Pahlawan Sampah yang Tersisih di Negeri Sendiri

(Sc: www.freepik.com)

Oleh: Yasmin Diaz Zahra

Penulis adalah Kru Website Manggala 2022/2023

Selain menjadi salah satu kota dengan pencemaran udara terbesar di dunia, Kairo juga memiliki permasalahan lingkungan yang tak kalah dari itu, yaitu sistem pengelolaan sampah yang kurang baik. Pengelompokan dan daur ulang sampah masih belum populer di kalangan masyarakat Kairo. Seperti yang kita tahu, tata kota Kairo pun tak luput dari berserakannya sampah, baik di daerah umum, maupun di daerah pemukiman. Tentu semua ini tak luput dari kepadatan Kairo yang meningkat dari tahun ke tahun.

Adapun usaha pemerintah Mesir dalam menangani permasalahan lingkungan Kairo yaitu dengan membangun perusahaan care service yang telah berdiri selama berpuluh-puluh tahun lamanya, hingga penawaran tender perusahaan asing Eropa di Kairo yang diharapkan bisa membawa Mesir terkhususnya Kairo menjadi lingkungan yang lebih baik (www.ampl.or.id, 10 Januari 2004). Alih-alih dari itu, kita telah melewatkan komunitas yang lebih penting dari sebuah perusahaan dalam kinerjanya mengelola sampah di Kairo, yaitu masyarakat Manshiyat Nasher atau yang biasa disebut sebagai orang-orang Zabaleen (baca: para pemulung).

Mayoritas penduduk Manshiyat Nasher berprofesi sebagai pemulung sampah. Setiap hari, mereka mengangkut sampah dari Kairo dan mengirimnya dengan truk besar. Berton-ton sampah Kairo ‘dieksekusi’ masyarakat Manshiyat Nasher dengan mengelompokkannya secara manual. Lalu, mereka memadatkannya ke dalam mesin-mesin sederhana, agar dapat didaur ulang. Walaupun proses-proses pengolahan sampah ini tidak memakai peralatan yang canggih, dan bahkan dipilah dengan tangan sendiri, mereka mampu mendaur ulang sampah Kairo mencapai 90%. Jumlah ini mengalahkan kemampuan negara-negara Barat yang hanya bisa mendaur ulang sampah sekitar 20-25% dari total keseluruhan.

Berangkat dari peran Manshiyat Naser dalam mengelolah sampah Kairo, apakah bisa mereka mendapat gelar ‘pahlawan sampah Kairo’? Jikalau iya, mereka pasti sudah menempati posisi yang lebih tinggi di mata penduduk Kairo. Jikalau tidak, mungkin mereka akan disamaratakan dengan penduduk Kairo yang lainnya. Apresiasi mana yang lebih memungkinkan? Atau mungkin tidak keduanya? Bagaimana para pahlawan sampah ini mendapat apresiasi yang setimpal dengan hasil kerja mereka?

Kehidupan Manshiyat Naser

Sayang seribu sayang, Kota Manshiyat Naser terkenal dengan julukan The Largest Garbage City in the World. Julukan ini bukan hanya mewakili kumuhnya Manshiyat Naser, namun betapa mengerikannya jika kita tinggal di kota seperti itu. Setiap sudut jalan, halaman rumah, dan bahkan tempat-tempat yang biasa dijadikan anak-anak bermain dipenuhi sampah Kairo. Dengan kita tinggal di kepadatan kota pun sudah membuat kita depresi, lalu bagaimana nasib dari 262.000 jiwa yang tinggal di kota ini?

Tentu sebagai lingkungan yang kumuh, akan menimbulkan penyakit-penyakit yang berbahaya bagi kesehatan kita. Namun, dengan alat seadanya, masyarakat Manshiyat Naser memilah sampah tanpa memakai sarung tangan dan bahkan tidak memakai alas kaki. Hal ini akan menimbulkan masyarakat yang langsung berhadapan dengan sampah mengalami Tetanus. Adapun mereka yang mengangkut karung-karung sampah sampai 50 kg dari lantai lima, mengeluhkan masalah tulang belakang mereka. Dan adapun anak-anak, terjangkit penyakit Hepatitis karena pola hidup mereka yang tidak sehat. Dan masalah ini masih berlangsung berpuluh-puluh tahun adanya.

