Esai, Opini  

Politik dan Bullshit-nya Idealisme Mahasiswa 

Politik dan Idealisme Mahasiswa
Sc: imgflip.com

Bulan lalu sebelum ujian, saya ngopi atau ngobrol politik bersama kawan-kawan PII Mesir terkait strategi para kandidat dalam kampanye dan bagaimana kemudian kita menyikapinya sehingga dapat bijak dalam memilih. 

Saat membincang seputar strategi, gimmick menjadi hal yang sama sekali tak lepas dari ketiga Paslon. Agar substansi tersampaikan, gimmick memang diperlukan untuk menarik perhatian, hanya saja jika kuantitasnya dominan dibanding gagasan, maka auto-kritiknya jangan-jangan ada yang salah dengan masyarakat kita. Sebab “lu beli, gua jual” menjadi prinsip tak terelakkan dalam politik. 

Jika masyarakat lebih suka ikan dibanding pancing. Maka yang dihidangkan tentulah ikan. Karena dalam pikiran politisi, percuma menghadirkan pancing walau jauh lebih maslahat, jika pada akhirnya ngga terjual. Sistem demokrasi menjadi sangat buruk (Plato) selama keadaan ini masih terjadi, janji-janji manipulatif akan turut membanjiri dan rakyat akan bertindak persis sesuai dengan apa yang diinginkan politisi.

Mendengar apa yang disampaikan Alissa Wahid pada acara Gus Dur’s Day oleh Gusdurian Kairo, mahasiswa adalah jembatan kaum awam untuk melangkah menuju pemikiran yang ideal. Dalam konteks Pemilu kita dapat membahasakannya, supaya demokrasi berprogres membaik, maka mahasiswa harus ikut serta dalam mencerdaskan dirinya sendiri dan khalayak. Namun, bagaimana kemudian dengan realita di lapangan?

Hipotesa Arah Pemilih Tetap

Pemilih termasuk partisipan politik yang kontribusinya dalam mencoblos adalah positif untuk negara. Data pemilih tetap Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyatakan bahwa Generasi Baby Boomer (lahir 1945-1965) sebanyak 13,7%, Gen X (lahir 1965-1980) sebanyak 28,1%, Gen Milenial (lahir 1989-1996) sebanyak 33,6%, dan Gen Z (lahir 1997-2012) sebanyak 22,9% dari total partisipan sebanyak 204,8 juta orang. 

Jika kita berhipotesa, dengan menyandingkan data rendahnya literasi masyarakat Indonesia, menjadi hal yang potensial dan wajar jika partisipan didominasi oleh pemilih yang memilih berdasarkan aspek emosional seperti yang barangkali sering kita diskusikan dan dikhawatirkan pula oleh para pengamat politik.

Tim pemenangan Paslon sadar betul bahwa masyarakat masih banyak yang secara langsung terpengaruh oleh hal-hal remeh temeh. Gimmick slepet, gemoy, salam tiga jari, dan banyak lainnya menjadi jualan strategis dalam meraup suara berdalih popularitas. Bahkan “Jawasentris” kandidat merupakan bukti nyata bahwa masyarakat masih cenderung memilih atas daerah, suku atau identitas yang sama.

Kaos dan sembako kampanye menjadi rebutan, tak jarang pula para Paslon mendatangi tokoh-tokoh yang berpengaruh, dengan membawa iming-iming berbentuk insentif dan kepentingan, baik berupa jatah proyek, jabatan, dan kemudahan akses.

Apabila hipotesa ini benar nyata demikian, maka kemajuan Indonesia akan berjalan lambat, sebab potensi pemimpin yang ngga layak terpilih, akan bisa saja terwujud. Jika ngga ada yang memperbaiki kondisi ini, lantas pola-pola yang sama akan terus berulang sampai Anda nyaleg DPR RI bersaing dengan Rafathar bin Rafi Ahmad. 

