Pesantren adalah pusat berlangsungnya feodalisme, begitulah anggapan beberapa masyarakat Indonesia saat ini, yang saya temui di aplikasi TikTok dan X. Framing bahwa pesantren adalah tempat di mana feodalisme diterapkan secara turun-temurun tersebar luas di sekitar kita. Namun, apakah anggapan tersebut dapat dibuktikan? Sebelum beranjak untuk menghubungkan keduanya, kita perlu mengkaji ulang dalam menentukan sesuatu.
Berkembangnya zaman yang diiringi dengan kemudahan akses informasi di media sosial menjadi tantangan moral dan etika di era globalisasi bagi individu untuk menerima informasi yang benar dan akurat. Seringkali, kita disuguhkan konten-konten oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang menganggap bahwa pesantren adalah tempat eksploitasi, perbudakan, dan bahkan tempat berkembangnya feodalisme, yang tentunya melibatkan hubungan antara kyai (pimpinan pesantren) dan santri (murid).
Menghakimi sesuatu tanpa mencari tahu terlebih dahulu adalah kekeliruan yang sangat fatal, dan memvalidasi informasi tersebut menjadi keharusan sebelum mengkonsumsinya. Tentunya, tidak berhenti di situ; kita juga harus menggali informasi dari pihak pesantren terkait agar dapat menerima informasi dari sumbernya.
Apa itu Pesantren dan Feodalisme?
Singkatnya, pesantren adalah wadah untuk mendalami ilmu agama yang luhur, seperti nahwu, shorof, tafsir, hadist, dan lain-lain. Semua aturan berada di bawah kendali kyai. Tentunya, kyai memiliki perbedaan dari pimpinan-pimpinan lainnya. Yang membedakan kyai dengan pimpinan pendidikan lainnya adalah ia selalu membersamai santri dalam keseharian, seperti memimpin ibadah, belajar-mengajar, olahraga, dan lain-lain.
Feodalisme, menurut Pramoedya Ananta Toer, adalah taat dan setia kepada atasan. Paham feodalisme bagi Pram dalam karyanya yang berjudul Bumi Manusia dapat menghambat perkembangan. Karena orang tidak bisa berpikir terbuka, tidak bisa bicara apa adanya, dan harus berpikir dalam kerangka hierarki.
Tudingan bahwa berlangsungnya feodalisme di pesantren disebabkan oleh adanya santri yang menundukkan kepala dan membungkuk saat kyai lewat, sering kali menjadi anggapan netizen bahwa peristiwa tersebut merupakan bentuk penghormatan yang berlebihan. Hal ini dianggap menyentuh pada hal-hal fundamental yang dirasa keluar dari zona yang layak.
Seringkali, kita disuguhkan konten-konten oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan menganggap bahwa pesantren adalah tempat eksploitasi, perbudakan, dan bahkan tempat berkembangnya feodalisme, yang tentunya melibatkan hubungan antara kyai dan santri.
أنا عبد من علّمني ولو حرفا واحدا
“Aku adalah budak bagi siapapun yang mengajariku ilmu walaupun satu huruf.” (Ali bin Abi Thalib)
Kata “budak” di sini bermakna melayani, bukan pengkultusan. Yakni, melayani segala kebutuhan kyai agar lebih mudah dalam segala aktivitasnya, bukan patuh buta dalam segala hal. Hal demikian dikenali oleh santri sebagai adab kepada orang yang mengajarkan ilmu agama. Dengan ini, adab tidak bisa serta-merta diartikan sebagai feodalisme. Begitu banyak dalil-dalil yang menyangkut adab kepada orang yang mengajarkan ilmu agama, seperti:
قال النبي صلى الله عليه وسلم:
من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمصيره إلى الجنة
Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memuliakan orang alim (guru) maka ia telah memuliakan aku. Dan barang siapa memuliakan aku maka ia telah memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah maka tempat baginya adalah surga.”
Praktik feodalisme serupa terjadi dalam perusahaan swasta, di mana kebanyakan pimpinan perusahaan mengeksploitasi karyawannya dalam bekerja. Kita dapat menjumpai struktur hierarki yang kaku dan tidak fleksibel, di mana posisi dan peran karyawan seringkali ditentukan oleh faktor turun-temurun atau hubungan personal dengan atasan, bukan berdasarkan kualifikasi dan kinerja mereka. Hal ini dapat menghambat karyawan berbakat untuk naik ke posisi yang lebih tinggi dan menghambat inovasi serta perkembangan perusahaan.
Meskipun pesantren pada awalnya berfokus pada pendidikan agama, banyak pesantren modern yang kini mengadopsi kurikulum yang lebih luas, mencakup ilmu umum seperti sains dan teknologi. Peran ini semakin memperkuat posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat yang terlepas dari sistem feodal dan tetap relevan pada zaman modern.
Sebagai catatan, sebagai seorang santri, saya juga sadar bahwa tidak semua pesantren berhasil menerapkan sistem melayani dengan baik dan benar. Pada intinya, yang tampak feodal di pesantren sebenarnya tidak selalu demikian. Namun, itu adalah bentuk hormat kepada guru dan kepada orang yang telah memberi banyak waktu serta pengorbanan untuk santrinya. Dengan demikian, santri diajarkan untuk bersikap rendah hati dan sadar diri, tanpa membawa keistimewaan dunia.
Penulis: Hary Hamzah
Tulisan Dwara Aksara Manggala KPMJB
Ada beberapa variabel yang juga penting untuk diperhitungkan mas. selain framing pesantren di medsos dengan ekspresi penghormatan yang berlebihan, orang2 merasa stigma itu benar karena didukung pengalaman subyektif pribadi/keluarga seperti budaya kekerasan fisik di pondok modern, atau tidak familiarnya budaya bertanya dan malah dianggap arogansi di pesantren salaf. Wallahu a’lam. Btw saya suka tulisannya mas, rapih & terstruktur