Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi
Rehat, lagu yang setia nangkring di playlist spotify saya. Diciptakan oleh Kunto Aji, lagu ini memuat spektrum emosi yang unik. Cocok sekali didengar ketika sedang merasa capek, hectic, penat dan jemu dengan aktivitas sehari-hari. Sambil berjalan santai menuju Darb Syughlan atau bepergian dengan kendaraan umum menuju tujuan, rasanya damai sekali. Mengangkat isu kesehatan mental, Kunto Aji berhasil menyihir pendengarnya dengan alunan yang menenangkan dan lirik yang menentramkan. Hari ini, isu yang diangkat Kunto Aji dalam sebuah mahakarya 5 tahun lalu, mendapat perhatian lebih oleh khalayak ramai.
Isu Kesehatan Mental sebenarnya bukan barang baru, sudah ada sejak dulu dan hingga nanti. Hal ini pun bukan barang langka, semua orang bisa dan pasti mengalaminya. Seseorang yang bermental sehat, menurut WHO, adalah keadaan sejahtera di mana setiap individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri. Artinya, mereka dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat berfungsi secara produktif dan bermanfaat, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitas mereka.
Di sisi lain, istilah kesehatan mental sering kali secara keliru digunakan sebagai ungkapan pengganti untuk masalah kesehatan mental – yang terkait dengan depresi, gangguan kecemasan, skizofrenia, dan lain-lain – padahal sebenarnya, kesehatan mental tidak sama dengan masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan mental inilah yang sering kita artikan dengan kata-kata seperti mental breakdown, mental health, dan berbagai istilah lain yang sayangnya acap kali disalahgunakan akhir-akhir ini.
Eksploitasi masalah kesehatan mental semakin merajalela, disokong dengan mudahnya penyaluran informasi, eksploitasi ini merebak hingga penjuru dunia. Tak heran pula akhirnya kita akrab mendengar istilah-istilah yang sering digunakan oleh ‘para pengidap’. Bipolar, mood swing, anxiety, healing dan masih banyak kata lain yang kalau kita tanyakan makna kata tersebut pada yang bersangkutan, mereka hanya akan menjawab ala kadarnya saja. Padahal, kata bipolar tak sebatas bermakna gangguan emosi yang tidak stabil, bipolar adalah sebuah gangguan kronis berulang yang ditandai dengan fluktuasi suasana hati dan energi, yang umumnya menyebabkan gangguan kognitif dan fungsional serta meningkatkan risiko seseorang untuk bunuh diri. Anxiety juga bukan hanya berarti perasaan berdebar, kecemasan diartikan sebagai kondisi emosional yang ditandai dengan gairah fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, serta rasa khawatir tentang hal-hal buruk yang terjadi pada masa mendatang. Sama halnya dengan healing, bukan semata bermakna mengunjungi alam atau meminum segelas tequila di bar ibukota, healing merujuk pada proses penyembuhan luka batin yang diupayakan oleh individu.
Seiring dengan menyebarnya eksploitasi tersebut, akibatnya makin banyak orang yang terjebak pada self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri mengidap sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri. Sejak semua informasi hanya berasal dari diri sendiri, hal ini bisa berbahaya karena asumsi kita tersebut bisa saja salah. Hanya karena sering mengalami perubahan suasana hati, lantas kita menyimpulkan bahwa kita seorang bipolar. Eksploitasi yang berakibat dan diakibatkan oleh self-diagnosis banyak kita temukan contohnya di dunia maya maupun di dunia nyata.
Tak hanya self-diagnosis, penyelewengan ini juga termasuk overthinking yang dapat diartikan menanggapi sebuah peristiwa/kejadian secara berlebihan. Tak jarang kita temui di platform-platform media sosial ‘pengakuan-pengakuan’ mereka yang merasa terkena mental breakdown hanya karena sekali kena tegur atasan, atau karena tugas yang makin menumpuk, atau hanya karena nasehat yang sedikit terlewat dari orang tua, tiba-tiba dengan entengnya berkesimpulan bahwa keluarganya adalah broken home, kampusnya tidak aware terhadap kondisi masing-masing peserta didik, dan lingkungan kerjanya adalah lingkungan yang toxic. Padahal kalau ditelusuri, bisa jadi kita sendirilah penyebab semuanya. Menempatkan diri dalam kondisi sulit, lalu saat semuanya terasa menyusahkan, dengan enteng mulai menyalahkan keadaan, orang sekitar, hingga sang pencipta. Stop it, dude. Gather your shit together.
Tak hanya self-diagnosis dan overthinking, berlebihan memercayai sosial media juga memengaruhi eksploitasi masalah kesehatan mental hari ini. Apa-apa yang nampaknya mampu menguras emosi, langsung dipercaya tanpa mengecek terlebih dahulu faktanya. Dean Burnett, seorang ahli saraf dan penulis menjelaskan, peristiwa yang merangsang emosi semakin mudah untuk disimpan dan diingat, dibandingkan dengan ketika menemukan data dan fakta yang objektif. Melihat pengakuan seorang anak yang katanya hidupnya tidak tentram di rumah, sering disakiti baik secara verbal maupun non-verbal, hingga akhirnya berani speak-up di TikTok. Bukan bermaksud skeptis, peristiwa diatas mungkin ada tapi pernahkah kita bertanya sumber masalahnya di mana? Bisa jadi memang sang anak mengalami hal tersebut dan segera memerlukan pendampingan, tapi bisa jadi juga sang anak sedang bermain game online lalu si ibu berkata dengan lemah lembut “Nak, belikan terasi di warung!” yang lambat laun menjadi teriakan akibat dibalas oleh sahutan “Gak mau, lagi main game!”, atau “Beli aja sendiri!”, hingga sang ibu menjewer atau mencubit dengan penuh kehati-hatian. Bisa jadi, bukan?
Kombinasi 3 hal diatas dapat kita saksikan dan rasakan dampaknya hari ini. Berapa banyak akhirnya orang yang terjebak dalam jerat yang mereka tebar sendiri hanya karena terlalu mudah memercayai sosial media, lalu mendiagnosis dirinya mengalami hal serupa, kemudian seakan-akan semesta bergerak melawannya, melontarkan aduan, keluhan, cacian, makian, tentang betapa buruk dan hancurnya lingkungan serta kehidupannya sekarang ini. Kemudian menjadikan masalah tersebut pembenaran atas sesuatu yang keliru, berkedok mental breakdown malah melegitimasi hal-hal yang keliru. Kasus-kasus seperti ini lazim sekali kita temukan di sekitar.
Masalah kesehatan mental, laiknya masalah lain, juga memiliki penawar, bahkan untuk masalah ini, penawar tersebut begitu banyak dan bermacam bentuknya. Mulai dari berbicara dengan orang terdekat, mendengarkan musik, menulis dan membuat jurnal, berolahraga dan berbagai aktivitas lain. Alih-alih menumpahkan emosi negatif tersebut secara membabi buta, mengonversikan pelepasan emosi negatif tersebut menjadi aktivitas positif yang mampu lambat laun mengurangi beban tersebut merupakan sesuatu yang lebih baik. Tak perlu semua, sedikit pun terasa manfaatnya.
Tak cukup sampai di situ, untuk mempertahankan kondisi kesehatan mental yang baik, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan. Mulai dari meditasi, terapi, melatih kemampuan interpersonal, melatih penerimaan diri, hingga menantang pikiran negatif. Sejak semuanya masih berasal dari pikiran kita, maka apa yang terlintas dan terpikir bukanlah suatu kenyataan. Sejak itu bukan dan belum menjadi kenyataan, maka tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Jangan menakutkan hal yang belum terjadi, mantra ampuh untuk meyakinkan diri bahwa semua skenario buruk yang pernah hinggap dan menetap di alam bawah sadar, bukanlah sebuah kenyataan yang perlu terlalu dipikirkan.
Dengan demikian, masalah kesehatan mental memang hal penting yang perlu ditanggapi dengan serius. Akan tetapi, tak bijak rasanya jika isu ini dieksploitasi dengan semena-mena. Bentuk-bentuk penyelewengan di atas perlu dihentikan. Justifikasi atas hal-hal keliru berkedok ‘sedang mengalami gangguan mental’ juga harus berakhir. Banyak alternatif aktivitas yang bisa melepaskan emosi negatif yang terendap dalam jiwa. Karena pada akhirnya, selalu ada telinga yang siap mendengar, selalu ada pikiran untuk diajak bertukar, dan selalu ada hati untuk kau rayu agar saling memahami.
Oleh: Ahmad Arif Avianto
(Penulis adalah kru rubrik Esai Website Manggala 2023-2024)
Editor: Muhammad Iqbal ZIa Ulhaq