempat kembali walau setahun sekali.
Ketika anak itu ‘mutqin’ dalam perannya, dia juga sedang mengangkat tinggi martabat keluarga, terlepas dari sering pulang atau tidak.
Mari saling mendukung dan mencintai sesama keluarga, yang jauh maupun yang dekat. Yang hadir di rumah maupun yang berjuang di luar sana.