Rasional dalam memilih memang perlu waktu dan akal yang terbuka untuk melihat gagasan, visi-misi dan rekam jejak Capres-Cawapres. Ngga semua masyarakat mempunyai kemampuan rasionalisasi dalam membandingkan. Walau saat ini sudah mudah diakses di bijakmemilih.com, tetapi tetap saja, sulit untuk diharapkan. 

Gagasan dan rekam jejak penting diketahui sebab dapat berimbas pada pengambilan keputusan saat menjabat nanti. Kemudian mempertimbangkan partai pengusung juga dapat berkonsekuensi pada pemihakan terhadap ideologi partai saat membuat kebijakan. Dan pula tokoh-tokoh konglomerat dibelakangnya yang bisa berakibat pada hutang-hutang politik. 

Hanya orang-orang terpelajar yang dapat diharapkan untuk mengaplikasikan sekaligus memahamkan, terlepas dari generasi apa. Akan tetapi, gen milenial ke atas, nampaknya rentan kehidupannya dengan kepentingan sebab mayoritas telah masuk kedalam dunia kerja. Lalu bagaimana dengan mahasiswa sebagai kaum muda terdidik dan nasib kemewahan terakhirnya yang digaung-gaungkan oleh Tan Malaka? 

Ketika Idealisme Hanyalah Ilusi

Mahasiswa seperti kata Alissa Wahid, mempunyai beban sosial dan beban moral dalam tubuh masyarakat. Jika kita tafsirkan, maka seakan beliau ingin mengatakan, kita harus mempunyai cita-cita luhur, yakni turut memahamkan dan memperjuangkan akal sehat demi masyarakat yang ideal.

Memang betul bahwa kebebasan mendukung atau menjadi relawan adalah hak, akan tetapi  “mencerdas berjamaah” harus tetap menjadi nilai yang dipegang teguh. Serentak dengan membumi hanguskan kefanatikan, agitasi kriminal, dan doktrin-doktrin manipulatif dalam memenangkan salah satu Paslon. 

Mahasiswa mempunyai ciri rasional, analitis, kritis, universal, sistematis dan objektif atau terangkum dalam istilah “RAKUSO” yang sering dikumandangkan. Maka dengan adanya pikiran, waktu dan tenaga, hal itu harus pula terimplementasikan dalam mengkampanyekan “bijak memilih”, tidak buta dan mati-matian mendukung.

Niat dalam hati, memang hanya kita sendiri dan Tuhan yang mengetahui. Ketika saya bermimpi, rumput yang bergoyang telah berkata pada saya andai saja ini terjadi. 

Pertama, ketika mahasiswa tergiur menjadi relawan hanya karena kepentingan pribadi, bukan berdasar aspek rasional di muka yang “demi Indonesia”. Kedua, ketika mahasiswa fanatik saat kampanye, mencaci Paslon lain, dan mempropagandakan manipulasi. Ketiga, ketika mahasiswa mendekat ke politisi untuk melancarkan niatnya yang terselubung sehingga tumpul dan rela membudak. 

Maka sudah biarkanlah kebusukan-kebusukan politik itu menggumpal, biarkan pula politisi eksekutif dan legislatif itu berkompromi sesuka hati, biarkanlah mereka melancarkan kepentingannya sendiri, biarkan, jangan kontrol, sudah biarkan saja tidak ada yang mengontrol. 

Kemudian saya tegaskan pada rumput, “Wahai rumput, itu ngga akan mungkin terjadi.”, “Yaa semoga saja.” Tetapi jika “andaian” ini pada akhirnya benar-benar terjadi, maka nyatalah bahwa mahasiswa hanyalah embrio dari busuknya politik, idealisme telah habis dilahap dan hanya menjadi jargon quotes bullshit. Relevanlah kutipan instagram @relawan.akal.masisir:

RIP Akal Sehat Mahasiswa

Hidup Kepentingan Politikus!

Oleh: Faiz Abdurrahman

Penulis adalah Koordinator Esai Website Manggala 2023-2024

Editor: Rifqi Taqiyuddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *