Hari ini masyarakat internasional—khususnya dunia Islam—melihat konflik Israel dan Palestina semata soal pertumbukan dua agama samawi. Mulai dari ilmuan, guru, tukang semir sepatu sampai anak kecil pun—taunya apa yang terjadi di Palestina adalah perang mulia antara Taurat dan Al-Quran, betapapun keduanya berasal dari Tuhan yang sama. Islam dan Yahudi dihadap-hadapkan untuk saling mengalahkan dan membinasakan. Bila anda sadari, wacana seperti ini adalah puncak dari kesuksesan founding fathers Israel.
Mengapa demikian? Karena pada akhirnya citra historis Israel sebagai sebuah nation state berhasil dilepaskan (disucikan) dari konteks kesejarahan, geopolitik dan kepentingan ekonomi imperialisme yang melingkupinya. Ide mengekspor pengangguran Yahudi dari Eropa ke tempat baru sudah bertransformasi menjadi lebih mewah dan gagah; mengembalikan umat Musa yang terzalimi balik ke tanah asal mereka.
Inilah yang saya namakan dengan “keberhasilan”. Pencapaian fenomenal ideolog Yahudi mendoktrin dunia untuk menempatkan kepentingan pribadi mereka ke tempat yang lebih tinggi nan sakral. Karena ini adalah soal menjalankan aturan agama, maka sekian macam kebiadaban pun bisa ditolerir dan dibenarkan—dengan alasan memperjuangkan keyakinan.
Untuk itu, maka diperlukan upaya konsisten dari sejarawan akademik muslim untuk menguak fakta historis yang melatarbelakangi pendirian negara Yahudi ini; guna menebalkan catatan sejarah berdirinya Israel sebagai kenyataan historis yang tak lepas dari konteks waktu dan tempat “dimana”, “ kapan” dan “mengapa”. Desakralisasi sejarah saya menyebutnya.
Dari upaya melihat kembali sejarah panjang Israel, tak ada yang lebih patut jadi perhatian melainkan gerak laju zionisme sebagai gerakan multidimensi yang fenomenal. Keberhasilan zionisme menukangi negara berdaulat Israel pun tidak ujug-ujug jadi begitu saja. Jasa negara pemenang Perang Dunia I ‒khususnya Inggris‒ sangat signifikan. Sampai boleh dikatakan “Andai bukan karena kepentingan imperialis, hampir mustahil Israel bisa berdiri apalagi eksis sampai hari ini”.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan dua titik temu imperialisme dengan zionisme hingga menjadi kekuatan tiada banding yang mampu memaksa siapapun untuk berbuat apapun; mendirikan negara di dalam negara lain, bahkan berhasil menjajah, mengeksploitasi dan menghapus “negara pendahulu”. Dua titik temu imperialis-zionis itu adalah kepentingan kapital imperial dan solusi paling mutakhir permasalahan Eropa.
Kepentingan Kapital Imperial
Eropa pasca renaisans adalah entitas masyarakat paling maju di dunia abad 18 dan 19. Revolusi Industri ‒yang bermula di Inggris‒ adalah gerbang awal ras kulit putih menapaki dunia modern. Dalam dunia modern, dominasi manusia atas alam sampai di titik yang tak terbayangkan. Pindah dari satu benua ke benua lain hanya butuh sekian jam saja. Kegiatan ekonomi yang awalnya dilakukan semata untuk mencukupi kebutuhan menjelma menjadi kegiatan produksi massal untuk konsumsi orang banyak—di luar wilayah produksinya.
Inggris, Perancis, Jerman dan Kekaisaran Rusia memimpin paling depan, mengomandoi dunia yang sedang bertransformasi. Awal abad dua puluh tarik menarik kepentingan negara-negara
kolonial ini makin hebat. Upaya rebutan pengaruh ekonomi‒yang didoktrin ide kapitalisme‒jadi motor penggerak konflik dahsyat yang terjadi setelahnya. Perang Dunia I meletus dan setiap kekuatan saling berhitung. Positioning yang tepat dalam memihak di antara dua kubu: Sekutu dan Poros adalah kunci keselamatan kepentingan nasional. Imperium Ottoman yang baru saja kehilangan sosok negarawan kuat terakhir (Abdul Hamid II) salah dalam memilih kubu dan berakhir menjadi bulan-bulanan negara pemenang perang.
Negeri-negeri koloni Eropa mayoritas berada di benua Asia. Kegiatan ekonomi kolonial bergantung betul pada kelancaran lalu lintas dari dan menuju wilayah koloni-koloni ini. Secara geografis, Timur Tengah persis berada di tengah-tengah, antara Eropa dan wilayah koloninya. Maka memastikan dominasi di Timur Tengah adalah keharusan yang ‒mau tidak mau‒ mesti ditancapkan sedalam mungkin demi melanggengkan kemakmuran imperialis.
Tahun 1869 mega proyek pembangunan Terusan Suez rampung dibuat. sepuluh tahun waktu dibutuhkan untuk membangun jalan pintas lalu lintas internasional ini. Biaya proyek yang menguras habis perbendaharaan negeri memaksa Mesir menjual mayoritas saham Suez ke pihak Inggris. Kendati Mesir sudah “diamankan”, Inggris sadar benar, setiap waktu kaki mereka bisa didepak‒baik oleh perlawanan pribumi atau kekuatan imperialis Eropa lain. Maka mempunyai entitas politik yang sepenuhnya tunduk pada kepentingan Inggris di wilayah Timur Tengah adalah jaminan yang tak bisa ditunda lagi.
Namun, masalah muncul saat pemilihan entitas politik ‒yang sepenuhnya akan tunduk pada Inggris‒ di wilayah mayoritas Arab ini. Sentimen perbedaan ras dan agama adalah penghalang Inggris memperoleh kesetiaan mutlak dari penguasa Arab manapun. Bisa saja hari ini dinaikkan raja baru, namun anak keturunannya kelak berkemungkinan memberontak melawan kepentingan Inggris di tanah air mereka. Di masa-masa kebingungan ini zionisme hadir menjawab kegelisahan Inggris. Bagi Inggris keselamatan kepentingan kapital mereka adalah satu-satunya kebutuhan super prioritas. Maka saat tokoh zionis menawarkan ide pembentukan negara Yahudi di jantung wilayah Timur Tengah, Inggris berdiri paling depan. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Solusi Masalah Eropa
Pasca kejatuhan Imperium Romawi Barat, tiap wilayah di Eropa mengisolasi diri. Kaum kesatria yang selama ini mendapat wewenang menjalankan pemerintahan di daerah kemudian menutup diri dari interaksi dengan daerah lain; langkah preventif menghindari invasi kaum barbar yang ganas. Kegiatan ekonomi internasional lumpuh. Pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan sedapat mungkin dihasilkan dari alat produksi masing-masing. Kaum petani yang papa mau tidak mau harus tunduk pada kesatria yang mengontrol pemerintahan dan semua alat produksi. Sebagai gantinya para petani mendapatkan perlindungan.
Dalam situasi seperti ini ada satu golongan non pribumi bernama kaum Yahudi. Mereka ini adalah sisa-sisa Diaspora Yahudi yang diusir dari Palestina era Kaisar Hadrian. Di tengah-tengah Eropa yang Kristen pemeluk Yahudi menolak asimilasi dengan masyarakat setempat. Meski mayoritas Yahudi Eropa kala itu bukan lagi keturunan asli dari Yahudi Palestina namun mereka masih mempertahankan ritual, nama dan corak kebudayaan Yahudi.
Karena bukan dari golongan bangsawan Eropa dan tidak pula masuk dalam kaum tani, maka mayoritas Yahudi mengambil peran sebagai pedagang. Terutama saat Perang Salib berkecamuk di abad 11-12-13 M mereka bertindak sebagai mediator dagang antara Eropa Kristen dengan Arab Islam. Ditambah dengan jumlah kaumnya yang menyebar seantero Eropa, hal ini memudahkan Yahudi menjalankan perdagangan internasional di benua biru.
Kondisi stabil ini berlangsung cukup lama, sampai kemudian Eropa berkenalan dengan renaisans, batas-batas teritorial dihilangkan oleh universalitas ilmu pengetahuan. Sistem feodalistik yang menaungi Eropa dan Yahudi selama berabad-abad runtuh. Pedagang Eropa tak lagi membutuhkan Yahudi sebagai mediator dagang dengan Arab. Eropa berhasil sampai di Timur Jauh, mengadakan kontak langsung dengan penguasa lokal. Perjanjian dagang yang menguntungkan, tanpa harus melewati perantara saudagar Arab apalagi Yahudi.
Makin lama, Yahudi makin terpinggirkan. Keadaan tambah gawat saat gelombang Revolusi Perancis menyapu habis feodalisme hingga tak bersisa. Kaum rendahan yang selama ini tunduk pada sistem feodal mengamuk, menuntut supremasi dan kesetaraan. Pada titik ini kaum Yahudi ‒yang berada di kelas menengah dan akrab dengan kaum bangsawan‒ juga turut digilas amukan massa. Lebih jauh, mereka dianggap sebagai “sampah masyarakat”, kaum pendatang yang membebani sumber daya Eropa.
Ditambah dengan masyarakat yang makin makmur, disertai dengan angka kematian bayi yang merosot tajam berkat kemajuan sains, terjadi ledakan demografi di Eropa. Sepanjang abad 18 M saja terjadi kenaikan dua kali lipat dari 100 jadi 200 juta populasi. Abad selanjutnya makin besar, populasi Eropa tembus 400 juta orang. Bertambah orang maka bertambah juga masalah. Population problem ini menuntut Eropa mencari solusi segera untuk mengontrol populasi agar tetap sesuai dengan persediaan sumber daya yang ada. Solusi paling mudah adalah memindahkan sebagian penduduk ke wilayah lain di luar Eropa. Dan jelas, target pertama yang “diusir” dari Eropa adalah entitas Yahudi.
Saat tokoh zionis Chaim Weizmann berdiplomasi dengan petinggi imperium Britania di Inggris, wacana memindahkan Yahudi ke luar Eropa ini dianggap sebagai solusi paling mutakhir dari Jewish Problem yang telah menimbulkan pergolakan di masyarakat bawah. Inggris sejatinya tak ambil pusing soal destinasi ekspor Yahudi ini, bahkan Inggris pernah mengusulkan Uganda sebagai koloni baru Yahudi. Namun saat usulan Uganda ini dibawa Hertzl ke dalam Konferensi Zionis ke-6 tahun 1903, Chaim Weizmann memimpin kubu yang menolak mentah-mentah usulan tersebut.
Kesimpulan
Dari sini pembaca bisa menyadari, bahwa migrasi Yahudi ke tanah Palestina di abad yang lalu bukan semata soal pemenuhan janji Tuhan pada kaum terzalimi. Asumsi sarjana muslim yang repot-repot mencari keabsahan firman Tuhan di Taurat dan Talmud soal watak dan ciri khas Yahudi; guna mengetahui faktor pendirian Israel bukan saja pendekatan yang kurang tepat—lebih jauh lagi adalah usaha yang dikehendaki oleh bapak pendiri negara penjajah itu sendiri. Sebab dengan demikian, ide yang melandasi negara Israel terlihat mewah dan gagah. Diselimuti gagasan suci dari agama samawi yang juga ‒terlepas dari mengalami banyak perubahan‒ keberadaannya diimani oleh umat muslim.
Kolonialisme Eropa masih menjadi faktor kunci dari banyak bangunan sosial-politik yang kita saksikan hari-hari ini. Semua ittijah negara kolonial bermuara pada kepentingan nasional mereka sendiri. Zionisme yang bermimpi melahirkan negara bangsa khusus Yahudi itu tak akan pernah berhasil kalau bukan karena diasuh dan dibesarkan oleh kepentingan kapital Barat. Dewasa ini peran Inggris diambil alih Amerika Serikat, menjadi bapak asuh dari sekumpulan “bocah nakal” bernama negara Israel.
Penulis: Rifaldhoh
Mahasiswa Departemen Sejarah Universitas Al-Azhar
#DwaraAksara