Filosofi Adiksi, Hadapi Kecanduan seperti Tikus-tikus Ini

filosofi adiksi

Kurang dari separuh purnama, kalender 2020 akan berakhir. Sedang, dari sekian resolusi yang di muka tahun 2020 terukir, tidak sedikit di antaranya yang menuai cibir. Tidak memenuhi target, tidak sesuai ekspetasi, tidak melakukan perubahan yang berarti, dan masih banyak lagi. Menariknya, semua hal ini boleh jadi begitu erat kaitannya dengan “filosofi adiksi”—yang sadar maupun tidak—menggerogoti diri. Penasaran?

Adiksi sendiri bermakna kecanduan, ketergantungan, atau ketagihan, baik secara psikologis ataupun fisik. Meskipun adiksi seringkali diidentikkan dengan ketergantungan terhadap suatu zat, obat-obatan dan narkoba, atau malah rokok dan pornografi, tapi makna adiksi yang akan kita bahas di tulisan ini tidak sesempit itu. Boleh jadi adiksi ini terjadi pada hal yang terlihat tidak berbahaya, tapi efeknya sama. Seperti tidak bisa berhenti main game, baca komik, novel, makan camilan, nonton YouTube, film, drama, anime, dan masih banyak lagi. Kok bisa?

Kita ambil contoh, sebut saja dia Fulan. Ketika ia mendapat deadline tugas, ia merasa sulit sekali berhenti memirsa YouTube. Pagi mau produktif menyelesaikan tugas, malah buka Youtube sampai bablas. Siang berhasil menyicil tugas, baru sebentar sudah terdistraksi sama Yotubenya. Hingga malam tiba, muka Youtube masih setia menempel di layar gawainya, bahkan berganti peran menonton si Fulan yang ketiduran. Begitu terus sampai Fulan masuk mode panik dikejar deadline. Pun, begitu lagi saat dia mendapat deadline baru. Demikianlah potret hal yang terlihat tidak berbahaya, tapi efeknya sama, yaitu adiksi alias “nagih“.

Masih soal Fulan, bukan berarti dia cacat mental sehingga mengulang dan tidak berhenti dari kesalahan yang sama; adiksi. Barangkali dia sering berpikir demikian, bahkan menuliskannya di resolusi tahun 2020. Namun seperti yang kita tahu, 2020 tinggal menghitung jari, dan kebiasaan adiksi ini masih setia berada dalam diri. Dan sialnya, boleh jadi fulan adalah kita—atau setidaknya saya—dengan objek adiksi yang bisa saja berbeda. Singkat kata, agar dapat mengatasi adiksi, yuk kita bahas bersama, bagaimana sih filosofi adiksi ini?

Filosofi Adiksi dan Rat Park Experiment

Seseorang kecanduan merokok bisa saja sebab zat-zat di dalam rokok—nikotin misalnya—membuat candu. Namun mengapa ada orang yang merokok tapi tidak kecanduan? Pun, mengapa ada orang yang sudah kecanduan merokok lalu bisa berhenti? Sederhananya, selain zat adiktif, ada faktor lain yang membuat manusia candu. Salah satu faktor tersebut dijelaskan begitu hebat dalam sebuah penelitian tahun 1978-1981 milik seorang psikolog asal Kanada, Bruce K. Alexander, yaitu”Rat Park Experiment“, alias eksperimen taman tikus.

Dalam eksperimen ini, Alexander menempatkan sebagian tikus di dalam kandang. Di sana terdapat air mineral dan air yang dicampur dengan zat heroin, salah satu zat adiktif. Alhasil, tikus-tikus yang kesepian dan sendirian di masing-masing kandangnya mencoba air dengan campuran heroin itu. Mereka suka dan terus menerus meminum air yang bercampur heroin. Akhirnya ketagihan, overdosis, lalu mati.

Masih dalam eksperimen yang sama, Alexander menaruh sebagian tikus-tikus lainnya di sebuah rat park, taman tikus. Di sana mereka bisa berkeliaran, bermain, bersosialisasi, berhubungan intim dengan tikus-tikus lainnya, dan lain sebagainya. Pun, di sana terdapat air mineral dan air yang dicampur dengan zat heroin, sama seperti kondisi kandang-kandang tikus sebelumnya. Namun, tikus-tikus di dalam rat park ini lebih memilih minum air putih dibandingkan air campuran heroin. Bila ada tikus yang mencoba campuran heroin pun, hanya sesekali diminum dan tidak ketagihan.

Fakta eksperimen memberikan pelajaran berharga soal bagaimana filosofi adiksi. Di mana adiksi bisa muncul ketika kita berusaha kabur dari hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup. Sebagaimana tikus-tikus di kandang mencoba kabur dari kesepian dan keterbatasan, lalu mengambil pelarian lewat meminum air campuran heroin.

Dan yang perlu kita garis bawahi, hal ini tidak hanya terjadi pada tikus, tapi juga manusia. Misal, veteran perang Vietnam yang mendapat morfin dan zat adiktif lainnya selama berada di medan tempur Vietnam, baik untuk pengobatan ataupun mengurangi stres. Setelah pulang ke Amerika, banyak dari mereka yang kecanduan, tapi tidak semua. Mereka yang begitu pulang memiliki kehidupan sosial, tempat tinggal, dan kehidupan personal yang tidak baik; terkekang oleh adiksi. Sebaliknya, yang begitu pulang memiliki kehidupan sosial, tempat tinggal, dan kehidupan personal yang baik; bebas dari adiksi.

Tidak kalah penting, perlu juga kita pahami bahwa filosofi adiksi ini bukan hanya soal candu akibat zat-zat adiktif, tapi juga kecanduan pada hal-hal sepele. Sebab, sesepele apaun adiksi yang merayapi, akibat skala panjangnya sama-sama tidak baik untuk kehidupan kita. Adiksi sepele yang saya maksud di sini seperti susah berhenti makan cemilan, main game, baca komik, novel, menonton YouTube, film, drama, anime, dan masih banyak lagi. Dari sini, kiranya perlu kita ketahui, bagaimana cara mengatasi adiksi ini?

Baca Juga Artikel Lainnya: “Kecanduan Medsos?Dopamin Detox Aja

Dari Filosofi Adiksi, Kita Temukan Solusi

Boleh jadi, gagal mengatasi adiksi bukan sebab tekad yang kurang kuat, tapi salah strategi saja. Mungkin selama ini strategi kita hanya buat resolusi, “Tahun 2021, aku ga akan kecanduan main game.” Atau, pasang poster dan tulisan besar di kamar, “Aku ga akan main game lagi.” Padahal, fenomena ini disebut ironic process teory, sebuah usaha buat tidak memikirkan sesuatu, tapi justru membuat pikiran itu terus muncul. Sama halnya ketika saya menulis, “Jangan membayangkan lumba-lumba bermain bola,” tapi gambaran lumba-lumba bermain bola malah hadir di benak pembaca.

Balik lagi soal filosofi adiksi, berkaca dari konklusi Rat Park Experiment, selain membangun keinginan, kita bisa mulai mengatasi candu dengan membasmi faktor yang membuat kita tenggelam dalam adiksi. Di mana adiksi bisa muncul ketika kita berusaha kabur dari hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup. Entah itu rutinitas ataupun lingkungan yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Merasa kesepian atau sendirian, atau berada dalam hidup yang tiap harinya seakan ditekan deadline.

Maka, berkaca dari filosofi adiksi ini, kita bisa mulai membangun “Rat Park” dalam kehidupan kita, untuk mengatasi adiksi—ketagihan pada apa pun itu. “Rat Park” dalan arti tempat di mana kita bisa bahagia, tenang, menghirup napas dalam-dalam, sehingga kita bisa berbaur dengan lingkungan sekitar. Bisa mulai dengan mencoba aktivitas yang benar-benar membuat bahagia, seperti menjadi relawan, berolahraga atau sekadar melakukan hobi produktif seperti memasak. Pun, bisa juga dengan mengembangkan diri baik dari sisi keilmuan, keahlian, dan lain sebagainya.

Menciptakan “Rat Park” kita sendiri juga berarti membuat lingkungan yang baik. Bisa dengan membangun hubungan yang suportif dengan orang-orang sekitar, keluarga, teman, atau pasangan. Dengan demikian, kita tidak merasa sepi dalam keramaian, atau malah sendiri dalam hiruk-pikuk dunia. Hal ini akan menghindari kita dari depresi dan menjauhkan kita dari belenggu adiksi.

Baik mencari aktivitas produktif maupun lingkungan suportif, semua perlu proses yang bertahap. Pelan-pelan tidak masalah. Sedikit demi sedikit, perkembangan kecil ini akan begitu amat berharga buat kehidupan kita. “Rat Park” dalam hidup kita akan terwujud, lantas membantu kita bebas dari jeratan adiksi pada sesuatu, apa pun itu.

Hal ini juga berlaku sebaliknya, ketika kita menjumpai teman yang tampak tenggelam dalam adiksi. Berjam-jam nonton anime misalnya, ataupun hal lainnya. Kita perlu merangkul mereka, sembari mengatakan, “Kita benerin pelan-pelan yuk. Kalau kamu selalu merasa kesepian, sendirian, disudutkan oleh lingkungan, kita belajar pelan-pelan yuk buat bisa kehidupan sosial yang lebih baik, supaya tidak selalu jadi korban keadaan seperti ini. Bisa kok, bisa.”

Baca Juga Artikel Lainnya: Mengapa Kita Dapat Membenci Seseorang?

Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa

Penulis adalah Pimpinan Umum Manggala Periode 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *