Di Jawa, orang sering menyebut bulan Muharam sebagai bulan “Sura”. Meski kata sura merupakan penggalan dari kata Asyura yang dalam bahasa Aramaik berarti ‘yang kesepuluh’ dan tradisi Asyura pada dasarnya adalah tradisi peringatan 10 Muharam. Namun penyebutan ini tidak bisa disebut sebagai sebuah kekeliruan. Sebaliknya, pilihan penyebutan ini justru mencerminkan cara masyarakat Jawa menyikapi dan memberi muatan bagi bulan pertama dalam penanggalan hijriah ataupun Jawa.
Seperti yang kita ketahui, Asyura sendiri merupakan sebuah tradisi dengan sejarah yang panjang. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah Mempunyai andil dalam memberi warna dalam pemaknaan tradisi Asyura. Baik sebelum Islam dalam perkembangan Islam ataupun dalam konteks lokal. Yakni pertumbuhannya di Jawa khususnya dan nusantara umumnya.
Tradisi Asyura pada Ajaran Samawi
Yang pertama kali harus diingat adalah fakta bahwa tradisi Asyura memang mempunyai kesamaan dalam tradisi Yahudi. Yaitu tradisi “Yom Kippur” (hari penebusan) yang berlangsung pada hari kesepuluh bulan Tisyri menurut penanggalan mereka (atau bulan Muharam menurut kalender Islam).
Dalam tradisi Yahudi, Yom Kippur merupakan hari paling suci. Sebab secara langsung dikaitkan dengan momen turunnya sepuluh perintah Allah pada Nabi Musa as. yang menjadi inti agama mereka. Begitu juga momen selamatnya Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun.
Di kalangan orang Arab pra Islam, Asyura adalah juga hari raya penting yang disambut dengan meriah tiap tahunnya. Mereka menghias rumah dan kotanya sedemikian rupa dan mengenakan pakaian baru di hari itu.
Selain untuk mengenang dan menghormati momen yang dialami Nabi Musa as, tradisi ini juga dipakai untuk mengenang momen-momen kenabian penting lainnya. Di mana juga terjadi bertepatan pada tanggal tersebut. Seperti halnya bebasnya Nabi Nuh as dari banjir besar. Kemudian bebasnya Nabi Ibrahim as dari api Namrudz. Juga bebasnya Nabi Yakub as dari kebutaan dan pertemuannya dengan Nabi Yusuf as. Pun, diangkatnya Nabi Isa as ke langit. Karena itu, Nabi Muhammad SAW kemudian menyunahkan umatnya untuk berpuasa di hari tersebut.
Artinya, pada awalnya makna tradisi di dalam Islam memang tak jauh berbeda dengan tradisi yang berkembang di kalangan Yahudi. Yaitu berkaitan dengan peristiwa yang dialami Nabi Musa as. Ditambah dengan memori atas peristiwa penting yang dialami nabi-nabi lain di tanggal tersebut.
Tapi tak berselang lama setelah pemaknaan dalam kerangka ini dipakai, muncul peristiwa besar dalam sejarah Islam. Yakni terjadinya peristiwa Karbala. Di mana terbunuhnya Imam Husein (cucu sang Rosullullah SAW) yang secara kebetulan bertepatan dengan tanggal 10 Muharam atau hari Asyura tersebut.
Ini yang kemudian menggeser (atau paling tidak memberikan penekanan lain) tentang makna Asyura bagi sebagian kaum muslimin. Peringatan Asyura bukan lagi melulu tradisi untuk mengenang peristiwa yang dialami Nabi Musa as atau nabi-nabi lain di masa lampu. Namun juga sekaligus menjadi tradisi mengenang syahidnya Imam Husein.
Di kalangan Syiah misalnya, justru kenangan atas syahidnya Imam Husein lah yang lebih dominan mewarnai tradisi Asyura. Sementara kenangan atas peristiwa Nabi Musa as. dan nabi-nabi lainnya, mulai sayup-sayup tertinggal di belakang. Dari sini kita bisa melihat bahwa sejarah sudah melahirkan dua kerangka pemaknaan atas Asyura. Lebih mudahnya sebut saja “Asyura Nabi-Nabi” dan “Asyura Imam Husein”.
Baca juga artikel lainnya: Asyura; Bebasnya Bani Israil dari Kuasa Firaun
Pemaknaan Asyura di Tanah Jawa
Bila kita meloncat ke fase sejarah yang lain dan menengok perkembangan Islam di Jawa khususnya. Kita akan segera menemukan fakta bahwa kerangka pemaknaan atas Asyura bertambah satu lagi. Sebut saja sebagai “Asyura Wali Sanga” atau “Asyura Masyarakat Jawa”.
Seperti kita ketahui, tradisi haul—peringatan kematian bagi Wali Sanga—ternyata dilangsungkan bertepatan pada hari ِAsyura, 10 Muharam. Pada awalnya tradisi ini memang dimaksud untuk mengaitkan kenangan atas Wali Sanga. Yang secara historis sulit dilacak secara persis tanggal wafatnya dengan peristiwa Asyura nabi-nabi atau Asyura Imam Husain.
Tapi segera setelah waktu berlalu. Paling tidak bagi orang Jawa Asyura justru lebih ditekankan pada makna haul Wali Sanganya. Pun, pada kenangan atas jasa-jasa Wali Sanganya. Sementara kenangan atas sepuluh perintah Tuhan dan mukjizat nabi-nabi lain dalam “Asyura nabi-nabi” atau kesyahidan dalam “Asyura Imam Husein” justru mulai sayup-sayup tertinggal di belakang atau bahkan sudah hilang. Artinya di Jawa, penekanan atas Asyura kemudian berkembang menjadi spesifik dan bernuansa lokal menjadi Asyura Wali Sanga.
Meski demikian, bukan berarti Asyura di Jawa lantas kehilangan muatan makna yang dikandung kedua Asyura lain. Terutama Asyura nabi-nabi lainnya. Seperti di sebut di awal, penamaan “Sura” untuk bulan Muharam justru bisa dipakai untuk menjelaskan betapa muatan makna Asyura tersebut justru muncul menjadi inti tradisi menyambut tahun baru hijriah di Jawa khususnya. Ini sejajar dengan penyebutan “Maulud” atau “Mulud”
bagi Rabiul Awal. Di mana peringatan hari lahir Nabi SAW yang dikenal sebagai mauludan menjadi inti tradisi di bulan ini.
Baca juga artikel lainnya: Puasa Asyura: Syubhat, Jawaban dan Hikmah
Laku Prihatin dalam Tradisi Asyura
Di Jawa, penekanan pada muatan makna Asyura ini misalnya terlihat dari tradisi laku prihatin yang biasa dikerjakan orang untuk menyambut tahun baru hijriah. Sebuah tradisi yang kalau dilacak tampaknya berakar pada tradisi tasawuf. Atau lebih spesifik sebagai tradisi thariqah.
Sebagaimana kita ketahui. Menurut al-Quran, sebelum menerima sepuluh perintah dari Tuhan, Nabi Musa as diperintahkan untuk berpuasa 30 hari. Lalu setelah itu ditambah 10 hari. Tambahan sepuluh hari inilah terjadi pada tanggal 1 sampai 10 Muharam—bulan Tisri menurut penanggalan Yahudi.
Inilah alasan mengapa banyak thariqah kemudian menempatkan bulan Muharam sebagai salah satu bulan keramat. Di bulan ini (terutama sepuluh hari pertamanya) mereka bisa melakukan laku-laku prihatin. Yang mana disebut “riyadah” dalam istilah sufi, atau “riyalat” dalam kosa kata Jawa. Maknanya bermujahadah mendekatkan diri kepada tuhan. Dengan begitu, kita bisa menduga. Laku prihatin (entah dengan puasa, dengan tidak tidur atau lainnya) yang biasa dilakukan orang di Jawa di bulan Muharam ini, tumbuh dari tradisi thoriqoh tersebut.
Laku-laku prihatin itu sendiri biasanya dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Pertama, menajamkan kesadaran rohani. Kedua, memperoleh kedigdayaan atau kesaktian lahiriah. Atau kombinasi keduanya. Kalau jeli, kita akan menemukan bahwa kedua tujuannya ini pada dasarnya adalah dua aspek yang secara menonjol menggejala pada sosok Musa as.
Di satu sisi, beliau adalah sosok yang dipercaya memiliki peringkat rohani tinggi. Dalam arti bisa langsung bercakap dengan Tuhan dan merupakan salah satu di antara lima Rasul utama. Di sisi lain, beliau juga di kenal sosok yang dalam kerasulannya menunjukkan mukijizat-mukjizat lahiriah spektakuler. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa laku prihatin yang ditradisikan sebagian atau keseluruhan bulan ini memang lahir dari tafsir atas “Asyura nabi-nabi”. Itu jugalah alasan yang menyebabkan orang Jawa kemudian lebih mengenal bulan Muharam sebagai bulan “Sura“. Bahkan, untuk memeprtegas kaitan laku prihatin ini dengan Asyura, maka tradisi laku prihatin tersebut pun lantas dikenal sebagai tradisi ‘suranan’.
Yang menarik, di bulan ini orang Jawa juga melakukan ritual untuk menyucikan segala benda yang berkaitan dengan kedigdayaan. Salah satunya adalah dengan tradisi jamasa, tradisi mencuci di bulan ini. Bahkan orang Jawa pantang menyelenggarakan pesta atau resepsi atau apapun. Yang mana hal tersebut berkonotasi kegembiraan di bulan ini.
Dari dinamika pemaknaan yang berkembang di sekitar tradisi ini, kita sebenarnya bisa melihat bahwa pada akhirnya muatan makna sebuah teks atau tradisi, tak terkecuali teks atau tradisi yang di sucikan, selalu bisa berkembang kebanyak kemungkinan. Penafsiran manusialah penentu arahnya.
Baca juga artikel lainnya: Eksistensi Muharam dalam Kalender Hijriah
Oleh: Wafa Fadilah
Penulis adalah Pimpian Umum Manggala 2020/2021