Setiap tahun, ribuan mahasiswa Indonesia ‘didatangkan’ ke Mesir untuk menuntut ilmu. Berdasarkan data yang saya dapatkan dari pihak PPMI Mesir, untuk saat ini saja data Camaba 2025 yang sudah masuk mencapai angka sekitar 1.800-an orang. Sedangkan jumlah total keseluruhan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) jika merujuk pada data Laporan Pendidikan (Lapdik) KBRI Cairo, untuk sementara mencapai angkat 13.507 (di luar dari yang belum melakukan Lapdik), mungkin jika ditambahkan dengan yang belum Lapdik bisa mencapai 14-15 ribu.
Hal ini tentu menimbulkan keluhan yang terus berulang dan sering saya dengar di sebagian Masisir, bahwa menurunnya kualitas moral Masisir berbanding lurus dengan semakin meningkat kuantitasnya. Berangkat dari konklusi itulah sehingga muncul solusi: jumlah pengiriman Camaba ke Mesir harus dibatasi, dan sistem seleksinya harus diperketat. Lantas, benarkah demikian? Apakah kuantitas benar-benar menjadi penyebab menurunnya moralitas, ataukah ini hanyalah kambing hitam dari kegagalan sistem pembinaan di Masisir itu sendiri?
Semakin Banyak Kuantitas, Semakin Buruk Kualitas?
Beberapa tahun terakhir, sejak saya Maba—jangan tanyakan saya Maba tahun berapa, yah, saya Maba tahun kemarin kok, hehehe—hingga sekarang, klaim yang mengatakan bahwa banyaknya kuantitas Masisir memengaruhi kualitasnya sering kali digaungkan—baik oleh para pemangku kebijakan, ataupun Masisir secara umum, sampai membuat telinga saya geram mendengarnya. Untuk itu melalui tulisan ini, saya ingin menyudahi perdebatan berkepanjangan ini—paling tidak sampai ada yang membantah lagi argumen yang akan saya lontarkan, dan saya terbuka untuk itu.
Bukan tanpa alasan, klaim tersebut mungkin muncul karena banyaknya kasus amoral yang terjadi belakangan ini, sejalan dengan banyaknya pengiriman Camaba setiap tahunnya. Hal ini menurut saya merupakan kebiasaan buruk sebagian Masisir; Jumping to conclusions (melompat ke kesimpulan), yaitu fenomena Logical Fallacy (kekeliruan berpikir) ketika seseorang menarik kesimpulan umum berdasarkan sampel yang terlalu kecil atau tidak cukup bukti.
Karena menurut saya, tidak ada hubungannya sama sekali antara kuantitas sekelompok masyarakat (dalam hal ini Masisir) dengan kualitas moralnya, seolah semakin banyak jumlahnya, semakin buruk moralnya. Ibarat Anda mengatakan banyaknya jumlah buku di perpustakaan menentukan seberapa bermutu isinya. Bisa jadi jumlah bukunya banyak, tapi semuanya berisi hal-hal negatif, ‘kan?
Jangankan sampai di situ, untuk menjawab apakah benar Masisir saat ini terjadi kemerosotan moral saja perlu pengkajian lebih mendalam lagi, misalnya menghadirkan data kasus amoral kemudian bandingkan dengan jumlah keseluruhan Masisir, worth it tidak kita mengatakan bahwa Masisir semakin tidak bermoral? Menjawab itu saja tidak boleh jumping to conclusions, apalagi untuk menyimpulkan sebab utama menurunnya kualitas moral Masisir.
Meskipun demikian, taruhlah kita asumsikan bahwa memang seandainya—untuk tidak mengatakan benar-benar terjadi—Masisir menurun secara moralitas, tentu faktor penyebabnya bukanlah kuantitas—apalagi untuk menyebutnya satu-satunya faktor utama—yang semakin meningkat. Karena berbicara masalah moral/etika, tentu kita akan berbicara tentang behavior (perilaku) manusia.
Dalam hal ini, seorang Bapak Psikolog Sosial, Kurt Lewin pernah mengemukakan Teori Medan yang menyatakan bahwa perilaku manusia adalah hasil dari interaksi antara individu dan lingkungan mereka. Untuk itu Lewin merumuskan konsep ini dengan persamaan B = f(P,E), di mana B adalah perilaku (Behavior), P adalah individu (Person), dan E adalah lingkungan (Environment). Artinya, perilaku merupakan fungsi dari individu dan lingkungannya. (Teori Medan, repositori.untidar.ac.id, diakses pada 8 Februari 2025)
Singkatnya, Lewin menegaskan bahwa perilaku manusia itu dipengaruhi oleh interaksi antara faktor internal dalam masing-masing individu (seperti motivasi dan tujuan) dan faktor eksternal (seperti lingkungan sosial dan fisik). Dari sini bisa kita katakan banyak-sedikitnya kuantitas tidak ada hubungannya dengan moralitas. Bisa jadi ada sekelompok masyarakat yang jumlahnya banyak dan tetap bermoral, atau sebaliknya, jumlahnya sedikit tapi memiliki etika yang destruktif.
Salahkan Sistem, Bukan Kuantitas!
Dari Teori Medan tadi kita tahu bahwa untuk membentuk perilaku manusia, perlu adanya sinergitas antara faktor internal dan eksternal. Selain dari karakteristik dan persepsi individu terhadap diri mereka sendiri, lingkungan tempat mereka berada juga harus sejalan dengan nilai-nilai moral yang ada. Untuk itu, jika memang terjadi penurunan moralitas, yang seharusnya Masisir salahkan dan benahi adalah sistem sosialnya, bukan kuantitasnya!
Kita terlalu sibuk mencari kambing hitam, tanpa kita sadari sebenarnya dalam kultur sosial kita, ada beberapa sistem yang dapat membantu dalam membangun moral Masisir yang lebih terarah. Misalnya dimulai dengan sistem Ormaba, ketika para calon Masisir—dalam hal ini Camaba—mulai berdatangan ke Mesir, mereka selalu disambut dengan kegiatan Ormaba atau sejenisnya, mulai dari tingkat tertinggi seperti PPMI Mesir, hingga tingkat organisasi-organisasi di bawahnya.
Tentu Ormaba itu sangat dibutuhkan bagi Camaba. Hanya saja, sistem Ormaba selama ini saya lihat kurang menjangkau seluruh Camaba, dan konsep acaranya itu-itu saja; sekadar pemberian materi terus pulang. Belum banyak—untuk tak mengatakan tidak ada sama sekali—yang benar-benar bisa membentuk karakter dan bagaimana interaksi sosial yang seharusnya.
Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar utopis dan mustahil, tapi jika kita lihat lebih jauh lagi, sebenarnya ada lembaga yang mempunyai kuasa untuk menciptakan Ormaba seperti itu (menjangaku semuanya dan membentuk karakter). Dalam sistem organisasi PPMI Mesir, lembaga ini disebut Kekeluargaan Nusantara. Mengapa demikian? Karena Kekeluargaan Nusantara memegang kendali atas pengurusan Izin Tinggal Mayoritas Masisir, yang sering diibaratkan sebagai ‘Nyawa Kedua Masisir’.
Dengan menjadikan kewajiban mengikuti Ormaba sebagai syarat bisanya mengurus Izin Tinggal di Kekeluargaan, saya yakin Ormaba tiap tahunnya akan bisa menjangkau setidaknya 80-95% dari total Camaba. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, mereka dihadapkan pada pilihan mengikuti Ormaba atau tidak bisa mengurus Izin Tinggal di Kekeluargaan.
Setelah hal itu terpenuhi, tinggal bagaimana cara Kekeluargaan Nusantara memperbaiki sistem dan konsep Ormabanya agar lebih dari sekadar pemberian materi saja: mengadakan sistem mentoring setelah selesai Ormaba misalnya, dan itu tetap wajib karena merupakan rangkaian dari pasca-Ormaba selama setahun, dan masih banyak lagi hal-hal yang perlu dibenahi dalam sistem Ormaba di Masisir.
Selain itu, Masisir juga punya sistem pembinaan yang menurut saya akan sangat efektif jika dimaksimalkan, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti rumah-rumah binaan yang bergerak di bidang akademik, serta komunitas-komunitas yang berfokus di bidang non-akademik. Menurut saya sistem ini tinggal dimaksimalkan lagi, misalnya memperbanyak rumah binaan ataupun komunitas, sehingga bisa sesuai dengan banyaknya jumlah Masisir saat ini, dan tentu keduanya tidak seharusnya membatasi orang yang ingin masuk dan belajar di lembaga mereka, agar jangkauannya lebih menyeluruh dan siapa pun bisa bergabung.
Selain dari sistem sosial Masisir—tentu akan sangat panjang jika kita jabarkan satu persatu, saya rasa sistem seleksi pengiriman Camaba ke Mesir juga harus diperbaiki. Jika selama ini ada yang mengatakan, longgarnya sistem seleksi tersebut adalah penyebab menurunnya moralitas, menurut saya itu tidak sepenuhnya benar, tidak juga sepenuhnya salah.
Karena sejauh yang saya tahu, sistem seleksi yang berlaku di Kementerian Agama (Kemenag) RI selama ini hanya menyaring Camaba secara akademik, bukan moral, karena yang selalu diuji hanyalah pengetahuan, pemahaman, serta hafalan. Tidak ada hubungannya dengan moralitas. Jadi, ketat ataupun tidak sistem itu, yang datang ke Mesir adalah orang-orang yang lulus secara akademik. Kecuali jika Anda mengatakan kualitas Masisir menurun secara intelektual, baru bisa menyalahkan sistem seleksi yang terlalu longgar tersebut.
Untuk itu menurut saya, sistem seleksi Kemenag RI tidak hanya diperketat, juga seharusnya diperbaiki dengan cara menambahkan sistem seleksi yang dapat menyaring moralitas, seperti wawancara moral & karakter, rekam jejak sosial dan rekomendasi oleh guru dan sejenisnya, tes kepribadian dan etika, observasi dalam program pra-keberangkatan, dan lain sebagainya.
Tentu hal itu terlihat rumit jika dilaksanakan, akan tetapi tidak ada salahnya jika dicoba, ‘kan? Meskipun secara realitas tidak bisa berlaku untuk semua Camaba—karena selain jalur Kemenag, pengiriman Calon Pelajar dan Mahasiswa Indonesia ke Mesir juga ada yang melalui jalur Ma’had, Ijazah Muadalah dan Markaz Tatwir, yang kesemuanya itu biasanya tidak ada sistem seleksi, setidaknya kita bisa mulai dari Camaba yang lewat jalur Kemenag—dan balik lagi, karena seleksi tidak bisa menjadi solusi utama, maka pembinaan setelah tiba di Mesir seperti yang saya sebutkan sebelumnya harus menjadi prioritas utama Masisir saat ini.
Berangkat dari alasan itulah saya beranggapan, Presiden/Wapres PPMI Mesir yang beberapa tahun terakhir ini pernah pulang ke Indonesia untuk membawa aspirasi Masisir, atau bahkan yang selanjutnya menjabat, seharusnya yang mereka sampaikan kepada pemangku kebijakan di tanah air itu adalah poin adanya kewajiban sistem seleksi untuk setiap jalur pengiriman Camaba ke Mesir, serta perbaikan sistemnya, bukan justru memperketat dan membatasi jumlah pengirimannya. Hal itu lagi-lagi bukanlah faktor utama penyebab penurunan moralitas Masisir!
Oleh karena itu, sudah waktunya Masisir harus mulai melihat akar masalah yang sebenarnya dan mengambil langkah nyata, bukan hanya mengkambinghitamkan kuantitas yang sebenarnya bukan penyebab utama. Jika sistem pembinaan diperbaiki, moralitas pun akan terjaga, berapa pun jumlah mahasiswa yang datang ke Mesir. Mungkin masih banyak lagi tindakan yang lebih solutif dari apa yang saya tawarkan itu. Namun setidaknya, setiap solusi yang dihadirkan tetap harus sejalan dengan akar masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Allahua’lam bi al-Shawwab.
Oleh: Defri Cahyo Husain
Penulis adalah Mahasiswa Akidah Filsafat Universitas Al-Azhar