Pilihannya Cuma Dua: Mundur Dari Jabatan, atau Bubarkan PPMI Mesir!

Dok. Manggala

Indonesia Gelap sepertinya tidak hanya menjadi fenomena di tanah air, tetapi juga menghantui Mahasiswa Indonesia di Bumi Kinanah Mesir (baca: Masisir). Baru-baru ini, kita dihebohkan dengan kabar raibnya uang umat sebesar 92 juta rupiah dari rekening PPMI Mesir. Lagi dan lagi, masalah keuangan selalu menjadi api yang perlahan membakar PPMI Mesir setiap tahunnya.

Pada periode 3 tahun lalu, kasus raibnya uang PPMI Mesir sebesar 2.525 dolar yang akhirnya dicatat sebagai piutang dan sejumlah EGP. 40.000 uang Dana Abadi raib untuk keperluan pribadi Bendahara Umum PPMI Mesir periode setahun lalu, seolah belum cukup untuk menghanguskan kepercayaan publik terhadap PPMI Mesir. Ditambah lagi dengan tahun ini, raibnya 92 juta rupiah karena kelalaian petinggi organisasi, membuat kepercayaan publik sepertinya hanya sebatas asa yang bergentayangan di alam mimpi.

Lantas, apakah kita akan membiarkan hal serupa terjadi setiap tahun? Bukankah sudah sewajarnya kita menuntut orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan ini? Karena jika tidak ada langkah tegas dari sekarang, benar sepertinya ungkapan Arif Avianto dalam tulisannya “Bola Panas 90 Juta”, kita tidak akan terkejut lagi jika kedepannya, uang kas PPMI Mesir raib digondol tuyul.

Menguak Ilusi Di Balik Dalih Transparansi

Sebelum kita masuk ke dalam langkah tegas, alangkah baiknya kita sedikit menoleh dulu ke belakang. Kita semua mungkin sudah membaca celotehan kronologi oleh Ari Pratama, Wakil Presiden PPMI Mesir, di Website PPMI Mesir. Namun, Anda tahu apa yang rancu dari klarifikasinya itu? Barangkali saya ingin membedahnya satu per satu.

Pertama, saya mendapati ketidakbecusan Presiden dan Wapres dalam mengeluarkan kebijakan terkait keuangan—yang menjadi jantungnya organisasi, dimana mereka dengan begitu mudahnya memberikan surat mandat kepada orang yang bahkan tidak memiliki tupoksi di bidang itu. Meskipun mereka mengklaim bahwa Alfan—orang yang diberi mandat—sudah berpengalaman, itu tidak serta merta menghapus kewajiban presiden atau wapres untuk mengawasi hal ini secara langsung dan ketat, dari awal hingga akhir—ingat, perlu digarisbawahi lagi, mengawasi hal ini secara langsung!

Terlepas dari kelalaian Alfan dalam menjaga amanah, menurut saya hal ini tidak akan terjadi, atau barangkali bisa dicegah, jika sejak awal, Presiden atau Wapres tidak mengambil langkah memberikan mandat. Dalam artian, merekalah yang langsung menanganinya. Kalaupun mereka misalnya belum berpengalaman di bidang ini, setidaknya di antara mereka tetap harus membersamai Alfan, mengawal prosesnya secara langsung hingga tuntas. Hanya karena terdesak, mereka tanpa pikir panjang mengambil langkah gegabah yang berakibatkan fatal.

Kedua, saya mendapati fenomena Framing Effect, yaitu fenomena psikologi komunikasi dimana seseorang memilih kata atau sudut pandang tertentu untuk mempengaruhi persepsi publik terhadap suatu kejadian. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang Wapres dalam tulisannya menggunakan diksi “musibah”, untuk menggeser persepsi publik dari Kelalaian dan Tanggung jawab, menjadi sebuah peristiwa yang terjadi di luar kendali.

Padahal kita tahu, “musibah” digunakan untuk kejadian yang tidak bisa dihindari, seperti bencana alam. Sedangkan kejadian tersebut sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, masih bisa dan sangat memungkinkan untuk dicegah.

Ketiga, saya mendapati sebuah kebohongan dan ilusi di depan publik, dimana Wapres memberikan judul dalam tulisannya: Sebuah Transparansi. Kemudian dia kuatkan dengan pernyataannya di dalam Sidang Paripurna II MPA PPMI Mesir yang juga saya ikuti kemarin, bahwa mereka tidak ada niatan menutup-nutupi kasus ini di depan publik.

Jika kita tidak dangkal dalam memahami realitas dan psikologi di balik ungkapan tersebut, kita akan tahu bahwa itu hanyalah ritual ‘cuci tangan’ yang biasa dilakukan oleh para pejabat. Coba Anda pikirkan lagi, jika memang sejak awal mereka ingin terbuka di depan publik, mengapa hal ini baru terungkap pada Sidang Paripurna II?

Padahal beberapa hari sebelum itu, mereka punya kesempatan untuk terbuka di depan publik pada Sidang Paripurna I. Selain itu, H-1 sebelum sidang tersebut, mereka sudah mengakui kejadian ini kepada Depim BPA, tetapi mereka tidak mengungkapkannya ketika Sidang Paripurna I yang dilaksanakan esok harinya. Entah H-1 itu ada atau tidaknya permohonan khusus dari Presiden dan Wapres ketika mengaku, yang jelas faktanya, mereka tidak ada keterbukaan publik sejak awal.

Kemudian yang paling mencurigakan lagi, tiba-tiba ada undangan Sidang Paripurna II kepada anggota Fraksi untuk membatalkan hasil Sidang Paripurna I yang saya sebutkan di atas. Bayangkan, palu sudah diketuk, ketetapan sudah disahkan, tetapi tiba-tiba ingin dibatalkan, aneh, ‘kan?

Secara semiotika, tentu adanya Sidang Paripurna II ini menandakan ada sebuah kekeliruan keputusan yang sejak awal ingin disembunyikan depan publik. Apa itu? Silakan Anda jawab sendiri, yang jelas, apresiasi dari saya untuk Depim MPA dan BPA. Kalau bukan karena inisiatif mereka untuk mengadakan lagi Sidang Paripurna, mungkin hal ini tidak akan diungkap ke publik. Dan tentu kita tidak perlu menjadi ahli psikologi untuk bisa membaca psikologis Wapres di balik mengapa dia baru mengunggah klarifikasi bertepatan dengan hari Sidang Paripurna II, ‘kan?

Presiden-Wapres Harus Bertanggung Jawab

Setelah mengamati adanya permainan psikologi dan persepsi publik, ada satu poin penting yang menjadi inti dari kasus ini. Jika Anda membaca secara teliti tulisan Wapres tersebut, kita akan mendapati adanya pelemparan tanggung jawab dari yang seharusnya, dimana Wapres menyatakan, bahwa Alfan siap bertanggung jawab penuh dan mengganti uang yang hilang tersebut.

Kita masuk dulu ke pertanyaan “siapa”, sebelum “bagaimana?”. Untuk menjawab itu, kita perlu pahami definisi dari realitas yang terjadi. Faktanya, Presiden-Wapres memberikan surat mandat kepada Alfan untuk menyelesaikan masalah rekening. Anda tahu mandat itu berarti apa? Secara umum, mandat itu adalah delegasi, bukan pelepasan tanggung jawab. Jadi, memberikan mandat kepada seseorang, bukan berarti melepaskan sepenuhnya tanggung jawab kepada orang itu. Itu sungguh logika berpikir yang keliru.

Karena Presiden-Wapres begitu berani mengambil langkah memberikan mandat kepada seseorang untuk suatu urusan yang sangat penting—dan seharusnya menjadi fungsi supervisinya, harusnya dia tahu bahwa apa pun yang dilakukan oleh penerima, itu otomatis atas persetujuan dari pemberi mandat, sehingga mereka harusnya sudah siap menanggung semua resiko yang akan terjadi. 

Dari sini kita sudah bisa menjawab, bahwa satu-satunya orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kasus ini adalah Presiden-Wapres, bukan Alfan. Meskipun kita tahu, Alfan sendiri yang secara sukarela ingin bertanggung jawab, tetapi atas dasar profesionalitas jabatan, Presiden-Wapres harusnya punya pilihan untuk menolak inisiatif Alfan itu dengan alasan apa pun.

Kita semua mungkin pernah mengalami kondisi psikologis yang sama dengan yang Alfan alami, dimana kita benar-benar merasa bersalah dan ingin bertanggung jawab atas kesalahan itu. Namun lagi-lagi secara profesional, kondisi emosional seperti itu tidak bisa menjadi alasan dibenarkannya tindakan Presiden-Wapres dalam menerima Alfan sebagai orang yang bertanggung jawab, apalagi sampai menuliskan hitam di atas putih, menurut saya itu suatu tindakan yang sangat keliru.

Setelah menjawab “siapa”, lantas bagaimana seharusnya bentuk pertanggung jawaban itu? Lagi-lagi persepsi publik digiring dalam hal ini, bahwa seolah-olah mengganti uang yang hilang itu adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban. Sepertinya kita sedikit keliru dalam membedakan mana yang merupakan kewajiban, dan mana pertanggungjawaban.

Bagi saya, menggantikan uang yang hilang itu sudah seharusnya menjadi kewajiban orang yang menghilangkannya. Karena hal itu, kita perlu sesuatu hal lain yang bisa dijadikan sebagai sebuah pertanggungjawaban. Kita semua mungkin terpikirkan untuk permohonan maaf Presiden-Wapres di depan publik, serta pembekuan seluruh uang PPMI Mesir—sebagaimana yang terjadi di tahun sebelumnya. Namun, pertanyaan saya sederhana, apakah pertanggungjawaban seperti itu merupakan solusi konkret?

Jawabannya, tidak! Kita semua harusnya bisa belajar dari pengalaman, bahwa pertanggungjawaban seperti itu sudah pernah diterapkan di tahun sebelumnya. Namun nyatanya, permasalahan keteledoran fungsi pengawasan pengelolaan keuangan terjadi lagi tahun ini. Lantas, hal seperti itu seharusnya tidak menjadi efek jera, dan bisa saja mengulangi kejadian serupa di tahun-tahun mendatang.

Kita perlu konsekuensi yang lebih tegas dan radikal sebagai bentuk pertanggungjawaban, serta bisa menjadi efek jera bagi Presiden-Wapres selanjutnya, agar masalah keuangan PPMI Mesir tidak dianggap sepele. Apa itu? Satu-satunya hal yang saat ini terpikirkan di benak saya adalah, Presiden-Wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Iya. Saya tidak main-main! Ini adalah sebuah masalah yang sangat serius, yang harus kita potong dan cegah dari sekarang. Jika Presiden-Wapres dalam pernyataannya mengaku siap bertanggung jawab untuk kasus ini, harusnya mereka berani mengundurkan diri secara sukarela, sebelum publik sendiri yang memaksa mereka untuk mundur.

Jika bentuk pertanggungjawaban seperti ini tidak diindahkan, tegas saya, sekalian bubarkan saja PPMI Mesir secara kelembagaan. Hal ini sah secara konstitusional dalam AD PPMI Mesir, Bab VII, pasal 20. Untuk apa lagi mempertahankan sebuah organisasi yang setiap tahunnya, Sang Pemimpin selalu menghilangkan kepercayaan publik dan berlepas tanggung jawab?

Terserah Anda mau menganggap serius atau hanya menganggap ini sebagai pernyataan retoris. Namun pada akhirnya, kita harus pandai memahami permasalahan ini secara tuntas, dan menuntut Presiden-Wapres untuk segera bertanggung jawab dengan konsekuensi yang sangat tegas. Sekali lagi dari saya, pilihannya cuma dua: mundur dari jabatan, atau bubarkan PPMI Mesir! Sekian. Wallahu A’lam bi al-Shawwab.

Oleh: Defri Cahyo Husain

Penulis adalah Dewan Pimpinan MPA PPMI Mesir 2022/2023

Tulisan Dwara Aksara Manggala KPMJB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *