Asyura; Bebasnya Bani Israil dari Kuasa Firaun

bani israil dan firaun
bani israil dan firaun

Bak amplop dan prangko, 10 Muharam atau Asyura erat sekali kaitannya dengan peristiwa bebasnya Bani Israil, berikut binasanya Firaun dan prajuritnya. Firaun, pemimpin yang dikenal zalim dan sombong sebab mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan. Tak ayal, bila di bawah kuasanya Bani Israil kerap tertindas. Mereka pun mendamba dapat terbebas dari cengkramannya.

Dengan begitu, berhasil terbebasnya Bani Israil dari Firaun menjadi momen yang amat sangat istimewa. Ibarat pecah bisul, semua derita yang selama ini ditanggung mereka telah lepas dari pundak. Wajar, bila setiap tahunnya mereka memperingati peristiwa tersebut dengan berpuasa di hari Asyura.

Seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya: Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Sebuah hari yang baik. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur…”

Bagaimana kisah terbebasnya Bani Israil dari kuasa Firaun? Akankah ada setitik keimanan dalam sombongnya jiwa Firaun? Yuk kita simak ceritanya di bawah ini.

Siapakah Bani Israil dan Musa as. itu?

Bani Israil adalah sebutan untuk kaum Yahudi yang dinisbatkan kepada keturunan Ya’qub bin Ishaq as. Adapun kata “Israil” adalah bahasa Ibrani yang tersusun dari dua kata yaitu; “isrā(hamba)” dan “īl (Allah)”. Kemudian ketika digabungkan menjadi Isrāīl (إسرائيل) yang berarti hamba Allah.

Allah Swt. Berfirman dalam Quran Surat Al-A’rāf ayat 160, “Dan mereka (Bani Israil) kami bagi menjadi dua belas suku (asbāth) yang masing-masingnya berjumlah besar.”

Dalam ayat ini, maksud dari “mereka (Bani Israil)” sendiri adalah sebutan untuk Nabi Ya’qub as. Di sisi lain, kalimat “asbāth” yang ditujukan bagi Bani Israil ibarat kabilah-kabilah dalam bangsa Arab. Sementara dalam Bahasa Arab,  “asbāth” merupakan bentuk jamak atau plural dari kata “sibth” yang berarti “cucu”. Namun terkadang kalimat ini digunakan untuk sebutan “anak”. Dengan demikian, 12 asbāth Bani Israil dalam al-Quran ini dinisbatkan kepada seluruh keturunan dari 12 anak Nabi Ya’qub as.

Kembali fokus soal pembebasan Bani Israil, di mana kejadian tersebut berlangsung ketika diutusnya Nabi Musa as. Siapakah Nabi Musa as. dan apakah dia juga berasal dari kaum yang sama?

Telisik lebih jauh, Nabi Musa as. sendiri masih keturunan Ya’qub as. dari anak keduanya, yaitu Levi atau Lewi. Kemudian nasab lengkap ­kalīmullāh ­adalah Musa bin Imran bin Qahits bin Azir bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Demikian halnya, dikutip dari kitab ­al-Bidāyah wal-Nihāyah.

Singkat kata, sejak lahir Musa as. telah diutus oleh Allah sebagai “perwakilan” Bani Israil guna menentang kesewenang-wenangan dan keangkuhan Firaun. Selama beberapa abad itu, betapa menderitanya Bani Israil sebab dipimpin olehnya. Dia membunuh tanpa alasan, menghambur-hamburkan kekayaan untuk memenuhi syahwatnya, dan mengaku sebagai tuhan. Dia juga merampas hak Bani Israil yang dianggap sebagai orang-orang lemah, bahkan memperbudak dan memperlakukan mereka seperti hewan.

Selain itu, Nabi Musa as. beserta saudaranya Harun as. diutus untuk menyeru Firaun beserta para petingginya kepada tauhid. Keduanya juga diutus guna bernegosiasi dengan mereka agar membebaskan Bani Israil. Sayangnya, Firaun tetap bersikukuh dengan kesombongannya, bahkan menolak untuk membebaskan Bani Israil. Berkali-kali Musa as. menghadap kepada Firaun, berkali-kali itu pula ia menolak ajakan Musa a.s. untuk mengesakan Allah Swt.

Bebasnya Bani Israil dari Firaun

Sebagian mufassirun ­berkata, Bani Israil meminta izin kepada Firaun untuk keluar dari Mesir untuk kebebasan mereka. Lalu firaun mengizinkan mereka, tapi disertai dengan rasa benci. Sebab ia sudah tak tahan atas beberapa kejadian aneh  yang telah menimpa Mesir.

Lantas Bani Israil mempersiapkan diri dan segera bergegas untuk pergi.

Firaun tentu tidak tinggal diam dan membiarkan mereka pergi dengan mudah begitu saja. Dengan murka dan marah, penguasa zalim itu segera mempersiapkan prajuritnya untuk menyusul mereka. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Tafsir al-Bahru al-Madīd, bahwa prajurit Firaun berjumlah 800.000 pasukan. Dengan mengerahkan segala kekuasaannya, akhirnya Firaun dan prajuritnya berhasil menyusul Bani Israil pada waktu matahari terbit.

Seketika kaumnya bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka bisa selamat? Sedang  di hadapan mereka adalah laut dan di belakang mereka adalah pasukan dzalim yang memiliki hasrat ingin membunuh? Maka Allah berfirman:

“Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu!” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. al-Syu’arā`: 63)

Maka seketika, lautan telah terbelah menjadi 12 jalan untuk setiap ­sibth. Setiap jalan terpisah dengan dinding lautan yang berdiri tegak bagaikan cermin, yang setiap orang bisa melihat satu sama lain. Telah dikatakan bahwa kejadian ini terjadi di Laut Merah, Mesir.

Dengan rasa takut dan takjub, akhirnya mereka turun menapaki jalanan yang kering itu. Ketika mereka sudah sampai di sebrang laut, Firaun dan prajuritnya baru sampai di tepi pantai untuk melewati lautan tersebut. Ketika mereka memasuki jalan itu, ketika itu pula orang terakhir dari Bani Israil keluar dari jalan (laut yang terbelah) itu. Belum sampai pada seberang lautan, seketika itu laut tertutup kembali sehingga Firaun dam pasukannya tenggelam. Di saat-saat terakhir ia mengikrarkan imannya.

“Hingga sampai Fir’aun itu hampir tenggelam berkatalah ia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan Saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Qs. Yūnus: 90)

Keimanan Firaun: Ditolak atau Diterima?

­Jumhur Ulama sepakat, perlakuan Firaun memang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pun, keimanannya tertolak sebab ia beriman ketika kematian sudah di depan matanya. Pendapat ini diperkuat oleh nas al-Quran:

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada mereka, (barulah) ia mengatakan: “sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih” (Qs. al-Nisā`: 10)

Adapun yang mengatakan bahwa Iman Firaun telah diterima, salah satunya adalah al-Hātimī, (Muhyiddin Abu Abdullah ibn Muhamad ibn Ahmad ibn Abdullah al-Haatimii at-Thaai). Masyhur dengan sebutan Ibnu Arabi, sufi ini terkenal dengan pahamnya yaitu “Wihdatul Wujud”. Ia berkata bahwasannya Firaun termasuk orang-orang yang selamat dan diterima imannya. Sayangnya pendapat ini adalah suatu yang tidak bisa dibuktikan, sebab tidak ada dalil untuk pendapat ini. Wallahu a’lam.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Puasa Asyura: Syubhat, Jawaban dan Hikmah”

Oleh: Cici Purwati

Penulis adalah Pimpinan Umum Majalah Manggala Periode 2018/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *