Panitia Pemilu Raya Sebaiknya ‘Tak Perlu’ Mengadakan Debat Kandidat

Dok. Manggala

Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak, tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi. -Robert F. Kennedy

Dalam serangkaian Pemilihan Umum, kampanye berfungsi sebagai upaya meyakinkan pemilih dengan mendemonstrasikan profil kandidat, rekam jejak, dan arah gerak yang akan dibawa. Jika yang mencalonkan diri tak hanya satu, maka panitia lazimnya akan menyelenggarakan debat sebagai ajang konfrontasi gagasan, berharap tersingkap mana yang lebih pantas untuk menduduki puncak pimpinan. 

Debat Kandidat yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilu Raya (PPR) PPMI Mesir sebagaimana termaktub di postingan instagram @pemiluraya2024 bertujuan untuk 1) Sebagai wadah kampanye paslon, 2) Menyingkap autentisitas, kapabilitas dan integritas paslon, 3) Menguji kredibilitas dan kualitas paslon, dan 4) Memperkuat keyakinan pemilih dalam memilih paslon. 

Tujuan-tujuan debat tersebut barangkali akan lebih maksimal jika PPR mengadopsi konsep yang diinisiasi oleh @thinkpolyid dan @whatisupindonesia berupa website bijakmemilih.id yang dapat diakses oleh semua pihak—, menampilkan masalah-masalah yang ada dari berbagai sisi, rekam jejak serta visi-misi para paslon (Pemilu nasional). Prakteknya, boleh saja sesederhana post di feed instagram. Utamanya, informasi seputar kandidat dapat tersebar merata lantaran berada di satu tempat. Sehingga seluruh Masisir dapat memilah-milih secara cermat, paslon mana yang kiranya paling ideal.

Langkah itu, tak lain dan tak bukan adalah agar terciptanya pemimpin berkelas yang lahir dari tangan anggota, yang memilih murni demi kemajuan bersama. Hanya, lagi-lagi jika politisasi sektarian yang telah saya singgung dalam tulisan Politisasi Sektarian, Sebuah Wujud Pendangkalan Mahasiswa nyata adanya. Di dalam kondisi Masisir yang sudah terpolarisasi, memihak pada satu paslon dan mengabaikan paslon lain, lantas apakah PPR masih perlu menyelenggarakan forum debat kandidat?

Sektarian lagi!

Politisasi sektarian atau lebih gamblangnya politik identitas ini sangat meresahkan. Memang di pemerintahan daerah, nasional, atau bahkan perebutan ketua BEM di berbagai kampus, manuver identitas semacam ini, kehadirannya tak terelakkan. Pasca terbit tulisan Membaca Elektabilitas Calon Presiden PPMI Mesir 2024-2025 oleh Ruhul Jadid, itu mengafirmasi pikiran negatif dan membantah asumsi bahwa mahasiswa luar negeri berbeda, alih-alih beralmameter Al-Azhar yang dapat menjadi role model dalam berpolitik,walaupun sejujurnya saya merasa tulisan Ruhul ini sulit dipertanggungjawabkan, harapannya sih ada klarifikasi, tetapi oke, anggaplah dulu, benar faktanya begitu.

Kita dapat menganalisis faktor munculnya politisasi sektarian pada tiga alasan. Pertama, adanya fanatisme golongan, yang berkesimpulan bahwa golongannya harus mendominasi posisi strategis di organisasi induk. Kedua, kekhawatiran tatkala kubu sebelah mendominasi, akan mengeluarkan kebijakan tendensius, sehingga kubu lain akan termarginalkan maslahatnya. Ketiga, alasan pribadi, berharap adanya oknum ordal yang akan memprioritaskannya ketika membutuhkan surat rekomendasi, atau kepentingan apa pun nantinya.

Dalam pikiran pragmatis dan oportunis, yang menjadikan kepentingan pribadi di atas segala-galanya. Lebih-lebih berpikir bahwa kubu saya suci, harus mendominasi. Sedangkan kubu lain menjijikkan, harus dimarginalkan. Pikiran semacam itu melazimi adanya tiga poin di muka, yang mengukuhkan demokrasi begitu tidak sehat. Suara lebih murah dibanding roti isy, yang masih dihargakan seharga dua pound. Mahasiswa begitu hina, sebab dikiranya mampu dikibuli dengan berbagai omon-omon kosong, atau dicemari cara berpolitik kotor. Begitu tidak menghargai akalnya yang semestinya kritis.

