Mesir as a political terminology merupakan terminologi sosial-politik paling konsisten dalam sejarah. Sejak masa prehistory hingga hari ini kata “Mesir” masih eksis digunakan bahkan hampir tidak mengalami reduction of meaning yang berarti. Ia masih bermakna nama negara yang terletak di lembah sungai Nil sekaligus nama untuk sebuah nasion yang meninggali lembah tersebut.
Secara definitif, negara modern adalah entitas politik yang pembentukannya didasarkan asas kebangsaan, diatur oleh otoritas terpusat serta memiliki batas wilayah yang jelas. Negara modern setidaknya memiliki lima karakteristik negara modern: teritori, monopoli, kedaulatan, legitimasi dan birokrasi.
Hari ini, dari total 22 negara yang diklasifikasikan ke dalam Arab World, secara meyakinkan Mesir menempati urutan paling awal yang mempunyai karakteristik negara modern. Agresi militer Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte (1798-1801) menjadi peristiwa historis penting untuk melacak permulaan trasnformasi evolusioner wilayah Delta Nil ‒yang sebelumnya berada di bawah dominasi politik Ottoman‒ menjadi negara semi berdaulat yang mempunyai teritori, kedaulatan, legitimasi, monopoli kekuasaan dan birokrasi modern.
Kenapa Agresi Prancis Menjadi Titik Awal Era Mesir Modern?
Betapapun sukar ‒untuk tidak menyebut mustahil‒ menentukan secara persis awal dan akhir dari sebuah era atau zaman, namun ciri khas satu periode tertentu dapat berubah, hilang atau berkurang pada periode-periode selanjutnya‒inilah yang menjadi panduan metodologis para ahli dalam usaha ‘mencacah’ zaman; mengklasifikasi periode sejarah ke dalam beberapa bagian seperti: Kuno, Pertengahan, Modern dan Kontemporer.
Dalam konteks Mesir, perubahan ide kebangsaan, legitimasi kekuasaan dan birokrasi pemerintahan serta banyak perubahan sosial lainnya berpusar makin kuat dan menemukan momentumnya persis setelah pendudukan Prancis. Meski pendudukan Prancis tergolong singkat, namun nyatanya telah meninggalkan efek yang lebih dominan dibanding rentang waktu 40 tahun kolonialisme Inggris atas Mesir (1882-1922).
Kondisi Politik Mesir
Untuk mengetahui apa saja yang berubah atau lahir saat fajar era modern baru saja menyingsing di lembah Nil, maka mengetahui situasi sosial, politik dan kebudayaan menjadi hal pokok dalam kajian kita kali ini.
Jauh sebelum kedatangan Napoleon, bangsa Mesir an sich sudah lama kehilangan kedaulatan politis. Kampanye militer Alexander The Great memulai era pendudukan permanen bangsa asing. Meskipun pertikaian politik dengan bangsa asing sudah ada sejak era Hyksos, namun tak pernah berlangsung lama bahkan tidak mampu menguasai wilayah Upper Egypt.
Ratusan tahun dikuasai pendatang dari Eropa, tahun 639 giliran bangsa Arab datang. Mengusir Bizantium dan memulai era pendudukan Arab‒yang membawa serta agama Islam untuk diajarkan pada rakyat pribumi. Lalu naiknya orang-orang Turki ke tampuk kekuasaan negara (1250) menjadi awal episode baru pendudukan bangsa Turki atas Mesir. Mereka mendirikan dinasti politik bernama Mamalik/Mamluk. Dominasi Turki kemudian makin kokoh saat penguasa Ottoman Selim I membawa pasukan memasuki kota Kairo dan berhasil menggantung leher penguasa Mamalik terakhir Tuman Bay di Bab Zuwailah pada April 1517.
Masa-masa dominasi asing yang amat panjang ini sedikit banyak memengaruhi kondisi psikologis pribumi yang akhirnya ‒secara pasti‒ mengikis habis kepercayaan diri sekaligus rasa nasionalisme mereka. Sepanjang masa pendudukan, secara sistematis rakyat pribumi dibuat lupa dengan kebesaran bangsanya sendiri. Artefak dan peninggalan sejarah era Firaun yang hebat-hebat itu terkubur begitu saja tak pernah ‒dan tak boleh‒ mendapat perhatian. Narasi syirik dan kafir selalu ditujukan kepada benda-benda peninggalan, utamanya sepanjang era pendudukan Arab.
Kondisi Sosial dan Ekonomi Pra Agresi
Saat Napoleon datang, penduduk Mesir ‒setidaknya‒ terbagi menjadi tiga kelompok sosial: Masyarakat Turki dan Mamalik membentuk entitas sosial paling tinggi. Pejabat publik dan administratur daerah didominasi kelompok ini. Tokoh agama dan kalangan saudagar membentuk kelas menengah. Di kelas menengah terjadi pergeseran sosial; akibat dari minimnya kepedulian pemangku jabatan, para ulama didapuk masyarakat menjadi ‘tempat bergantung’ dan menitipkan aspirasi. Sehingga menjelang kedatangan Napoleon, posisi sosial tokoh agama sangat signifikan.
Berbeda dengan kalangan pedagang, menjelang kedatangan Perancis, strata sosial mereka menurun drastis bahkan hampir tidak ada bedanya dengan kelompok pribumi petani yang menempati kelas sosial paling bawah. Merosotnya geliat perdagangan via Laut Merah-Mediterania pasca kesuksesan saudagar Eropa menemukan jalur baru memutari benua Afrika telah berperan besar menghancurkan perekonomian Mesir.
Ketidakmampuan Gubernur Ottoman menanganani persoalan ekonomi yang makin buruk ditambah perilaku koruptif yang merajalela semakin memperparah keadaan. Jurang kesenjangan ekonomi dan sosial makin menganga. Sementara petani dan kalangan masyarakat bawah dalam situasi yang pelik, pejabatan pemerintah semakin gemar menaikkan pajak hanya untuk membiayai gaya hidup mewah mereka.
Jalannya Agresi
Dalam situasi negara yang makin terpuruk inilah, tiba-tiba pada juli 1798, tiga puluh ribu pasukan Perancis datang menyerbu. Kota Alexandria menjadi battle ground pertama Perancis melawan garnisun Turki yang ditugaskan di kota tersebut. Pemimpin kota Muhammad Karim menyerah, Napoleon bergegas menuju kota utama Mesir di Kairo.
Jenderal militer Murad Bek menyambut Napoleon dengan pekikan takbir, pertempuran hebat tak terelakkan. Kalah di segala bidang, Murad Bek membawa sisa-sisa pasukannya mundur ke wilayah hulu sungai Nil. Hanya butuh waktu 22 hari, Napoleon sukses memimpin salah satu ekspansi militer legendaris yang akan melambungkan namanya sepanjang zaman.
Akibat Agresi bagi Mesir
Hal yang paling kentara selama dan pasca kedatangan Napoleon adalah rasa nasionalisme yang mulai bergelora di tengah-tengah rakyat pribumi. Kesadaran kebangsaan dan kepercayaan diri mereka tumbuh pesat saat konsolidasi kekuatan ‒pasca kekalahan militer Ottoman‒ datang dari masyarakat sipil kelas bawah yang menjadikan masjid Al-Azhar sebagai markas pejuangan melawan penjajah.
Revolusi Kairo I (1798) dan II (1800) menjadi preseden penting bagi rakyat pribumi bahwa otoritas Mamalik dan Ottoman ‒yang selama ini dianggap mampu melindungi mereka dari kekuatan asing‒ nyatanya gagal menegakkan kedaulatan negara. Saat itulah, mulai muncul perasaan ‘percaya pada kekuatan sendiri’. Kesadaran kebangsaan ini menguat dan makin kuat saat muncul tokoh-tokoh ‒yang dianggap‒ mewakili ruh masyarakat luas seperti Sayyid Omar Makram.
Lalu Al-Azhar muncul sebagai institusi nonpemerintah paling berpengaruh selama masa pendudukan. Napoleon sendiri pada 25 Juli 1798 memerlukan hadir langsung menemui Grand Syekh Al-Azhar Abdullah Syarqawi untuk berbicara soal administrasi negara. Pertemuan itu menghasilkan lembaga yang disebut “Dewan”. Beranggotakan sembilan orang tokoh nasional Mesir yang akan melakukan pengawasan atas jalannya roda pemerintahan di ibukota. Peran “Dewan” dan Grand Syekh Al-Azhar sangat besar dalam penentuan kebijakan strategis bagi pemerintahan baru.
Dalam praktiknya, pemerintahan baru yang disusun tak pernah berhasil menjalankan administrasi negara dengan baik. Selama tiga tahun pendudukan, kondisi politik tak kunjung stabil. Bahkan baru beberapa bulan ditinggalkan Napoleon, Jenderal penggantinya Jean-Baptiste Kleber tewas dibunuh pejuang dari kalangan santri Al-Azhar.
Ekspedisi militer Perancis ke Mesir ini juga menimbulkan efek yang masif dalam bidang ekonomi internasional. Perancis seolah mengembalikan battle ground kepentingan global ke Laut Mediterania. Betapa pun Portugis dan Spanyol telah memperoleh keuntungan luar biasa dari jalur baru mengelilingi Afrika, namun faktor jarak tempuh yang lebih jauh dan fasilitas pelabuhan yang tak cukup memadai membuat negara superpower seperti Inggris dan Perancis lebih memilih mempertahankan jalur lama via Mediterania. Dan Mesir adalah wilayah paling penting penghubung antara Laut Merah dan Mediterania.
Selanjutnya, efek tidak langsung yang ditimbulkan Agresi Perancis ini adalah kedatangan Muhammad Ali Pasha beserta militer Ottoman dari Albania. Ahli sejarah sepakat menyematkan julukan Bapak Mesir Modern pada Ali Pasha. Tak berlebihan, Jasanya dalam pelbagai bidang selama menjabat telah merombak sistem sosial, ekonomi, pendidikan dan militer Mesir. Muhammad Ali Pasha memimpin rakyat pribumi melompat ke zaman baru, era yang dipenuhi dengan semangat kemandirian bangsa. Di tangannya, Mesir berubah dari salah satu protektorat Ottoman menjelma menjadi entitas politik baru yang menghagemoni dalam kancah perpolitikan kawasan maupun global.
Dalam bidang pendidikan, Ali Pasha membuat kebjiakan mengirim delegasi pelajar untuk menimba ilmu ke Eropa. Tahun 1819 rombongan pertama tiba di Italia, rombongan kedua dikirim ke Perancis lalu disusul rombongan ketiga diutus ke Inggris. Di dalam negeri, sekolah-sekolah yang mengajarkan kejuruan didirikan seantero negeri. Tak hanya itu, penerjemahan buku-buku teknik dan sejarah dalam bahasa Eropa digalakkan. Sembari menunggu kepulangan rombongan pelajar yang masih studi di Eropa, Tenaga ahli dari Perancis, Jerman dan Inggris didatangkan langsung untuk mengerjakan proyek ini.
Dalam bidang ekonomi, pajak lahan dan pertanian direvisi dan dirasionalisasi. Peran pemerintah dalam bidang pertanian diperkuat, kesejahteraan petani diusahakan lewat kebijakan monopoli produksi pertanian oleh lembaga pemerintah. Tahun 1816 pabrik tekstil pertama didirikan. Menyusul tahun 1826 Mesir berhasil mengekspor kapas. Ekonomi tumbuh secara menjanjikan, pelan namun pasti Mesir bertransformasi menjadi negara yang stabil dan mandiri.
Bermodalkan kekuatan ekonomi, stabilitas politik dan ketersedian sumber daya, Ali Pasha muncul ke permukaan, terlibat aktif dalam banyak peristiwa politik penting di kawasan, kekuatan militer yang dibangun bahkan dalam banyak aspek telah mengungguli militer Ottoman.
Secara khusus Sultan Mahmud II memberi kewenangan pada Ali Pasha untuk memadamkan pemberontakan wangsa Saud di Hijaz (1811-1818). Kampanye militer Ali Pasha masuk ke Sudan, kota Khartoum dibangun sebagai pusat pemerintahan. Tahun 1825 Ibrahim Pasha (putra Muhammad Ali Pasha) dikirim ke kepulauan Morea untuk memadamkan pemberontakan rakyat Yunani yang hendak memisahkan diri, setahun selanjutnya bahkan kota Athena berhasil diduduki pasukan Mesir.
Tak sampai di sana, kehebatan militer Mesir yang dikomandoi putranya sendiri membuat Muhammad Ali Pasha ‘berfikir jauh’, barangkali mendirikan imperium yang lepas dari bayang-bayang Ottoman bukan hal yang tidak mungkin. Sepanjang 1831-1839 konfrontasi terbuka dengan Ottoman sudah tak terhindarkan. Ibrahim Pasha berkali-kali berhasil memukul mundur pasukan kesultanan. Syam berhasil dikuasai.
Andai bukan karena campur tangan negara-negara Eropa yang makin kepanasan melihat perkembangan kekuatan Mesir yang sangat pesat, maka hampir bisa dipastikan Mesir di bawah Muhammad Ali Pasha bisa menjadi kekuatan politik global yang bisa menggantikan posisi Ottoman sebagai representasi entitas politik dunia Islam.
Kesimpulan
Pondasi Mesir yang kita lihat hari ini telah dibangun Muhammad Ali Pasha di awal abad 19. Namun bila ditelisik lebih dalam, Agresi Perancis tahun 1798-lah yang menjadi garis pemisah yang menandai lahirnya semangat baru di era baru. Lebih jauh lagi, Pendudukan Perancis telah meruntuhkan legitimasi dan kepercayaan rakyat pribumi terhadap bangsa asing yang telah mendominasi mereka secara politik selama ratusan tahun.
Karena kedatangan Ottoman di tahun 1517 nyatanya tidak membawa reformasi yang berarti dalam aspek politik, sosial dan ekonomi. Di semua bidang, kelompok Mamalik tetap menduduki jabatan pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah. Agresi Perancis lah yang menghapus dominasi Mamalik sampai ke akar-akarnya. Secara tidak langsung, kondisi yang demikian telah membuka jalan bagi Muhammad Ali untuk leluasa melakukan reformasi bagi negara yang baru saja dipimpinnya itu.
Penulis: Rifaldhoh Albahri
Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Al-Azhar
#DwaraAksara