The Golden Spoon; Uang Menggantikan Peran Tuhan

Ilustrasi serial drama The Golden Spoon. (Sc: Tribunnews.com)

Judul                     : The Golden Spoon

Sutradara            : Song Hyun-wook, Lee Han-joon

Penulis                 : Yoon Eun-kyung, Kim Eun-hee

Stasiun TV           : MBC

Episode                : 16

Rilis                       : 23 September – 12 November 2022

 

Oleh: Defri Cahyo Husain

Penulis adalah Penanggung Jawab Manggala 2022/2023

Tak dapat kita pungkiri, sistem kapitalisme yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia saat ini memacu setiap orang untuk berlomba-lomba menduduki strata tertinggi dalam kelas sosial-ekonomi, di mana kekuasaan dapat diduduki dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Seolah di kehidupan ini hanya tentang uang, uang, dan uang. Tak ada yang dapat menggantikan posisinya, sekalipun realitas abadi yang kita sebut dengan “Tuhan”.

Barang kali, fenomena seperti itulah yang ingin ditonjolkan Yoon Eun-kyung dan Kim Eun-hee; penulis skrip dalam Drama Korea (Drakor) yang berjudul “The Golden Spoon” (Sendok Emas). Bukan karena pemeran utamanya Yook Sung-jae saya jadi tertarik menonton ini, tetapi dari penjabaran sinopsisnya yang benar-benar mengabstraksikan keputusasaan seseorang karena terlahir sebagai orang miskin.

Cerita dimulai dengan adegan Voice Over (VO) Sung-jae-berperan sebagai Lee Seung-cheon-yang menjelaskan gagasan Karl Marx tentang setiap manusia itu setara; apa pun agamanya dan seberapa pun banyak uangnya. Namun, gagasan tersebut dipatahkan sendiri olehnya, seolah dunia yang Karl Marx bayangkan itu terlalu utopis untuk dapat direalisasikan.

Namun, semua orang tahu, kenyataannya tak seperti itu. Semua orang duduk dengan cara yang sama, dan seragam yang sama, tapi tempat ini… Korea adalah masyarakat yang berhierarki. Dunia didominasi oleh mereka yang terlahir dengan kekayaan.” Begitulah ucapan Seung-cheon di dalam kelas tempat ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas.

Dalam dialog VO itu, saya merasakan emosi yang mendalam dari seorang Seung-cheon, betapa secara inplisit ia ingin mengatakan bahwa dunia ini begitu tidak adil. Saya menduga, emosi tersebut timbul dari kesehariannya yang mendapat diskriminasi hanya karena perbedaan kelas sosial; ia dilahirkan sebagai orang miskin.

Emosi tersebut terus berlanjut sepanjang adegan sampai Seung-cheon berada di titik yang membuatnya begitu berani mengambil pilihan berisiko besar dan dapat merubah segala hal dalam hidupnya yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Puncak keputusasaan tersebut ia dapatkan dari berbagai rentetan kejadian yang selalu melibatkan uang.

Akhirnya, Seung-cheon pun menggunakan ‘Sendok Emas’ yang dibeli dari seorang nenek tua di pinggir jalan, di mana sendok tersebut dapat membuat orang yang menggunakannya bertukar posisi kehidupan dengan orang lain sebayanya. Dalam hal ini, ia bertukar posisi dengan Hwang Tae-yong, orang paling kaya di sekolahnya yang juga merupakan anak dari Hwang Hyeondo, CEO Grup Dosin, perusahaan terbesar kedua di Korea Selatan.

Saya kurang tertarik dengan kejadian fiktif tersebut. Kalaupun seandainya benar-benar ada di kehidupan nyata, orang bisa saja mengambil pilihan yang sama ketika berada di posisi Seung-cheon. Namun yang paling menarik perhatian saya dari drama ini adalah, tentang bagaimana strategi marketing Si Nenek Tua agar orang mau membeli sendok emasnya yang hanya seharga 30 ribu won itu.

(BACA JUGA: The Imitation Game)

Dari penjabaran saya di atas, kita sudah tahu bagaimana sendok emas tersebut bekerja. Namun kenyataan ketika menjualnya, Si Nenek Tua tidak mengatakan “Sendok yang dapat menukar orang tua” atau “Sendok yang dapat menukar posisi kehidupan”, melainkan “Sendok emas yang membuatmu kaya”.

Seung-cheon bisa saja menggunakan sendok tersebut untuk bertukar orang tua atau kehidupan dengan teman yang lebih miskin darinya, karena memang fungsi dari sendok emas pada hakikatnya adalah menukar kehidupan. Namun, lagi-lagi Si Nenek Tua menggunakan strategi yang berbeda untuk menjual sendok itu.

Tak hanya itu, ternyata sepanjang episode, Si Nenek Tua menggunakan strategi yang sama kepada setiap ‘orang-orang putus asa’ yang lewat depan kedainya. Seolah ia bisa membaca setiap masalah orang-orang tersebut selalu berkaitan dengan uang. Di sini, Si Nenek Tua benar-benar menggunakan “uang” sebagai puncak doktrin tertinggi, untuk menafikan peran Tuhan sebagai penentu kehidupan seseorang.

Selain Seung-cheon, dalam drama The Golden Spoon ini juga ada beberapa orang yang menggunakan sendok emas tersebut. Salah satunya adalah orang yang senasib dengan Seung-cheon, yaitu Jeong Nara yang mengambil kehidupan Oh Yeo-jin. Selain itu, hal yang tak terduga adalah tokoh antagonis, Gwon Yohan yang mengambil alih kehidupan Hwang Hyeondo.

Berbeda dengan Seung-cheon dan Jeong Nara, Yohan sama sekali bukan seorang dengan latar belakang yang miskin. Ia termasuk orang yang beruang, bahkan merupakan partner bisnisnya Hyeondo. Namun karena satu dan lain hal, ia pun menggunakan sendok emas tersebut. Dari karakteristiknya, saya melihat Yohan adalah refleksi dari akibat ketamakan berlebihan terhadap uang. Betapa dengan terlalu menuhankan uang, ada banyak risiko yang menanti kita di depan.

Di akhir-akhir episode, Yohan sendiri pernah berkata kepada Seung-cheon, “Meski kau mengganti kata ‘Tuhan’ dengan ‘uang’, dunia ini tak akan berubah. Baik dan jahat, hidup dan mati, keabadian dan kebangkitan, bahkan jalan Tuhan, semuanya dikelola oleh uang.”

The Golden Spoon bukan hanya drama fiktif belaka. Ia benar-benar memroyeksikan gambaran kehidupan saat ini. Banyak orang yang mau melakukan apa pun demi mendapatkan uang, sampai lupa dengan keberadaan Tuhan. Bahkan orang seidealis Hwang Tae-yong pun, ketika identitasnya berubah menjadi Seung-cheon, ia hampir menggunakan sendok emas karena keputusasaannya terhadap uang.

Sebagai orang awam, merupakan sebuah kengerian yang mengguncangkan iman ketika menonton drama ini. Betapa uang benar-benar dijadikan realitas tertinggi yang dapat menggantikan peran Tuhan.

Meskipun begitu, The Golden Spoon memaksa kita untuk membuka mata terhadap kenyataan yang sebenarnya terjadi di dunia, sehingga kita perlu berhati-hati. Bahkan, drama ini menegaskan sendiri, bahwa setiap orang yang tamak secara berlebihan terhadap uang akan menanggung sendiri akibat dan risiko yang lebih besar.

Uang bukanlah segalanya, tapi segalanya butuh uang.” Quotes itulah yang pertama kali terlintas di pikiran saya setelah menghabiskan 16 episode drama ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *