Di antara organisasi yang memiliki pengaruh global di abad 20, Ikhwanul Muslimin tampil ke atas panggung politik, sosial dan keagamaan masyarakat hampir di semua negara berpenduduk muslim di dunia. Betapapun persentase keberhasilan penerapan ideologi organisasi ini sangat kecil, namun harus diakui bahwa dinamika masyarakat, hubungan sosial antar individu dan kelompok, kondisi politik suatu negara serta pengaruh ekonomi global yang ditimbulkan olehnya tidak bisa dianggap biasa-biasa saja.
Dewasa ini, eksistensi Ikhwanul Muslimin sudah lenyap digilas zaman, bahkan di negara tempat ia lahir, Ikhwanul Muslimin—yang kerap disingkat IM—tak mendapat izin untuk hidup. Namun ideologi, prinsip, misi dan gagasan-gagasannya bisa dipastikan masih bersemayam dalam kepala tidak sedikit orang. Satu hal yang paling diingat dari organisasi ini adalah ideologi Islam Politik; prinsip yang meyakini bahwa Islam sebagai agama mesti—tidak mau tidak—harus diterapkan secara literal dalam semua sisi kehidupan, terutama dalam bidang politik berikut semua instrumennya.
Kemudian timbul pertanyaan, kondisi seperti apa yang melatarbelakangi berdirinya organisasi ini? Lalu masyarakat seperti apa yang mau menyokong visi-misi organisasi hingga siap pasang badan guna mewujudkannya sesegera mungkin itu? Dan apa kaitan Gerakan Kolonialisme Eropa pada tumbuhkembangnya Ikhwanul Muslimin seperti yang tertera pada judul tulisan ini?
Sejarah Berdirinya
Awal abad 20 adalah masa sulit bagi umat muslim di seluruh dunia, terutama masyarakat Arab. Cerita tentang kemajuan peradaban, geliat ilmu pengetahuan, kegiatan ekonomi yang memberikan kemakmuran tak terbatas, kemerdekaan berpikir dan berkeyakinan, semua itu hanya tinggal cerita yang diwariskan turun temurun dan tak lebih dari sekedar catatan masa lalu dalam buku-buku sejarah usang di beberapa perpustakaan. Adapun kondisi yang sebenarnya terjadi adalah kebalikan dari cerita masa lalu itu.
Semua ini terjadi dalam suasana psikologis yang tidak stabil; Institusi khilafah baru saja runtuh ‒dan sepertinya tak akan bangun lagi, kondisi yang belum pernah dialami umat muslim sebelumnya. Saat Kekhalifahan Umayyah jatuh, Abbasiyah muncul segera menggantikannya. Kemudian kala Institusi Abbasiyah mulai lemah—belum runtuh—negara Fatimiyah sudah dideklarasikan lalu mengklaim hak Kekhalifahan global umat muslim. Tak lama kemudian wangsa Umayyah di Andalus tak mau kalah dan mendapuk diri sebagai pemimpin umat Islam keseluruhan. Beberapa abad setelahnya, saat pusat-pusat kekuatan politik dunia Islam satu per satu berguguran, anak keturunan Utsman bin Ertughrul menahbiskan diri sebagai Khalifah Islamiyah yang berpusat di Istanbul dengan nama resmi Kekhilafahan Utsmaniyah.
Paruh ketiga abad dua puluh, persisnya tahun 1927 seorang pemuda penuh semangat bernama Hasan Al-Banna lulus dengan predikat mahasiswa terbaik dari Universitas Darul Ulum. Segera ia mendapat penugasan sebagai tenaga pengajar sekolah menengah di kota Ismailiyah, timur laut Mesir. Setibanya di Ismailiyah, kehidupan Al-Banna hanya berkutat di tiga tempat; sekolah, masjid dan losmen sewaannya. Kalaupun ada waktu luang, itu gunakannya untuk membaca dan berolahraga ringan saja.
