Festaphoria di Antara Dua Kata

Festaphoria di Antara Dua Kata
Sc: Instagram Masisir Musik Gram

So what we get drunk

So what we don’t sleep

We’re just having fun

We don’t care who sees

So what we go out

That’s how it’s supposed to be

Living young and wild and free

Young, Wild, and Free. Adalah sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Wiz Khalifa, Snoop Dogg, dan Bruno Mars. Lirik pada lagu tersebut seolah membawa kita merefleksikan kaum muda. Muda, Liar, dan Bebas. Tak terkecuali kawula muda Mahasiswa Indonesia di Mesir yang selanjutnya disebut Masisir. Menariknya, kata-kata serupa juga saya temukan di tote bag yang digunakan oleh mbak-mbak Masisirwati seperti memvalidasi kondisi Masisir kini.

Bicara tentang muda, liar, dan bebas, baru-baru ini ada sebuah konser yang digelar oleh salah satu komunitas musik Masisir. Komunitas yang bernama Masisir Musik Gram ini menggelar konser bertajuk Festaphoria. Laiknya hal baru, konser yang mendobrak kemainstreaman Masisir ini menuai kontroversi. Ada yang menganggap bahwa konser ini merupakan bentuk kebebasan yang kebablasan, biduan wanita yang jingkrak-jingkrak diatas panggung, joget-joget di bangku penonton hingga ke depan panggung, dan tidak ada yang bisa menjamin para pria tidak bersentuhan dengan wanita meskipun bangku penonton pria dan wanita dipisah. Apalagi ada desas-desus bahwa tahun lalu konser ini berakhir ricuh akibat ada yang tidak terima saat tersenggol. Makin menambah noktah hitam konser yang menggaet banyak massa ini. 

Sementara itu, sebagian Masisir barisan pendukung konser menganggap bahwa ini merupakan bentuk ekspresi diri, ajang penyaluran bakat sebagai wadah untuk komunitas musik Masisir yang kian hari kian berkembang. Bukankah indah melihat kemajemukan Masisir? Toh, konser ini ditujukan sebagai ajang refreshing dan healing sebelum ujian termin. Sebelum berkutat dengan diktat, apa salahnya bersenang-senang singkat?

Kemajemukan Masisir

Dari perspektif penulis, konser yang digelar oleh Masisir Musik Gram adalah representasi dari kemajemukan komunitas yang ada di tengah-tengah Masisir. Terlebih, tak selayaknya universitas di Indonesia, UKM atau Unit Kegiatan Mahasiswa tidak ditemukan di sini, maka komunitas-komunitas inilah yang menjadi representasi kemajemukan minat dan bakat Masisir.

Tentunya, komunitas musik bukan satu-satunya komunitas. Ada banyak sekali komunitas yang dibangun oleh teman-teman Masisir. Sebut saja ada Evolved League yang diinisiasi para penggemar Mobile Legends. Ada komunitas sesama pecinta anime dan manga, AnimeZone. Mereka yang tertarik komedi menyalurkan bakat mereka di Standup Indo Cairo. Para pecinta sejarah berkumpul di Ar-Razi serta Kajian Pojok Peradaban, dan berbagai komunitas lainnya. Belum lagi jika menghitung komunitas talaqqi dan komunitas akademik lain, maka tentu jumlahnya pun sangatlah banyak. Apa pun bentuk komunitasnya, keberagaman ini adalah kemajemukan Masisir yang perlu kita jaga. Dengan catatan, tidak melenceng jauh dari norma-norma sosial, etika, dan paling penting nilai-nilai fundamental keazharan.

Digelarnya Festaphoria edisi ke-2 sendiri tidak lepas dari mindset sebagian Masisir yang beranggapan bahwa kehidupan mahasiswa di Mesir tak jauh beda dengan kehidupan mahasiswa di tanah air. Juga, tak lepas dari karakter kebanyakan Gen Z sebagai mayoritas mahasiswa di Mesir yang hobi bersenang-senang. Kedua faktor ini ditambah dengan cepatnya informasi menyebar via media sosial tentang kehidupan malam anak muda menjadi kombinasi sempurna sehingga lahirlah Festaphoria. Selain itu, keinginan terlihat keren, gaul, dan takut ketinggalan tren atau yang sering kita kenal FOMO juga menjangkiti sebagian Masisir. Istilah-istilah senoparty yang lazim kita kenal di Indonesia, seakan menemukan bentuk paling pas di kalangan Masisir. 

Menyoal Festaphoria

Menyoal konser Festaphoria yang baru terlaksana, penulis meyakini ada banyak sarana untuk mengekspresikan diri selain daripada konser. Konser yang nyatanya erat kaitannya dengan foya-foya, menari-nari, bersenang-senang dan berbagai bentuk kesenangan duniawi lainnya rasanya kurang pantas jika digelar di sini. Jiwa muda yang bergelora memang tak boleh dibatasi dan dikekang, tapi jiwa yang bergelora itu harus disalurkan pada kanal-kanal yang tepat dan dengan metode yang tepat pula. 

Tak hanya itu, konser yang digelar kemarin juga berpotensi mencoreng nama baik Masisir yang erat dengan kata-kata ‘belajar agama’. Cukup kejadian anarkis kemarin yang akhirnya diliput oleh media massa di Indonesia menjadi tamparan keras untuk menyadarkan kita tentang apa yang menjadi tujuan sebenarnya datang ke sini. Festaphoria jilid kedua juga bisa menjadi tolok ukur degradasi kualitas Masisir saat ini. Bisa-bisa calon mahasiswa yang berkeinginan menempuh jenjang pendidikan tinggi di Mesir mengurungkan niat mereka karena selentingan-selentingan kabar kurang mengenakkan tentang kondisi mahasiswa di Mesir.

Selain itu, sebagai mahasiswa rantau yang dipandang ‘mulia’ oleh warga lokal, ada norma-norma sosial yang perlu kita taati. Etika-etika keazharan juga harus mendapat perhatian lebih. Peraturan tak tertulis yang diungkapkan lewat tutur kata, tatapan mata, dan gestur tubuh lainnya ini perlu kita perhatikan. Karena lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Beberapa aktivitas yang wajar di penglihatan kita belum tentu wajar di penglihatan masyarakat lokal. Pun aktivitas yang lazim kita temui di Indonesia, belum tentu cocok jika dilakukan di Mesir. Memahami kultur budaya dan adat masyarakat setempat sebelum berbuat serta memahami identitas yang kita kenakan sehari-hari wajib menjadi perhatian utama.

Salurkan dengan Tepat

Seperti yang telah penulis singgung di atas, ada banyak cara untuk mengekspresikan jiwa muda yang bergelora. Konser Religi yang digelar oleh Masisir Musik Gram pada Ramadhan 2022 sebagai salah satu kanal proporsional nyatanya urung terlaksana pada 2023. Acara kebudayaan seperti Pagelaran Seni Budaya Indonesia (PSBI) yang digelar dua bulan lalu juga menjadi salah satu sarana utama untuk menyalurkan jiwa yang bergelora tersebut. Karena selain sebagai ajang mengekspresikan diri, acara PSBI juga menjadi sarana untuk mengenalkan budaya Indonesia di kancah dunia. Memang pada pelaksanaannya, acara-acara seperti konser religi dan PSBI kurang banyak menggaet atensi jika dibandingkan dengan konser seperti Festaphoria. Disinilah tugas Masisir Musik Gram dan komunitas-komunitas musik Masisir lain untuk mengedukasi, mengampanyekan, dan menggelar acara-acara yang lebih berbobot.

Pada akhirnya, jiwa muda yang bergelora juga butuh tuntunan dari akal yang rasional serta rambu-rambu dari norma sosial. Apalagi sebagai diaspora muda Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negeri tetangga. Tak hanya pengetahuan yang kita cita, tapi nama baik bangsa serta institusi yang menaungi kita akan turut dibawa ke mana-mana. Maka, bijak rasanya jika sebelum mengambil tindakan, dipikirkan dulu matang-matang apa dampaknya. Jangan sampai karena mengikuti nafsu dunia, malah mencoreng Masisir sebelanga.

Oleh: Ahmad Arif Avianto

Penulis adalah kru esai Website Manggala 2023-2024

Editor: Muhammad Rifqi Taqiyuddin

 

Responses (3)

  1. agak bingung sama penulis yang membuat standar ganda. kenapa sesuatu yang ada di festaphoria dianggap tabu sementara di psbi dibenarkan? contohnya seperti menyanyi dan “jingkrak-jingkrak” yang sempat disinggung. bukannya kalau dibandingkan esensi acaranya sama aja ya? sama2 pertunjukan musik dan ajang unjuk kreatifitas. malah di psbi yang “jingkrak2” lebih banyak dan jadi tontonan utama. saya ingat betul lenggak lenggok penari wanita di malem itu. apa ini karena yang satu membawa budaya Indonesia dan yang lain tidak, sehingga yang satu jadi benar dan yang lainnya salah? 😄

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *