Beberapa waktu setelah pengumuman panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) terpilih, salah satu teman saya yang dinyatakan lolos mengunggah video story dengan berkata, “Hai kids, bapakmu alhamdulillah lolos jadi abdi negara.” Ya, sebab KPPSLN memang berperan dalam melancarkan keberlangsungan Pemilu di Mesir.
Sebenarnya tak ada yang salah, tetapi entahlah kok saya malah “ngeh” sama hal yang lain, yakni Naufalsya, sejawat rumah yang menurut saya telah melampaui abdi negara, jiwa nasionalisnya sungguh akut dan sangat kental, bahkan tanpa pamrih dan tanpa cuan. Kalau anda (KPPSLN) masih dapat cuan kan, Pak? Haha.
Nasionalisme secara sederhana, dapat diartikan sebagai paham kebangsaan yang menganggap kesetiaan tertinggi harus diserahkan kepada negara. Kesetiaan itu dapat berupa dedikasi perjuangan, mengharumkan negara atau turut menjaga citra.
Sinyal nasionalis Naufalsya saya tangkap, tatkala ia curhat di dapur sehabis makan. Nasionalis yang, walaupun hanya bermodalkan “malu” dan “gengsi”, namun sangat powerfull. Sebagai orang yang sering saya tumpangi hotspot saat wifi rumah habis, lagak nyentriknya itu rasa-rasanya harus didemonstrasikan kepada khalayak Masisir.
Anti Jalan Bareng Cewe
Bagi yang belum tahu, Cairo University adalah universitas berdomisili di kota Giza yang kelasnya biasa dicampur, cowo dan cewe. Dengan begitu, mereka bisa duduk santui bersebelahan dengan lawan jenis atau bahkan bersalam-salaman. Suatu lingkungan yang jelas sangat berbeda dengan apa yang dirasakan oleh mahasiswa Al-Azhar.
Naufalsya berlatar belakang tidak terlalu agamis sehingga sangat potensial sekali sebenarnya untuk melakukan seperti apa yang dikisahkan nya terkait orang Mesir yang kalau bucin, kemana-mana selalu bareng, ngambil kelas bareng, ke taman bareng, entahlah barengnya kemana lagi.
Di tengah asyiknya bercerita seputar kampus, saya nyeletuk “Lho dah dapet cewe belum?” Dengan reflek ia menjawab, “Ngga lah, gua ngga cewean.”
“Ntah yaa, gua tuh gengsi, malu aja gitu kalau diliat sama orang luar jalan sama cewe gitu,” tambahnya.
Sebagai minoritas dan tampang yang sedikit tampan kata ibunya, Naufal tentu menjadi perhatian, hal ini sudah menjadi modal yang cukup untuk melancarkan aksi modus pada cewe-cewe Mesir yang selalu bikin hati melafalkan istighfar itu, jika ia mau. Apalagi kampusnya sangatlah bebas. Tetapi bukan karena cupu, semuanya itu kandas terhalang oleh ruh nasionalisnya.
Anti Mencontek
Selaku orang yang pernah mengajar di Pare, ia cukup fasih berbahasa inggris. Masalahnya bukan di sana, tetapi adalah dosen yang lidahnya masih kagok, alias kerap tercampur-campur bahasa Inggris dengan Amiyah dalam banyak momen di kelas (FYI: Cairo University menggunakan bahasa Inggris), walaupun sudah sering sekali diingatkan.
Ditambah lagi, tugas rumah selalu diberikannya, baik dikerjakan sendiri atau kolektif. Sangat wajar jika Naufal kesusahan dan aering bertanya kepada orang Mesir. “Lu kenapa ngga nyontek aja?” Tanya saya. Karena jika dia mau, sebenarnya teman Mesirnya dengan senang hati memberikan jawaban, sebab memaklumi bahwa dosennya kadangkala memang menyebalkan.
Akan tetapi, Naufalsya masih setia berkata “Ngga lah, dibilang gua tu gengsi sebagai orang Indo, masa nyontek.” Wah wah saya yakin, jika anda mengenal dekat Naufal, pasti anda akan sangat ngakak terbahak-bahak ketika mendengar ia dengan tegasnya berkata “Ini soal citra Indonesia, Iz!”
Kembali lagi, value ini bukan hanya menjadi inspirasi saat sedang mengerjakan tugas rumah, atau dalam ujian jika konteksnya mahasiswa Al-Azhar, tetapi juga seputar catatan kuliah, rangkuman materi atau yang lainnya, Naufalsya berada di garda terdepan untuk tidak asal ikut-ikutan dan minta seenaknya saja, tetapi harus menyaingi bahkan berusaha melampaui.
Anti Merokok dan Buang Sampah Sembarangan di Tempat Umum
Ada aura kesadaran yang saya tangkap darinya, bahwa merokok di tempat umum, merupakan hal yang tak bisa ditolerir, apalagi di kampus. Sebagai mahasiswa diaspora Indonesia yang baik ia sangat tegas berkata tidak.
Dengan lagi lagi, hanya bermodalkan “malu” dan “gengsi,” ia sadar betul bahwa budaya merokok adalah hal yang terkadang mendapat stigma negatif oleh beberapa pihak. Sehingga ketika orang Mesir melihatnya merokok, maka konsekuensinya negara tempat produksi muka imutnya itu, akan dicap negatif pula.
Begitu pun juga dengan membuang sampah. Sangat biasa sekali kita menyaksikan pemandangan botol terbang dari jendela tremko, tumpukan sampah mendarat dari langit ke tujuh, biarkan hanya mereka yang melakukan itu.
Hati saya renyuh tatkala sedang berjalan dengan Naufal, ia sambil menenteng plastik bekas sandwich tho’miah bilbed. “Nyari apa lho?”
“Nyari tong sampah!”
Anti Sandal di Kampus
Naufalsyah secara implisit telah mencetuskan teori “Jika kamu tidak intelektualis, maka setidaknya moralis. Dan jika kamu tidak moralis, maka setidaknya tampilanmu harus rapih, itulah selemah-lemahnya nasionalis.”
Pakaian yang selalu ia pakai sebenarnya ngga rapih-rapih amat. Hanya saja ketika saya tanya, “Lho pernah pake sendal ngga ke kampus?” Kemudian ia menjawab.
“Yakali gua pake sendal, gua walaupun IPK-nya ngga gede-gede amat, dan agak pendiem di kampus, tapi yaa, gua tetep ngejaga penampilan, lagi-lagi ini soal citra orang Indo, Iz.”
“Orang Mesir itu, kalau ke tempat umum yang rame, itu pasti pake sepatu, sekalipun sepatunya itu udah butut banget. Tau ngga kenapa?” Sambungnya.
“Kenapa tuh?” Tanya saya.
“Mereka ngga mau keliatan kayak orang yang ngga punya, karna sendal dalam pandangan orang Mesir, itu kesannya orang miskin.”
Kalian kebayang ngga sih, kalau Aldi Taher mempunyai jiwa nasionalis yang sungguh luar biasa? Saya ngga menyamakan Naufal dengan Aldi Taher, jelas Naufal adalah sang nasionalis sejati yang menyimpan diam-diam di pojok bagian hatinya. Tetapi, begitulah kira-kira gambaran kecil kehanyutan saya pada apa yang dikatakan dan dilakukannya itu.
Anti jalan bareng cewe (kecuali darurat atau halal), anti mencontek, anti merokok, anti buang sampah sembarang di tempat umum, dan anti sandal walaupun sekedar diterapkan di kampus, merupakan nilai-nilai nasionalis yang memang sangat sederhana. Tetapi sangat berdampak luhur pada citra Indonesia. Dengan hanya melakukan itu, narasi ahsannas akan melekat nyata bukan hanya sekedar basa-basi belaka.
Naufal dapat dengan bangga mengatakan saya dari Indonesia, karena dari cara berinteraksi, cara belajar, cara berpakaian dsb. sangat dapat dipertanggung jawabkan. Ia ngga harus berbohong, seperti orang yang nawar tuk-tuk di harga yang paling murah, atau orang yang jalan ke Zamalek bareng partnernya, ketika ditanya, “Kamu berasal dari mana?” Lalu menjawab “Malaysia” atau “Thailand.” Haha.
Alasan “malu” dan “gengsi” ini imbasnya sangat digdaya sekali. Naufalsya Al-Tanggerangi dengan teorinya itu, mampu mengajarkan kepada kita bahwasanya citra Indonesia harus dijaga, sehingga orang luar memandang Indonesia tinggi dan penuh wibawa. Persis seperti kata yang digaungkan Bung Karno bahwa “Kita adalah bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta.”
Menyala selalu Nauvalsya!
Tetap ilmu padi Abangkuh.
Penulis: Faiz Abdurrahman
Koordinator rubrik esai Manggala 2023-2024