Masalah lain yang tak dapat dihindari adalah kemiskinan penduduk. Kalaupun mereka berada di kelas menengah ke atas, mereka tidak akan menjadi pemulung sampah dan tinggal di tempat yang paling kumuh sedunia. Keadaan yang memaksa mereka untuk hidup di lautan sampah. Dengan kekurangan finansial yang mereka miliki, hak-hak manusia seperti tempat huni yang layak, pendidikan yang tinggi, atau bahkan hidup bermewah-mewahan hanya mimpi belaka bagi mereka.

Hal lain yang perlu dititik beratkan dari sebuah generasi bermasyarakat adalah anak muda. Generasi muda dalam masyarakat Manshiyat Naser adalah calon-calon pemulung ulung. Berdasarkan hasil wawancara dari salah satu keluarga Manshiyat Naser World Decomentary, mereka ditakdirkan untuk lahir dari nenek moyang pemulung. Satu keluarga memulung sampah bersama. Bukan mereka yang berumur saja, anak kecil pun tak luput dari memilah sampah. Bahkan, mereka yang berumur 10-12 tahun pun ikut serta dalam mengelompokkan sampah plastik, kaca, kaleng, dll. Adapun keluarga yang membawa anak kecil yang lebih muda dari itu, mereka tidak mendapat kesempatan menimba ilmu seperti layaknya anak kecil lain di dunia.

Tidak hanya kondisi masyarakat yang memprihatinkan, infrastruktur yang biasa kita gunakan sehari-hari tidak akan kita dapatkan di kota ini. Kota ini tidak mengenal infrastruktur umum seperti air, listrik, dan saluran pembuangan. Mereka hidup seadanya dipenuhi sampah-sampah yang ‘menghiasi’ lingkungan mereka.

Apresiasi Pemerintah dan Masyarakat Mesir

Adapun beberapa upaya pemerintah dalam merespon keberadaan masyarakat Manshiyat Naser, yaitu dengan membangun tiga perusahaan multi nasional untuk menggantikan peran Zabaleen ini, dan menghapus julukan Garbage City untuk mereka. Namun, hasilnya nihil. Ketiga-tiganya mengibarkan bendera putih dalam ketidaksanggupan mereka dalam mendaur ulang sampah Kairo. Ujungnya, perusahaan ini memperkerjakan penduduk Zabaleen lagi. Mengingat Zabaleen yang bisa mendaur ulang sampah Kairo sampai 90%. Angka ini sangat mustahil ditandingi sekalipun dengan perusahaan buatan pemerintah.

Upaya lain dari pemerintah adalah tawaran pindah hunian bagi masyarakat Manshiyat Naser. Mereka ditawarkan rumah sementara, sambil menunggu pengembangan hunian mereka selesai. Namun berdasarkan laporan dari Egypt Today, hanya sekitar 18 keluarga yang mengikuti saran pemerintah. Sisanya, memilih untuk tinggal agar mendapat kompensasi. Pertimbangan pindah hunian ini adalah hal yang berat bagi mereka, mengingat peluang pekerjaan dari zaman ke zaman semakin sempit. Mereka melihat tumpukan-tumpukan sampah di kota mereka sendiri sebagai pundi-pundi emas untuk keberlangsungan hidup mereka.

Keputusan pemerintah bagi masyarakat Manshiyat Naser kadang menimbulkan kerugian yang besar bagi mereka. Dilatarbelakangi dari Wabah Flu Babi yang kedua pada tahun 2009 di Amerika bagian Utara, Pemerintah Mesir berinisiatif untuk membunuh semua babi di negaranya (www.youtube.com, 7 Agustus 2017). Sebagai masyarakat yang menganut agama Kristen Koptik, Manshiyat Nasher terkenal dengan perternakan babi terbesar di Mesir. Mereka menjualnya ke restoran-restoran turis yang menyediakan alkohol. Maka, keputusan pemerintah ini sangat merugikan mereka. Pemerintah sudah menyarankan mereka untuk ternak hewan lain, namun hasilnya gagal. Kemampuan mereka dalam berternak hewan lain masih belum bisa memenuhi kebutuhan mereka. Kemiskinan pun tak dapat dipungkiri lagi.

Adapun kerugian dari sisi psikologis, mereka sering kali dipandang sebelah mata. Penduduk Manshiyat Naser nyatanya menempati strata sosial yang rendah di mata penduduk Kairo. Mereka mengenal Zabaleen hanya sebagai ‘tukang bersih-bersih’ yang memungut sampah dari imarah mereka. Gaji yang mereka dapatkan pun jauh dari kata layak. Mereka sudah biasa dengan cemoohan kumuh, kotor, dan jorok. Namun, bagi masyarakat Kairo yang mengerti keadaan mereka, akan senantiasa menghargai mereka dengan mengirim beberapa bantuan-bantuan untuk memenuhi kehidupan mereka.

Pandangan Dunia terhadap Manshiyat Nasher

Dengan julukan yang anti-mainstream, kota ini berhasil menarik perhatian dunia, terutama dari kalangan pencinta lingkungan. Walaupun terkadang kota ini sering dianggap aib bagi Mesir, kota ini kerap menjadi destinasi slum tourist atau destinasi kumuh yang meliputi daerah-daerah yang tidak layak huni (www.kumparan.com, 29 April 2020). Banyak dari influencer dunia yang membuat video dokumenter dan sengaja jauh-jauh mengunjungi Mesir untuk datang mengunjungi kota sampah terbesar di dunia ini.

Bagi kalangan sejarawan, keberadaan Manshiyat Naser ini sangat memprihatinkan. Mesir yang mereka kenal sebagai salah satu pusat peradaban kuno, terutama dari posisi kota ini yang berada dekat dari kastil megah Muhammad Ali, kastil yang menjadi saksi bisu sejarah Mesir kuno. Disana mereka akan menemukan masyarakat yang memungut, dan sibuk dengan bukit-bukit sampah. Inilah sisi gelap Mesir yang masih eksis sampai sekarang.

Adapun kepedulian dunia untuk kota sampah ini adalah usahanya untuk mengirimkan bantuan setiap tahunnya. Organisasi yang bergerak di bidang lingkungan yaitu Association or Protecting of the Environment (APE) adalah salah satunya. Walaupun hanya sebagai perusahaan swasta, mereka memberi para Zabaleen ini pendidikan untuk anak-anak usia dini, dan beberapa kebutuhan pangan dan papan masyarakat Manshiyat Naser. Mereka juga mulai menanam pohon-pohon di kota ini agar terlihat lebih asri di beberapa tahun terakhir ini.

Kesimpulan

Setelah kita melihat realita yang ada dalam kehidupan masyarakat Manshiyat Naser ini, dapat kita simpulkan bahwa mereka ditempatkan pada posisi yang sangat tidak layak. Tidak sebanding dengan peran mereka yang berhasil mendaur ulang sampah Kairo mencapai 90%, dan hanya mereka sajalah yang mampu mengerjakannya. Penduduk Manshiyat Nasherlah yang dianggap paling mahir dalam menanggulangi sampah Kairo. Tanpa mereka, jantung kota Mesir ini akan dipenuhi sampah yang tidak berarti.

Penduduk Manshiyat Mesir pelu diberi apresiasi yang layak dari pemerintah dan masyarakat Kairo. Sekurang-kurangnya adalah penyediaan fasilitas umum sama seperti kota pada umumnya. Jangan sampai dedikasi orang-orang Zabaleen ini terkubur dengan diskriminasi perbedaan kasta, atau agama yang minoritas. Dengan dibangunnya sekolah dengan kurikulum yang jelas, pekerjaan yang tidak membahayakan nyawa, dan jaminan hidup sudah cukup membuat mereka tersenyum. Mereka adalah kita, kita adalah mereka. Saling bahu-membahu untuk membangun dunia menjadi tempat yang lebih baik adalah tujuan utama kita sebagai manusia.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *