Ikhtiar dalam memenangkan Pemilihan Umum, kerap menghadirkan gerak-gerik kreatif dari berbagai pihak. Mulai dari politik meja cafe, demonstrasi gagasan, hingga pembodohan publik berupa narasi cantik.
Pemilu Raya PPMI Mesir akhirnya tiba. Saat yang dinanti oleh sebagian Masisir setelah penerkaan mendalam terkait siapa yang akan mencalonkan diri. Tempo yang ditunggu oleh para kandidat setelah lama mempersiapkan bekal demi turut berkontestasi. Durasi yang menghendaki diplomasi, konsolidasi, bernegosiasi demi mengajak massa sebanyak mungkin untuk bergabung dalam koalisi.
PPMI Mesir adalah miniatur Indonesia. Tak berlebihan rasanya, lantaran objek yang ada, mirip sekali dengan realita di tanah air. Variasi suku dan budaya misalnya, terjelma dalam organisasi Kekeluargaan. Kemudian, Organisasi Masyarakat (Ormas), Almamater, dan organisasi lainnya tumbuh subur menjamur. Selain keberagaman itu, dinamika perpolitikan yang terjadi, pula tak jauh berbeda.
Manuver menghalalkan segala cara untuk memenangkan kontestasi adalah tindakan yang semestinya ditentang. Terkhusus oleh mahasiswa sebagai kaum muda terdidik. Berhubung kini sedang dalam masa Pemilu Raya, fenomena keragaman itu menarik untuk diulas dalam kaitannya dengan corak politik (Masisir) yang sedang berlangsung. Aktivis Masisir sebagai miniatur politisi Indonesia, apakah sama saja, dalam konteks busuknya permainan politik?
Sektarian Masisir
Melimpahnya organisasi, adalah pertanda bahwa antusias Masisir dalam mengembangkan diri, menghadirkan maslahat, kepedulian atas sesama menjadi nilai yang amat melekat. Hal itu sangat membantu dalam mengkondusifkan, yang kurang lebih jumlahnya sekitar 15 ribuan secara lebih efektif dan efisien. Hampir setiap ruang, ada organisasi yang bergerak dan berperan. 16 Kekeluargaan, 4 Senat, beberapa Almamater, dan Ormas hadir pesonanya begitu mewarnai dan meramaikan.
Di sisi lain, tabiat manusia lazimnya condong lebih nyaman bersama dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan. Laku ini sebuah hal yang wajar, hanya saja menjadi soal ketika terlalu kental dan ekstremnya kebersamaan sebuah kelompok itu sehingga dikhawatirkan akan fanatik dan terkotak-kotakan nya Masisir. Terlebih jika tak adanya sistem yang rapi, komunikasi dan koordinasi integral dari organisasi induk, hal tersebut dapat berefek destruktif pada pergerakan yang telah diidealkan di muka.
Dampak dari tidak diindahkannya komunikasi dan pembatasan tupoksi, adalah menjadi lumrah apabila kemudian terjadi saling unjuk taring, antar satu organisasi dengan yang lain. Berlomba-lomba membuat program. Tak peduli dengan kesamaan esensi atau pun waktu yang berdekatan. Kemudian berebut peserta. Semua berjalan hingga puncaknya, adu berebut kekuasaan di ranah organisasi induk.
Pembodohan Publik
Atmosfer perpolitikan di Indonesia kemarin barangkali menjadi replika. Bagaimana gimmick, kepentingan, uang dan seterusnya bermain demi secarik suara. Mengantarkan orang untuk mencoblos, sebagai tujuan kampanye ini dibanding berbusa-busa menjelaskan visi, misi, dan program unggulan yang belum tentu diminati, faktanya memang lebih mudah menggunakan doktrin emosional berupa kepentingan yang sama, kedekatan personal, uang atau bahkan sesimpel kesamaan daerah.
Semua proses berulang, menjadi tradisi setiap kali Pemilu berlangsung. Pelbagai gelagat kebusukan politik tumbuh subur. Idealisme hilang, pragmatisme berkembang. Politisi senang, masyarakat senang, ya walaupun hanya sesaat. Sikap semacam ini maha jauh dari kata ‘mencerdaskan’, melainkan rakyat dibiarkan tidak paham, dirawat kebodohannya, agar mereka (baca; politisi) lebih mudah dalam melanggengkan kekuasaan setelahnya.
Pendidikan di Indonesia yang belum merata, menjadi sebab hal-hal di atas termaklumi. Sialnya, bagaimana jika fenomena semacam ini tumbuh subur di kalangan Masisir? Sebelum beranjak kesana, Pemilu yang hadir hari ini, adalah tentu untuk melahirkan pemimpin yang baru. Karena yang didambakan bersama adalah sebuah kemajuan, maka yang terpilih haruslah pemimpin yang mempunyai kualitas dan rekam jejak yang kredibel, terlepas dari daerah, almamater atau ormas apa pun.
Jika kemudian misalnya, kampanye yang dinarasikan oleh masing-masing kelompok itu berupa ajakan untuk mencoblos dengan doktrin-doktrin bahwa kita dari ‘daerah yang sama’, atau ‘kubu yang sama’ dan lain semacamnya. Lebih-lebih naratornya adalah petinggi-petinggi di organisasi tersebut. Kemudian Masisir yang lain, patuh saja memilih apa yang direkomendasikan. Lantas apa bedanya dengan kampanye pembodohan yang diberlangsungkan oleh politisi?
Perihal ini menjadi wajar, jika kemudian setelahnya, pada saat pembagiaan kue jabatan, yang meraup kue adalah mereka yang berasal dari kubu yang sama, terlepas dari pertimbangan kualitas. Pun ketika mengajak kubu sebelah untuk masuk ke dalam kabinet, akan berpotensi besar untuk menolak, sebab merasa bukan kubunya. Politik kronisme, tribalisme, dan lain sebagainya menggurita. Jika kemudian benar ini terjadi, gelar organisasi induk sebagai Kekeluargaan ke tujuh belas dan Senat kelima itu, ya mengapa pada akhirnya harus dipertentangkan?
Mahasiswa (?)
Dalam risalah “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” mengatakan bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual muda non kepentingan, non profit yang mempunyai beban moral dalam menyuarakan kebenaran tatkala pemangku kebijakan menyimpang. Di sini mahasiswa dianggap sebagai kontrol sosial yang ideal. Yang semestinya memperjuangkan kepentingan bersama. Sebab dalam kondisi negara yang sebagian besar pejabatnya hanya memikirkan kepentingan pribadi, siapa lagi yang diharapkan, untuk memperjuangkan semua itu.
Ironi sekali jika mahasiswa bukan beraksi sebagai kontrol sosial, alih-alih justru sebagai pelaku yang tenggelam dalam kebusukan. Memilih atau bahkan mendesak orang-orang untuk mencoblos atas dalih emosional, bukan mengkampanyekan dengan memantapkan pilihan secara kritis, berdasarkan rasional dan hati nurani, yang murni untuk kemajuan, tanpa memikirkan ego pribadi atau ego sektoral. Pendangkalan semacam ini merupakan bentuk penghinaan atau penistaan ‘marwah’ mahasiswa.
Tidaklah penting dari mana anda berasal. Yang penting adalah kemana anda akan melangkah. – Brian Tracy
Kemajuan suatu kelompok dengan pemimpin ideal yang didambakan, akan terwujud jika masyarakatnya mengaplikasikan altruisme dalam politik. Dengan kata lain, memprioritaskan pencoblosan kepada mereka yang lebih kompeten tanpa embel-embel emosional apa pun. Ini merupakan kiprah yang termasuk ke dalam upaya memberantas kebusukan-kebusukan politik. Sebaliknya, jika sejak mahasiswa saja, mayoritas anak muda hari ini tidak benar-benar menjaga jati ‘idealisme’ nya, lantas jargon “Indonesia Emas 2024’ itu, apa yang bisa diharapkan?
Oleh: Faiz Abdurrahman
Koorinator Esai Website Manggala 2023-2024
Editor: Rifqi Taqiyuddin
Suee, bener lagi wkwk.
NU & Jawa-Sumatera VS PKS & Sulawesi-KMNTB-KMM
Kelass!
Ana kebayang, gimana kalau PPMI bikin semacam Parpol, mirip kayak di Indonesia. Ini lebih masuk akal, dibanding pemain² nya dari Kekeluargaan, Almet, atau Ormas. Parpolnya ini diisi bebas oleh Masisir dari berbagai kalangan, dengan tujuan khas nya. Ini bisa lebih bersih.