Kemudian bagi mereka yang berniat khidmah, mencalonkan diri dalam kontestasi selanjutnya, bukan malah berlomba-lomba memperbaiki kualitas diri, sebaliknya justru akan masuk kedalam kubu mayoritas, dan menjilat-jilati petingginya supaya dapat diusung dan dipilih oleh anggota-anggotanya. Dalam kondisi ini, nama mahasiswa sangatlah pantas, sekaligus menjadi politisi. Akhirnya Masisir di luar negri, tak semakin cinta tanah air, melainkan semakin cinta pada kubu masing-masing. Pesta demokrasi tak ubahnya perang sektarian.

Catatan-catatan Cinta

Jika permainan busuk ini menjadi anganan bersama untuk dibumihanguskan, ada beberapa catatan yang barangkali dapat dikaji dan kemudian direalisasikan. Pertama, kandidat dan para timses sebagai pemeran utama dalam kontestasi. Harus merepresentasikan pemimpin yang akan menaungi semua golongan terjelma dalam kombinasi timses dan arah gerak yang menggendong kepentingan bersama. Kemudian pula mesti berkomitmen, menganggap semua anggota mempunyai hak yang sama, baik dari hak menjadi pengurus, hak administrasi dan lain sebagainya. ‘Tidak ada anak kandung-anak tiri’.

Kedua, PPR sebagai elemen yang mengatur regulasi. Harus menjadikan fenomena ini sebagai problem serius. Sayang sekali sudah repot-repot sedemikian rupa, bila pada akhirnya, yang semestinya maju, atau semestinya terpilih menjadi tidak terpilih. Dalam filosofi hukum, andaikata sebuah lingkungan, moral massa sudah tidak kuasa diharapkan, maka sistem didalamnya wajiblah kuat. Regulasi seperti kombinasi timses yang harus terdiri dari perwakilan semua golongan, komitmen ke-Indonesiaan, partai politik kampus dan lain sebagainya barangkali menjadi solusi alternatif yang kudu dikaji lebih lanjut.

Ketiga, pemilih sebagai korban politik. Jika dua hal di muka direalisasikan, konsekuensinya tidaklah ada guna dan untungnya bagi pemilih ini untuk fanatik atau rela mati-matian mencoblos paslon yang berasal dari kubunya. Melainkan sekedar memuaskan nafsu. Dominasi, kehormatan, orang dalam dan lain seterusnya semata-mata janji omon-omon yang ujung-ujungnya hanya dinikmati oleh paslon dan para timsesnya. Anda ngga akan dapat jatah bung, apalagi kalau anda maba. Haduh!

Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu.   – Pidi Baiq

Saya menyadari banyak sekali tantangan dan rintangan untuk dapat memberantas gelagat kotor dalam politik. Pasalnya, tidak semua aktivis berjiwa negarawan yang memikirkan hanya kemajuan dan kemaslahatan bersama. Terlalu banyak yang berfikir layaknya politisi yang hanya mementingkan keberhasilan kubu dan dirinya pribadi. Terkungkung oleh “Ngga papa, yang penting menang dulu, cara bersih atau kotor mah urusan belakangan, bisa diatur, nanti kita perbaiki pas udah jadi”. 

Suara maba-maba harus all-out! Doktrin semuanya untuk memilih! “Eh kita satu anu lho” Heuheu. Sudikah diri ini dihargai lebih murah daripada roti isy yang aduhai nan nikmat itu? Seluruhnya sangatlah alamiah, hanya akan tamat seumpama ada sistem yang absah. Yang menjegal langkah carut, sehingga tidak menormalisasi dan berlaku sekehendak kuah. Dah-dah gini dah, sampai di sini sampai kan, mengapa ada pertanyaan seputar urgensi debat kandidat? Yah masih mengharap swing vooter, paling-paling berapa. Yang bener aja, rugi dong. Mending anunya buat nongkrong aja gimana? Pas nih, lagi banyak topik hangat kan belakangan ini. Ahaha, kumaha?

Penulis: Faiz Abdurrahman

Koordinator Esai Website Manggala 2023-2024

Editor: Rifqi Taqiyuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *