Kairo Tanpa Sampah

Kairo Tanpa Sampah
Sc: Sekolah Indonesia Kairo.sch.id

Sekitar tahun lalu saat Muhammadiyah Mesir dan PPIDK Timtengka mengadakan forum seminar lingkungan, Alfa Birri kawan saya berkomentar pasca acara selesai, “Warga Indonesia sebanyak dua belas ribu, kok ngga ada dampaknya ya buat kebersihan lingkungan di Mesir.” 

Komentar ini sempat menjadi renungan, memang sekilas saya mengamini, namun di sisi lain kebingungan melanda akan daya apa yang bisa dilakukan. Tatkala kemudian mendengar kabar berbagai organisasi dan komunitas mengadakan gerakan ‘berbagi takjil’ di bulan Ramadan, kebingungan yang sempat redup itu mulai tercerahkan.

Pada dasarnya ada dua hal, bingung bagaimana memulai, dan kekhawatiran akan timbul respon sinis dari warga pribumi. Setelah melihat gerakan berbagi takjil, spirit warga Indonesia dalam berbagi kebaikan sangatlah masif, dan respon dari warga pribumi, justru malah positif. Itulah kemudian nan menghadirkan secercah angan-angan yang bukan tanpa alasan.

Selain alasan idealis, ada motif politis yang maslahat untuk kepentingan bersama; akan saya jabarkan beberapa. Calon atau pemangku kebijakan sepertinya harus mengindahkan. Oleh karena itu, gagasan wacana ini menarik untuk terlebih dahulu saya lemparkan ke khalayak, selebihnya terkait teknis, bisa didiskusikan. Ya, sebutlah gerakan ‘Kairo Tanpa Sampah’.

Problem Sampah dan Urgensi Gerakan

Fenomena plastik syibsi terbang dari jendela mobil, buntelan meluncur dari atas gedung, botol pepsi terlempar santui ke samping jalan sehabis diminum adalah perkara lumrah bagi Masisir. Kairo seolah menormalisasi sampah-sampah itu berserakan, seakan cukuplah petugas sampah dan orang-orang Zabaleen (red; pemulung) dari Manshiyat Naser itu yang membersihkan.

Terlepas dari berbagai sebab, budaya semacam ini amatlah meresahkan. Mengguritanya mindset negatif (Santai aja, nanti ada petugas kok) membuat persoalan tidak semudah mengambil dana abadi dari brankas, melainkan serumit overthinking-nya Masisir saat memikirkan masa depan selepas Lc. Sebagai warga pendatang, tak ada yang lebih bisa diupayakan untuk mengubah kebiasaan itu selain menjadi role model atau teladan yang baik. 

Sangat ironi apabila Masisir sendiri malah turut meramaikan dalam mengotori, alih-alih memengaruhi. Problem penanggulangan sampah ini rasanya cukup menjadi beban moral dan tanggung jawab sosial selaku diaspora Indonesia yang menempuh pendidikan di Al-Azhar. Telah banyak kontribusi Mesir dan Al-Azhar dalam memupuk kehidupan dan pendidikan kita sehingga kepedulian ini wajarlah dianggap sebagai bentuk wujud dari balas budi.

Walaupun tampak sederhana, jika dilakukan secara konsisten, bisa saja manuver ini akan memengaruhi konstruksi budaya masyarakat yang telah terbentuk, menjadi lebih baik. Sehingga ungkapan Muhammad Abduh, “Saya melihat Islam di Barat, tetapi tidak melihat muslim. Dan saya melihat Muslim di Timur, tetapi tidak melihat Islam,” dapat menjadi tidak relevan lagi. Andaipun tidak terealisasi dengan sempurna, setidaknya ada hati yang tersentuh mewujud dalam sebuah kesadaran.

Respon Warga Mesir 

Statment-nya Abduh dapat sedikit demi sedikit terpatahkan melalui aksi ‘Kairo Tanpa Sampah’ ini, gerakan yang pernah saya alami saat tinggal di asrama Daarul Wasilah, kerja bakti bersama membersihkan pasar Asyir setiap Jumat pagi. Kegiatan ini sangat direspon positif oleh warga sekitar. “Allah… Allah” sorak teriak warga yang melihat, tersenyum sambil mengangkat tangan tanda kagum dengan apa yang mereka saksikan.

Fakta semacam ini sama pula dirasakan kolega saya Awangga, saat PPMI Mesir (2022) mengadakan program Diplomasi Indonesia-Mesir dengan mengambil jalur bersih-bersih kawasan Darrasa serta menyumbang beberapa tong sampah. Warga pribumi yang melihat, terpancar haru dan kagum dari mimik muka. Ada juga yang hingga ikut membantu, seolah tak enak hati (Ini negara saya, kok malah orang asing yang membersihkan).

Wacana ini juga, pernah saya diskusikan dengan teman Mesir, Mario dan Manar. Seputar bagaimana kira-kira respon dan tanggapan warga Kairo secara umum. Asumsi awal yang saya terka warga akan merasa tersinggung dan sinis itu; terobati dengan penjelasan, bahwa ini merupakan gerakan yang sangat bagus untuk menumbuh suburkan kesadaran warga pribumi, ungkapnya. Hanya, yang menjadi pesan Mario adalah jangan sampai memberi kesan bahwa orang Indonesia itu bersih, sedangkan orang Mesir kotor. 

Pesan Mario itu bagi saya cukup dapat disiasati dengan komunikasi dan strategi yang baik dan matang. Kita dapat lihat fakta yang terjadi dalam gerakan berbagi takjil, walaupun konteksnya berbeda, sedikit banyaknya respon dari warga pribumi itu dapat terbaca dan tergambarkan. Fajar sebagai salah satu dari pengagas gerakan berbagi ini mengakui bahwa warga pribumi sangat antusias mengantri, terpancar aura-aura senang dan bahagia.

Baca juga: Pahlawan Sampah yang Tersisih di Negeri Sendiri

Bayang-bayang Dampak

Saya membayangkan jika realisasi gerakan ini dilanggengkan secara konsisten, oleh Masisir secara luas, dimotori oleh siapa saja, akan lahir berbagai dampak sosial yang diperoleh. Apa yang pernah saya alami di asrama, sekedar berlangsung beberapa kali, tempatnya hanya di pasar Asyir pula. Begitu juga dengan Awangga, bahkan hanya dilakukannya sekali saja. Hal ini menjadi wajar jika dampak yang hadir tidak begitu terasa.

Apabila sebuah gerakan, ingin bernilai lebih daripada niat untuk kebaikan, yang berujung pada pahala dan ridha Allah, maka harus ada perencanaan yang cemerlang dalam membungkus syiar. Sebab tak dapat dipungkiri ada potensi cantik yang akan melekat beriringan, diantaranya:

Pertama, lebih mudahnya komunikasi dengan petinggi pribumi setempat. Setelah warga merasakan dampak yang terjadi, bahwa hadirnya warga Indonesia di Mesir ini bukan hanya sekedar menumpang, melainkan juga menghadirkan berbagai kebaikan, upaya ini akan berpotensi membuat hati mereka tersentuh dan luluh.

Setelahnya konsep Give to Give dapat mudah teraplikasikan. Ketika ada tindak pelecehan, pencurian dan hal kriminal lain misalnya, komunikasi yang lancar itu akan berbuah pada ketidak-seganan Masisir untuk meminta bantuan kepada petinggi atau warga pribumi sekitar, dan mereka pun akan berpotensi untuk lebih antusias dalam membantu. Ya, tentunya akan menjadi pisau bermata dua, jika terjadi miskomunikasi.

Kedua, menarik perhatian donatur Mesir. Harapan adanya kesejahteraan sudah menjadi keresahan bersama, terkhusus beras yang sudah lama digadang-gadang kehadirannya kembali. Baba Ragab yang tak lagi mengirimkan musa’adah disebabkan oleh berbagai hal, membuat hadir perasaan ‘sedih’ dan ‘rindu’.

Anggapan bahwa muhsinin bukan hanya Baba Ragab, tak daya berhenti dengan hanya sekedar anggapan. Tetapi harus ada upaya untuk merealisasikan, baik dengan diplomasi secara langsung atau tidak langsung. Secara psikologis, orang akan berpotensi untuk memberi setelah ada feedback positif yang datang dari si penerima, dan salah satu upaya untuk memuluskan itu, dapat ditempuh melalui jalur gerakan ini.

Ketiga, Al-Azhar akan bangga, sehingga sangat berpotensi untuk lebih eratnya hubungan. Era Amrizal Batu Bara misalnya, ada gerakan berupa bersih-bersih kampus, -selain karna momennya yang pas- barangkali menjadi contoh konkrit yang berimbas pada lebih mulusnya jalur komunikasi dengan petinggi Al-Azhar. Kemudahan akses dan citra positif semacam ini, akan berakibat mandraguna, baik fasilitas gratis hingga bantuan tambahan semacam beasiswa dan sebagainya.

Walakhir

Terealisasinya gerakan ini, efeknya sangat elegan dalam jangka panjang, apalagi ditambah strategi propaganda yang apik, rapi dan terstruktur. Selain ambisi idealis, langkah yang lihai dalam membentuk citra positif dan aksi politis yang brilian dalam memperjuangkan kepentingan bersama, adalah perkara yang mesti menjadi perhatian para calon atau stakeholder hari ini.

Dampak-dampak di muka, akhirnya hanyalah bonus bermotif probabilitas-probabilitas. Substansi yang perlu dijadikan pegangan adalah, Mesir dan Al-Azhar dengan apa adanya, telah banyak memberi. Harapan Al-Azhar yang sering digaungkan, ialah bagaimana menyebarkan risalah-risalahnya di tanah air saja. Adapun wacana gerakan ini merupakan bentuk ekspresi dari rasa terimakasih sebelum mudik, yang barangkali dapat dipertimbangkan berjamaah.

#KairoTanpaSampah #BerdampakBerjamaah

Oleh: Faiz Abdurrahman

(Penulis adalah Koorinator rubrik Esai Website Manggala 2023-2024)

Editor: Rifqi Taqiyuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *