Saya merasa stres karena merasa tidak produktif. Lalu saat saya mencoba menjadi lebih produktif, stres dan beban saya malah bertambah. Saya duduk di depan laptop, membuka word, menatap layar kosong selama beberapa menit, dan stres saya meningkat.
Saya pun mencoba mengganti suasana dengan melihat sekeliling meja. Apesnya di sana malah tertumpuk diktat kuliah yang belum saya preteli tetek-bengeknya. Stres saya naik level. Bahkan fakta bahwa saya stres karena hal-hal ini menambah kestresan saya. Kenapa saya harus merasa stres dan berlarut dalam kestresan hanya karena hal yang sebenarnya bukan perkara besar? Aduh, astaga, saya stres.
Contoh di atas adalah pengalaman pribadi saya sebelum mulai menulis tulisan ini. Menurut Mark Manson, saya terjebak dalam yang namanya “lingkaran setan”. Di mana menurutnya lagi, siklus ini akan bermuara pada rasa tertekan, benci dan tidak puas akan diri sendiri.
Manusia Butuh Stres
Hei, jangan buru-buru membenci rasa stres. Faktanya, manusia memiliki kebutuhan terhadap stres. Sayangnya, mungkin, tidak banyak orang yang tau bahwa stres juga memiliki sisi positif. Atau mungkin lebih tepatnya tidak sadar. Kok bisa?
Kurang lebih begini. Kita tentu setuju bahwa manusia pasti akan selalu menemui masalah dalam hidupnya. Masalah-masalah inilah yang kemudian membuat manusia mengalami yang namanya stres. Stres sendiri merupakan sinyal perasaan tidak nyaman di mana seseorang menjadi terdorong untuk menghindari si pemicu atau menghadapi dan melawan hal tersebut.
Jika dijelaskan secara sederhana, stres itu ada dua macam: yang pertama eustress adalah stres baik, sementara yang kedua distress adalah stres yang buruk. Eustress akan muncul apabila kita mampu memandang suatu masalah sebagai tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Eustress juga membantu manusia untuk tumbuh dan berkembang, serta membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Inilah yang saya sebut dengan kebutuhan manusia terhadap stres.
Kemudian jenis stres yang kedua adalah distress. Ia muncul ketika kita menginterpretasikan suatu masalah secara negatif dan buruk. Respon yang dihasilkan tentu juga tidak akan baik. Distress yang berkepanjangan akan memberikan efek buruk baik untuk kesehatan fisik maupun mental. Dari penyakit fisik, darah tinggi, diabetes, bahkan sistem imun menurun misalnya. Pun gangguan mental, seperti frustasi berat, cemas berlebih, atau bahkan depresi berjangka panjang.
Ini menarik sekali. Orang yang memiliki masalah yang sama bisa jadi memiliki bentuk stres yang berbeda, apakah itu eustress atau distress, tergantung dari persepsi dan respon masing-masing.
Seperti saya misalnya, yang merasa stres karena merasa tidak produktif. Jika dilihat dari kacamata positif, tentu saja ini menjadi motivasi untuk saya segera melakukan hal-hal produktif. Selain membantu saya berusaha lebih keras, eustress juga membuat saya ingin segera menghilangkan rasa stres yang mampir sesuka hatinya ini. Tapi bisa gawat jika saya memandang stres ini dalam konteks negatif dan malah berakhir melarikan diri. Fight or flight. Nah, dari sini muncullah pertanyaan, bagaimana cara agar kita bisa menginterpretasikan stres dengan positif?
Baca Juga Artikel Lainnya: “Kecanduan Medsos?Dopamin Detox Aja”
Manajemen Stres sebagai Solusi
Ingat saat saya bilang bahwa menurut Mark Manson, saya terjebak dalam yang namanya lingkaran setan? Menurut Manson, cara untuk keluar dari lingakran setan itu adalah dengan bersikap bodo amat. Penulis best seller ini kemudian menjadikan solusi jitu ini sebagai judul untuk bukunya, yaitu: “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”.
Iya, bodo amat adalah cara ampuh yang diajarkan oleh Mark Manson untuk kita-kita yang mengalami overthinking, yang kemudian dapat menyebabkan stres. Kata bodo amat di sini bukan bermaksud untuk bersikap apatis dan abai terhadap semua pikiran kita, akan tetapi agar kita hanya memikirkan hal-hal yang memang penting dan harus dipikirkan saja, disaring dan difilter.
Misalkan kasus saya tadi. Saya stres karena merasa tidak produktif, ini adalah contoh pikiran yang tidak boleh diabaikan. Tapi kasus di mana saya merasa stres karena fakta bahwa saya stres; adalah hal yang tidak perlu dipikirkan. Menurut Manson, saya harusnya bodo amat terhadap fakta bahwa saya stres. Tidak perlu merasa bodoh dan kecil hanya karena saya stres terhadap hal-hal sepele.
Nah, inilah manajemen pertama untuk stres yang harus kita lakukan. Pahami bahwa kita sedang stres. Lalu terima hal itu. Kemudian barulah mencari tahu apa akar masalah yang menyebabkan stress ini muncul.
Hal kedua yang harus kita lakukan saat merasa stres adalah mengubah cara pandang. Simpelnya, ubah mindset kita dari hal-hal negatif ke hal-hal yang positif. Ketika kita memandang sebuah masalah sebagai tantangan untuk kita berkembang, secara otomatis kita akan merasa lebih tahan banting dan kuat. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan pendorong untuk mengahadapi setiap problem yang muncul di kehidupan kita.
Hal ketiga dalam manajemen stres adalah melakukan coping stress atau mengelola stres tersebut. Coping stress ini memiliki 2 jenis: emotional-focused coping dan problem-focused coping. Emotional-focused coping adalah mengelola emosi yang timbul dikarenakan stres. Hal yang harus kita lakukan adalah melakukan hal-hal yang kita sukai seperti berolahraga, atau memakan makanan enak. Adapun problem-focused coping adalah dengan mengurangi atau menghilangkan si akar masalah tadi. Jika dalam kasus saya, maka saya harus mulai menulis, setidaknya sedikit demi sedikit agar stres yang saya rasakan berkurang.
Hal terakhir yang harus kita lakukan dalam memanajemen stres adalah dengan memisahkan hal-hal yang bisa kita kontrol atau tidak. Misalkan saya stres karena produktivitas tadi. Ini adalah hal yang berada dalam kontrol saya. Maka saya bisa menyiapkan strategi dan langkah-langkah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Beda halnya jika kita menemukan masalah yang tidak bisa kita kontrol, kecelakaan misalnya. Maka di sini yang harus kita lakukan adalah belajar ikhlas dan percaya bahwa ini adalah takdir dari Tuhan yang harus kita terima. Karena percaya atau tidak, saat mendapati masalah yang tidak bisa kita kendalikan, bergantung pada aspek spiritualitas adalah solusi.
Nah, itulah manajemen stres yang bisa kita lakukan agar mendapat manfaat dari eustress yang juga membantu kita untuk berkembang. Ngomong-ngomong, sebenarnya tulisan ini sudah saya rencanakan dan diberi deadline sejak hampir dua bulan silam. Bayangkan bagaimana stresnya saya karena tulisan ini ditagih bahkan dengan lebih intens sejak beberapa hari terakhir. Untung, stres selama dua bulan ini akhirnya memberikan hasil. Terima kasih eustress dan semua pikiran positif. Saya saja bisa, kenapa anda tidak?
Baca Juga Artikel Lainnya: “Filosofi Adiksi, Hadapi Kecanduan Seperti Tikus-tikus Ini”
Oleh: Ayu Husni