Keluar dari fase sebagai mahasiswa, Al-Banna berkenalan dengan ‘dunia nyata’. Dilihatnya fenomena keterbelakangan, debat kusir yang tak berkesudahan serta kesenjangan ekonomi yang dialami mayoritas masyarakat pribumi. Belum lagi di barat kota ada kamp militer asing yang pongah, dari temboknya yang tinggi itu seakan berseru-seru meneriakkan pesan intimidatif kepada warga Ismailiyah. Di sebelah timur kota ada pemukiman pejabat teras perusahaan kanal Suez yang mayoritas dari mereka adalah orang asing. Perumahan mewah, jalan-jalan yang rapi dipenuhi bunga, lengkap dengan akses air bersih yang melimpah.
Sementara di masjid, selain shalat, yang ia temukan hanya khotbah-khotbah provokatif, majelis-majelis perdebatan dan tokoh agama yang menyumpahi orang-orang yang berbeda pandangan fikih dengannya. Soal tawasul, Al-Fatihah untuk mayit dan metode zikir tarekat adalah diskursus paling digandrungi masyarakat. Al-Banna jengah, terheran-heran; dalam kondisi hidup yang menyedihkan itu energi mereka justru dihabiskan untuk hal-hal nirmanfaat dan memecah belah.
Keprihatinan Al-Banna semakin menjadi-jadi saat mengetahui dekadensi moral dan praktek maksiat secara terang diperlihatkan oleh kelompok masyarakat asing yang ada di kota itu. Komunitas masyarakat asing telah membawa serangkaian budaya dan kebiasaan yang tabu bagi penduduk lokal. Tempat prostitusi dan mabuk-mabukan bertebaran dan pemukiman eksklusif mereka menambah rasa kecemburuan sosial. Pemerintah setempat juga dinilai terlalu banyak memberi keistimewaan dengan menamai plang perkantoran dan papan nama jalan dengan bahasa asing. Bahkan jalan masjid saja ditulis dengan bahasa Perancis, Rue Du Mosquee.
Setelah puas menganalisa, Al-Banna tau masjid bukanlah lokasi yang pas untuk berdakwah. Untuk menggaet atensi golongan muda Al-Banna memilih warung kopi sebagai pintu masuk ke dalam kehidupan orang kebanyakan. Mulailah ia berdakwah dari warung kopi yang satu ke warung kopi lainnya. Metode baru sang guru sekolah ini cukup disukai anak muda, pembahasannya tidak melulu soal perbedaan pendapat para ulama dan ancaman azab saja. Seminggu dua kali Al-Banna mengunjungi warung kopi, paling lama 15 menit ia bicara. Bagi beberapa orang yang merasa kurang puas dengan waktu yang singkat itu, mereka meminta Al-Banna mementori mereka di tempat khusus di luar warung kopi.
Demikianlah dakwah Al-Banna kemudian tumbuh. Upayanya yang sebisa mungkin menghindari konfrontasi dengan kelompok berpengaruh di kota itu juga berperan dalam mempercepat namanya dikenal banyak orang. Akhirnya, belum genap setahun di Ismailiyah, bulan Maret 1928 enam orang peminat majelis warung kopi (Hafiz Abdurahman, Ahmad Hashri, Fuad Ibrahim, Abdurahman Hasbullah, Ismail Iz dan Zaki Maghribi) datang menghadap meminta Al-Banna mendirikan sebuah organisasi demi kemajuan gerakan dakwah yang telah dimulainya itu. Enam orang pekerja rendahan ini siap mendedikasikan harta, waktu dan jiwa mereka untuk Al-Banna.
Mendengar itu Al-Banna terenyuh, lalu mengajak keenamnya untuk berbaiat kepada agama Allah, siap untuk memperjuangkan Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kemudian mereka berdiskusi tentang nama organisasi, menurut Al-Banna organisasi yang akan didirikan mestiberbeda dari organisasi dakwah kebanyakan yang membatasi diri dalam ranah aliran fikih, tasawuf atau akidah. Nama organisasi mesti mencakup semua golongan, akhirnya dipilihlah nama Jami’iyat Ikhwanul Muslimin atau Muslimin Brotherhood sebagai nama resmi organisasi.
Kondisi Politik Mesir dan Timur Tengah
Renaisans Eropa di abad 16 menjadi titik awal dominasi bangsa kulit putih atas ras lain. Hal ini terjadi bersamaan dengan kemunduran kolektif entitas muslim di berbagai tempat, termasuk Mesir. Pasca resmi menjadi salah satu wilayah Ottoman di tahun 1517 praktis Mesir tidak lagi mempunyai supremasi politik apapun sampai masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya di awal abad 19. Di masa ini, keadaan geopolitik dunia sudah jauh berubah. Dominasi Eropa mencengkeram hampir semua wilayah yang dihuni umat manusia.
Di abad 19, mayoritas wilayah Timur Tengah sudah berada di bawah dominasi Barat. Tunisia, Aljazair, Libya, Mesir, Sudan dan Syam masing-masing dikuasai kekuatan imperialisme Inggris, Perancis dan Italia. Mesir dalam banyak kesempatan menjadi rebutan negara superpower Eropa seperti Inggris dan Perancis. Napoleon berhasil menduduki Mesir di tahun 1798, meski hanya berlangsung tiga tahun, namun pengaruh pendudukan ini sangat besar dalam merubah struktur sosial, politik dan ekonomi Mesir. Setelah itu, giliran Inggris yang mendominasi politik dalam dan luar negeri monarki Mesir yang betapapun sebenarnya masih mengakui kedaulatan imperium Ottoman.
Dalam masa-masa dominasi asing ini, gerakan perlawanan Arab terus berkobar, utamanya di wilayah Afrika Utara. Revolusi Kairo I dan II, perlawanan Abdul Qadir al-Jazairi di Aljazair, Revolusi Al Mahdiah di Sudan dan Revolusi Sanusiah di Libya. Semua gerakan perlawanan menjadikan jihad dan Islam sebagai corak utamanya. Sampai setelah Perang Dunia I dan runtuhnya institusi khilafah, perlahan gerakan revolusioner di negara-negara Arab menjadikan semangat nasionalisme sebagai penggerak utama dan tujuan paling mulia dari gerakan mengusir penjajah. Di titik ini Islam hanya menjadi faktor pelengkap, bukan lagi variabel utama dalam nafas organisasi perjuangan rakyat.
Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, utamanya disebabkan politik devide et impera yang diterapkan Eropa serta gelombang besar kedatangan kaum terpelajar Arab ke Barat untuk belajar. Di sana mereka menemukan fakta bahwa setiap suku dan bangsa di Eropa juga berupaya menjadi negara berdaulat. Ditambah lagi meningkatnya ketidakpercayaan kaum terpelajar terhadap institusi khilafah yang waktu itu dinilai gagal dalam menjaga keutuhan wilayahnya sendiri pasca kekalahan terus menerus yang dialami Ottoman.
Lima puluh tahun pertama abad 20 panggung politik Mesir dipenuhi gerakan revolusioner anti imperialisme. Terutama saat Kerajaan Britania mengumumkan secara resmi masuknya Mesir ke dalam wilayah persemakmuran Inggris di tahun 1914. Pihak imperialis segera menghapus jabatan Khedive (pemimpin pemerintah Mesir yang dibuat Ottoman) dan menggantikannya dengan jabatan sultan (yang bisa menjamin semua kepentingan Inggris di Mesir).
Mengelola Terusan Suez adalah kepentingan kapital utama yang menjadi fokus Inggris. Sejak mayoritas sahamnya dijual oleh Khedive Ismail Pasha ke Kerajaan Inggris tahun 1875, Terusan Suez adalah jalur terpenting lalu lintas ekonomi negara persemakmuran Inggris yang tersebar di banyak benua, jalur kapal yang paling dekat dari dan ke Inggris adalah lewat rute Terusan Suez. Maka Mesir harus ‘diamankan’–bagaimanapun caranya.
Pengaruh Kolonialisme
Keberadaan Inggris dengan instrumen kolonialnya di Mesir saat itu semakin membuat jengah penduduk lokal. Perusahaan asing dinilai telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari sumber daya Mesir, sementara rakyat proletariat hanya bisa menyaksikan praktek kapitalisme terjadi di depan mata mereka sendiri. Keberlangsungan aktivitas perusahaan asing ini mendapat perlindungan dari kekuatan militer Inggris langsung. Sementara itu pemangku jabatan lokal hanya membebek pada kepentingan-kepentingan asing bahkan turut serta menikmati hasil eksploitasi tenaga rakyat dan sumber daya negara itu.
Dari fenomena kemerosotan moral yang diakibatkan entitas asing –yang ditopang oleh unsur kolonialisme ini kemudian muncul kesadaran kolektif dalam benak setiap orang bahwa kondisi yang menyedihkan tersebut disebabkan oleh jauhnya masyarakat dari nilai-nilai keislaman yang murni. Adapun para ulama kebanyakan hanya bisa meratapi kondisi yang menyedihkan itu dengan mengalihkan perhatian pada nilai-nilai sufistik yang dipenuhi semangat berdamai dengan keadaan dan menepi dari kenyataan yang sebenarnya.
Pada momen seperti inilah Hasan Al-Banna hadir. Ia muncul ke permukaan dengan ide menyeru kembali kepada ‘Islam’; kembali ke puncak dominasi peradaban yang pernah dicapai oleh para pendahulu. Meski dalam sepuluh tahun pertamanya gerakan Ikhwanul Muslimin terbatas pada ruang dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, masuknya prinsip hakimiyah yang dipopulerkan Sayyid Qutb menjadi turning point yang memperjelas tujuan utama Ikhwanul Muslimin; menjadikan hukum Allah sebagai sumber primer setiap tindak tunduk umat muslim. Negara Islam adalah keniscayaan yang mesti diperjuangkan –bagaimanapun caranya.
Kolonialisme turut berperan menyebarkan paham-paham baru di tengah masyarakat. Kebanyakan akademisi lokal yang bersentuhan dengan pikiran dan gaya hidup Eropa akan merasakan disparitas kebudayaan yang lebar antara masyarakatnya dengan dunia Barat. Pada akhirnya, mereka yang mengidolakan Eropa dengan segala aspeknya mempopulerkan varian ide baru dalam gelanggang pemikiran masyarakat Mesir. Sementara itu kelompok islamis terus dengan perjuangannya mendepak kekuatan imperialis sebagai langkah pertama mendirikan negara agama.
Ide kemerdekaan dan kebebasan menentukan nasib sendiri ini lah yang lebih cepat jadi konsumsi masyarakat banyak. Perbedaan kelas sosial yang dihasilkan kapitalisme, kondisi ekonomi yang buruk hasil eksploitasi kekuatan kolonial dan kesadaran beragama yang kuat merupakan kombinasi yang sangat pas untuk menjadi bahan bakar penggerak kegiatan Ikhwanul Muslimin. Al Banna dan kawan-kawan tau benar soal ini, sebab itulah di dekade kedua, haluan organisasi kemudian berfokus pada urusan politik negara.
Kesimpulan
Kolonialisme yang berarti penaklukkan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain sejatinya bukan peristiwa baru yang dihadapi rakyat Mesir. Pendudukan Hexos atas wilayah utara delta era Dinasti-15, Ekspansi Alexander Agung yang dilanjutkan wangsa Ptolemaik, Bizantium, Arab, serbuan Mongol dan gelombang Pasukan Salib adalah di antara episode pendudukan bangsa asing yang dialami Mesir. Namun pendudukan Eropa atas Mesir di era modern mengambil bentuk dan metode yang berbeda.
Pemikiran Marxis tentang masalah ini mengemukakan sebuah perbedaan penting antara keduanya: sementara kolonialisme lama adalah prakapitalis, kolonialisme modern ditegakkan bersama dengan kapitalisme Eropa Barat. Kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda dan kekayaan dari negara taklukkannya, tetapi juga mengubah struktur perekonomian mereka, menarik mereka ke dalam hubungan kompleks dengan negara induk. Ke arah mana pun manusia dan material negeri taklukkan itu mengalir, keuntungan-keuntungannya selalu kembali ke negara induk.
Dalam situasi seperti ini semua ide yang menawarkan kebebasan akan dikunyah dengan lahap oleh tiap lapisan masyarakat. Memang pada gilirannya kelak variabel kolonialisme bukan menjadi faktor paling penting dalam gerak dan jalannya organisasi IM, namun dalam masa-masa awal pra berdirinya, dapat diakui bahwa kolonialisme memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung dalam lahirnya organisasi islamis seperti Ikhwanul Muslimin ini.
Penulis: Rifaldhoh
Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Al-Azhar
#DwaraAksara