Pemilu Raya 2024; Sebuah Harapan Sia-sia

Pemilu Raya 2024
Sc: Solopos.com

Ini masalah kuasa

Alibimu berharga

Kalau kami tak percaya

Lantas kau mau apa

Potongan lirik dari lagu milik Efek Rumah Kaca yang berjudul Mosi Tidak Percaya ini sempat populer medio 2019. Konon katanya, lagu ini adalah sahabat setia para pedemo kala menyuarakan aksinya. Ketika suratan takdir mempertemukan saya dengan lagu ini via shuffle pintar spotify, ingatan tentang pemilu raya yang sebentar lagi terlaksana sekelebat muncul di benak. Apa yang bisa kita harapkan dari pemilu tahun ini?

Berbicara soal harapan pemilu, utamanya pasti soal pemimpin baru. Sebagian orang akan berdoa semoga pemimpin nanti tak ada cacatnya, suci perbuatannya, jelas visi misinya, dapat terlaksana seluruh programnya, serta mampu menjadi pengayom sesungguhnya. Sebagian yang lain berdoa tak muluk-muluk, asal lebih baik dari yang sebelumnya, bukan masalah buat kita. Sebagian terakhir memilih tidak berdoa, menurut mereka siapa pun yang terpilih tidak ada dampaknya. Pun tak mengubah nasib mereka. “Siapa pun presidennya, toh masalah-masalahnya sama saja. Cuma berganti pemeran saja. Buat apa repot-repot menggunakan hak suara, seperti suara kita didengar saja.” Seakan merestui aspirasi golongan terakhir, pada Pemilu Raya edisi sebelumnya hanya 1.951 dari total 12.365 Masisir atau sekitar 15,77% yang  menggunakan hak pilihnya. Timbul tanda tanya, apakah memang sebegitu putus asanya Masisir akan perubahan? Apakah memang sudah tidak ada yang bisa diharapkan? Atau justru merupakan manifestasi dari kekecewaan? 

Kalau kita telusur lebih dalam, sikap apatis mayoritas Masisir bukan tanpa alasan. Setidaknya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Masisir jengah akan kelakuan para pejabat yang sepertinya memang belum siap untuk jadi pemimpin. Seperti radio rusak, masalah-masalah yang menguap ke permukaan dari internal PPMI hanya itu-itu saja. Sejak 2021, fulus selalu menjadi headline pemberitaan soal PPMI. Mulai dari fulus donasi masisir yang digelapkan, fulus yang dipinjam oleh senior, fulus yang dipakai untuk kepentingan pribadi, hingga fulus yang mengakibatkan dua nyawa Masisir melayang.

Bak dua sejoli, tak adil rasanya jika tidak menyertakan hajatan wisuda, sebagai salah satu event akbar, acara wisuda juga turut hadir bersama drama-drama akbar lainnya. Pada 2021, kita punya drama presiden yang punya tiga permintaan; menjadi pembaca ikrar, duduk di kursi VIP, dan memohon namanya disebut sebagai wisudawan pertama. Pada 2022, gaduh-gaduh soal panitia yang mengundurkan diri mengawali drama wisuda. Dilanjut dengan pertunjukkan komedi situasi atap wisma, ketika presiden berusaha memaksakan kehendaknya menambah gegap gempita. Lalu ditutup dengan wisuda tandingan yang bersaing harga dan mirisnya diadakan oleh PPMI Mesir sendiri, di luar campur tangan panitia selaku penanggung jawab resmi. 

Bukan hanya kesalahan yang kesannya diulang-ulang saja, apatisnya Masisir juga terjadi akibat tidak adanya ketegasan dari lembaga induk serta para turunannya. Masih segar di ingatan bagaimana lambatnya respons pihak terkait tentang tindak pidana kekerasan yang menelan banyak korban. Belum lagi sikap yang terkesan membela salah satu pihak. Usut punya usut, berbagai tindakan kekerasan serupa ternyata sering terjadi, tetapi ujung-ujungnya ‘dipaksa’ berakhir damai. Kekecewaan yang menumpuk akhirnya menemukan titik klimaks, sudah tidak percaya siapa pun presidennya, apa pun janji manisnya. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir kepengurusan, PPMI Mesir seakan tidak belajar dari kesalahan. 

Kasus-kasus di atas hanya contoh kecil dari masalah yang kerap muncul dari tubuh PPMI Mesir, dan harus diakui kalau sensasi-sensasi yang timbul dari tubuh PPMI Mesir ini begitu seksi dan menggaet atensi. Tanpa bermaksud menafikan kinerja PPMI Mesir, akan tetapi seluruh program dan niat baik PPMI, mulai dari berbagai audiensi, Program 2000 LC, hingga Dai Muda Masisir tertutup oleh ulah “oknum” lembaga itu sendiri. Sedih rasanya melihat perjuangan orang-orang yang mungkin masih tulus berniat mengabdi tetapi ditikam oleh tingkah teman sendiri. Karena nila setitik rusak PPMI Mesir sebelanga.

Maka jangan salahkan jika pada setiap tongkrongan, topik yang dibahas tentang PPMI Mesir dan turunannya tidak jauh-jauh dari aibnya. Mulai dari singkatan-singkatan nyeleneh tentang PPMI yang huruf P-nya berarti paylater, atau DKKM yang berarti Dewan Ketertiban dan Keamanan Mahasiswi akibat diskriminasi gender ketika meminta bantuan. Hingga PPMI Mesir menjelma menjadi lembaga terakhir untuk mengatasi masalah finansial. Akhirnya, lahirlah akun Masisir Sotoy atau mastoy sebagai representasi orang-orang yang gundah. Membalut kritik sosial dalam bungkus komedi. Sayangnya, pihak yang disinggung pun sepertinya menganggap konten-konten tersebut sekadar lucu-lucuan belaka, tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

Akankah secercah harapan itu akhirnya terbit juga? Jika kembali ke arena pertarungan, kedua calon memang sama baiknya. Sejak pertarungan demi kursi PPMI 1 ini hanya adu kuat dua organisasi yang disokong dengan basis massa terbesar se-Masisir, terlalu utopis rasanya mengharapkan pemilu yang demokratis. Pun ketika adu gagasan, bukannya membela paslon dengan menyuarakan program unggulan, para simpatisan malah sibuk mengungkit-ungkit kesalahan. Mulai dari ‘perusakan wanita’ hingga ‘perusakan sekretariat’ menghiasi kolom live chat streaming debat kedua. Hadir langsung di tempat kiranya dapat menghadirkan suasana berbeda. Nyatanya, saya semakin yakin, ustadz/ah pengajar bimbel lebih dihormati dan didengar suaranya dibanding Presiden PPMI Mesir. Berkaca dari hal di atas, saya curiga, jangan-jangan pencalonan presiden hanya karena pride semata? Atau jatah temus yang seksi nan menggoda? Atau bagi-bagi kursi setelah berkuasa? Atau jangan-jangan para simpatisan dijanjikan pinjaman dana dengan limit tak terbatas setelah temannya jadi penguasa? Nggak mungkin sampe segitunya, dong? Iya, kan?

Ada satu pola unik yang penulis cermati tiap pemilu raya. Kehebohan jarang terjadi pra-pencoblosan, praktis minim terjadi perang dingin antar paslon sebelum menuju bilik suara. Gaduh-gaduh justru terjadi setelah PPMI 1 resmi ditetapkan. Periode 2023/2024 yang digadang-gadang adem-ayem, pada akhir masa jabatannya malah ternoda oleh kasus EGP 40.000 yang akhirnya membuat dana organisasi dibekukan. Ini yang harus dijaga dan mendapat perhatian lebih oleh presiden nanti. Bagaimana menjaga nama baik lembaga yang sudah susah payah dibangun ketika awal menjabat, bertindak secara cermat, serta tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh internal.

Menghadirkan kembali harapan di tengah Masisir memang tugas berat yang diemban oleh kedua paslon dan presiden terpilih nanti. Tetapi, bukan berarti tidak mungkin. Bekerja ekstra keras menyuarakan ide-ide brilian, menebar janji-janji dan program unggulan, cermat membaca dinamika Masisir, serta yang terpenting, menjaga kepercayaan rakyat yang sudah mempercayakan hak suaranya dan memulihkan kepercayaan orang-orang yang tidak bersuara. Jika hal-hal di atas urung terlaksana, terutama menjaga dan memulihkan kepercayaan Masisir, jangan heran kalau mastoy tidak akan kehabisan konten selama setahun ke depan. Kekecewaan yang sudah menumpuk, akan semakin menggumpal dan menghitam seiring waktu berjalan. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan PPMI Mesir menjadi lembaga ‘mati’ jika tidak ada langkah konkret dari pemimpin terpilih.

Pada akhirnya, pemilu raya ini mirip-mirip seperti pangkas rambut. Kita mesti sama-sama jujur. Kalau kependekan ya bilang kependekan, jangan malah bilang pas dengan dalih orangnya ga enakan. Suka ya bilang suka, tidak sreg ya bilang tidak sreg, jangan malah ikut-ikutan hanya karena satu rombongan. Nasib baik namanya pemilihan, sehingga tidak memilih bukan sebuah kesalahan. Toh, buat apa repot-repot bersuara, seperti suaramu didengar saja.

Oleh: Ahmad Arif Avianto

Kru Esai Website Manggala 2023-2024

Editor: Rifqi Taqiyuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *