Kelana
Kidung serayu mengalun pilu
Menjelma eufoni orkestra sendu
Atma yang lama terbelenggu sembilu
Berdialog lirih mencoba mengadu
Wahai alam semesta,
Bolehkah aku bercerita?
Tentang renjana yang enggan berkata
Berpilin menjalin rangkaian derita
Wahai halimun pagi,
Bolehkah aku berbagi?
Beberapa potong luka yang tak kunjung pergi
Biarlah ia mengudara menjelma elegi
Wahai hamparan bentala,
Bolehkah aku menggembala?
Kumpulan kenangan yang berlarian dekat kuala
Agar tak lekang dimakan lupa dalam jemala
Aku mendusin di tanah entah-berentah
Terpaut jauh diseberang kampung pitarah
Meneroka lelah untuk sebuah anugerah
Merapah gelisah agar asa tak lagi patah
Bumi tempatku singgah memang terlampau indah
Namun tak senyaman selasar depan rumah
Langit tempatku bernaung memang elok tak terperi
Namun tak seteduh atap negeri sendiri
Syahdan,
Kemana pun ragamu mengarah
Sejauh apapun kakimu melangkah
Tujuan terakhir akan selalu rumah
Oleh: Sabiq Dzamar
Penulis adalah Juara 2 Lomba Cipta Puisi Milangkala KPMJB ke-47
Selamat Purna Singgah
Sebelum membacanya, kusarankan segelas faronsawy,
Atau syai bi na’na kesukaanmu
Kedua, hirup nafasmu dalam-dalam,
Jebak seluruh aroma Kairo sampai dalam kalbumu, seakan
Tak ada lagi yang tertinggal
/
Jatuh tempo, tenggat
Yang kau kira akan selama
Menghitung pasir di Sahara,
Nyatanya, hanya sekelebat cahaya
Jatuh tempo, tempat
Sekeras apapun usahamu menolak, jalanan
Yang pernah kau lewati pun
Menolak untuk tak abadi dalam kenangan
Jatuh tempo, tetap
Bangunan persegi coklat pucat, parade klakson,
Atau mungkin bau pesing sepanjang koridor
Memberatkan langkahmu menuju pulang
//
Sesap, demi sesap
Kenangan, demi kenangan
Pertanyaan, demi pertanyaan
Penyesalan, demi penyesalan
Jawaban,
Seiring purnama
Sesap, demi sesap
Merah, menuju jingga,
Kuning dan hijau menjadi
Biru, nila dan ungu menutup
Perjalanan,
Mengiring tumbuh nama
///
Sesap, demi sesap
Jatuh tempo, purna
Singgah
Pun gelas kotor dicuci, ingatannya
Menetap –selamat
Kairo, 17 November 2024
23.10
Oleh: Atina Husna
Penulis adalah Juara 3 Lomba Cipta Puisi Milangkala KPMJB ke-47
Perihal Singgah
Diujung terbenamnya sang surya ,
senja menampakan indahnya.
Dalam bayangan awan merah jingga.
Ia singgah sementara,langitlah yang setia tetap ada.
Kala kicauan bahagia merayu,
jiwapun merontokan resah pilu,
mula segar menjadi layu ,
gugur terbang bak kupu kupu.
Rasa nya mulai tersipu malu,
nyaman saat kau bukakan pintu ,
bukan sekedar masuk tuk dijamu ,
ruang istimewa tanda senyuman mu.
Tuan pun ikut menyiram tunas itu,
Dibalik pertanda mundur atau maju,
Hingga tumbuh bunganya tatap matamu,
puan anggap lalat padahal lebah madu.
Waktu seakan cepat berlalu,
bunga di rumah mulai layu,
lebah pejuang terusir tak menau ,
Hampir Mati jatuh terinjak akan harapan semu.
akhirnya Lebah lugu bangkit kembali,
suratan makna telah mengobati,
dia mengerti rumah itu hanya untuk di singgahi,
bukan untuk ia dimiliki.
janji tak akan ku hinggapi lagi
Kan kucari tempat dimana dihargai
Rumah mewah tak ada arti
Lebih baik gubuk tapi mekar mengasihi
Pohon menasehati Singgahlah sebentar disini,
Untuk mengusir resah diri,
Besok harus kau persiapkan lagi,
Perjalanan mu masih jauh tuk dilalui.
Tancapan pedangmu itu tepat menusuku,
Tersayat aku hampir terbunuh kaku,
Tapi untungnya tuhan selalu membantu,
Tentang rumah sekedar singgah itu.
Alam semesta tidak selamanya bertahan,
Semua hanya dalam persinggahan,
Rumah mana lagi yang akan kutuliskan,
Mungkin angan angan atau garisan Tuhan,
Entah seindah apa tempat disana
Yang jelas aku tak tahu harus kemana
Tapi Sambil ku nikmati perjalanan
Entah esok sampai atau masih dalam persinggahan
Oleh: Ahmad Fauzi
Penulis adalah Juara Harapan 1 Lomba Cipta Puisi Milangkala KPMJB ke-47
Singgah, dan hanya singgah
Singgah berteman dengan frasa sementara.
Sementara, ialah hanya sejenak adanya.
Semua orang meyakininya,
dan nyaris tak ada yg mengingkarinya.
Waktu, waktu, orang-orang tenggelam dalam tipu,
terperdaya hiburan-hiburan semu,
kalap dalam pusaran nafsu,
hingga arah hidupnya kabur tak menentu.
Gemerincing harta memenuhi pendengarannya,
membuatnya lupa.
Tawa bahagia memenuhi mulutnya,
membuatnya lupa.
Sinar tahta ubah mata dan hati jadi lumpuh,
hingga ia pada akhirnya lupa melulu.
Padahal jika ditanya dalam forum ilmu,
ia kan menjawab dunia ini hanya semu.
Lantas mengapa?
Wahai manusia?
Kau masih bisa goyah karena hal sementara?
Bukankah dunia ini hanya tempat singgah, dan hanya singgah.
Sepertinya kau terlalu serius hingga menjadikannya sungguh.
Tak percaya dengan pengorbanan sementara waktu,
hingga kau dengan mudahnya rela tertipu.
Apa akal hebat di kepalamu sudah berubah dungu?
Tak lagi kau mampu mengingat sebuah abadi?
Nikmat tiada tara yang menanti?
Maukah kau ganti hanya untuk yang singgah ini?
Oh, oh, makhluk, kapan kau bisa sadar diri?
Oleh: Khadijah Buma
Penulis adalah Juara Harapan 2 Lomba Cipta Puisi Milangkala KPMJB ke-47