Esai, Opini  

Mengapa Kita Dapat Membenci Seseorang?

Mengapa kita membenci seseorang

Suatu waktu, kawan saya bertanya kepada saya: Mengapa kita dapat membenci seseorang? Pertanyaan seperti ini, termasuk pertanyaan yang mudah sekali untuk dilewatkan: kita hanya tinggal menjawabnya dengan ya karena lu ngga suka dengan dia. Tapi titik serunya adalah Bagaimana kita dapat membenci seseorang? Saya akan memulai tulisan ini dengan kata-kata dari Herman Hesse “Ketika kita membenci seseorang, kamu membenci sesuatu bagian yang ada dalam dirimu. Apa yang tidak ada dalam dirimu, tidak akan menganggumu.” Tidak butuh berpikir terlalu pusing mengenai kata-kata barusan. Langkah pertama yang perlu kita lakukan hanyalah menerima kata-kata tersebut. Dan menerima juga, bahwa sebenarnya, sesuatu yang kita benci tersebut, rupanya sudah ada di dalam diri kita. Kok bisa?

Hubungan individu dengan dunia di luar dirinya tidak pernah sesederhana yang kita bayangkan. Orang lain adalah individu yang sangatlah berbeda, dan memiliki keunikannya sendiri. Setiap dari kita tidak dapat menyentuh keunikan orang lain secara utuh. Dalam psikologi, hal seperti ini sudah maklum diketahui. Setiap individu memiliki bangunan psyche yang berbeda-beda; semenjak seseorang tidak dilahirkan dari satu rahim yang sama. Kita perlu menggarisbawahi, rahim ini pun hanya bekerja sebagai metafora. Kita juga menghetahui, bahwa diri kita dan saudara kandung kita tentunya memiliki psyche yang berbeda. Banyak sekali faktor yang membangun psyche seseorang. Saya mungkin membaginya menjadi dua: bahan yang sudah kita bawa sejak lahir, dan bahan yang kita terima semasa hidup kita.

Salah satu contoh bahan yang sudah kita bawa sejak lahir adalah personality kita, (ada contoh lain seperti Shadow yang akan saya singgung nanti), atau agar lebih mudah, saya akan langsung menyebut mengenai Introvert atau Ekstrovertnya kita. Kita tidak dapat menentukan hal-hal seperti ini; semenjak hal seperti ini sudah ada di dalam diri kita semenjak lahir.Dan hal kedua adalah bahan yang kita terima semasa hidup kita. Apa-apa yang kita terima dari lingkungan semasa hidup kita, nantinya, secara sadar atau tidak sadar, akan masuk ke dalam diri kita dan bersarang di ketidaksadaran personal. Apa-apa yang berada di ketidaksadaran personal, Jung tandai sebagai Complexes. Complexes adalah segala hal yang direpresi, dipikirkan, dirasakan manusia dari dunia di luar dirinya. Dan nantinya, kedua bahan ini, akan saling berkaitan untuk membangun psyche kita; dan secara tidak langsung dapat mengungkapkan mengapa kita dapat membenci sesuatu.

Mungkin dengan meletakkan dikotomi seperti tadi, kita juga dapat menghetahui mengapa Jung pada akhirnya berpisah jalan dengan Freud. Menurut saya, Freud seperti melihat psyche manusia hanya disusun oleh bahan-bahan yang kita terima semasa hidup kita. Seperti teori Freud yang mengatakan bahwa perilaku anak dibangun oleh perilaku orang tuanya yang anak lihat ketika masa kecil. Begitu pun pada teori Freud mengenai mimpi yang mengatakan kalau mimpi adalah suatu sistem pemuas diri manusia, yang dipengaruhi oleh keresahan dan hal lainnya yang manusia terima semasa hidupnya. Dengan mendasari Freud, tentunya kita akan menemukan kebuntuan untuk menafsirkan mimpi-mimpi janggal. Atau jika kita membawanya ke dalam kisah-kisah agama, tentunya kita akan menemukan kesulitan untuk menafsirkan mimpi dari Yusuf yang ia ceritakan kepada bapaknya.

Dan maksud saya adalah: ketika kita membenci sesuatu, sesuatu yang kita benci itu dapat dipengaruhi oleh dua bahan. Yang kita bawa sejak lahir dan yang kita terima semasa hidup kita. Contohnya ketika kita membenci seorang yang pemalas atau tidur sepanjang hari. Mungkin kita membenci seseorang itu karena lingkungan kita mengatakan bahwa sikap malas itu bukanlah sikap yang baik. Atau lingkungan memaksa kita untuk tidak dapat melakukan tindakan seperti itu. Dan yang kedua, saya dapat mengatakan, kalau kita membenci seseorang itu karena diri kita tidak dapat melakukan tindakan seperti apa yang ia lakukan, yaitu bermalas-malasan. Misalnya kita sudah ditakdirkan untuk hidup aktif dan terus berada dalam pergerakan. Atau jika saya membawanya ke teori Introversi dan Ekstroversi Jung, diri kita sudah ditakdirkan menjadi seorang Ekstrovert: yang mau-tidak-mau diri kita diharuskan untuk tetap berada di keramaian (untuk menjaga energi kita agar tetap terisi).

Contoh lebih mudah lainnya adalah ketika kita membenci seseorang yang mengunggah status (Whatsapp atau Instagram) terlalu banyak (sampai status itu terlihat seperti titik-titik). Apakah lingkungan melarang hal tersebut? Tidak. Lalu mengapa kita dapat membenci itu? Karena kita tidak dapat (atau tidak ingin) melakukan hal seperti yang ia lakukan tadi. Dari mana kita mendapatkan pertimbangan (bahwa kita tidak dapat atau tidak ingin) melakukan hal seperti dirinya? Dari sesuatu yang kita lihat (status yang titik-titik), yang kemudian kita berikan penghakiman kepadanya (melalui perasaan dan pemikiran) bahwa sesuatu itu bukanlah hal yang tepat untuk kita ditiru. Dan yang perlu kita garisbawahi: tidak semua orang membenci tindakan seperti ini. Dari sini kita dapat memahami: bahwa sesuatu yang kita benci itu, bukan saja berasal dari orang lain; tapi juga dari reaksi kita terhadap tindakan tersebut.

Meskipun membenci adalah suatu sikap yang buruk. Tapi rupanya, dengan membenci, menurut Jung, dapat membuat manusia menjadi manusia seutuhnya (whole). Jung mengatakan “Apapun yang menganggu kita, dapat membawa kita ke dalam pemahaman pada diri kita sendiri”. Dan ungkapan ini sangat berkaitan erat, dengan apa yang Jung tandai sebagai shadow. Dan shadow ini termasuk bahan yang sudah kita bawa sejak lahir. Seperti namanya, shadow adalah sisi paling gelap dari psyche (jiwa) manusia. Dan alasan Jung menamai konsep ini dengan shadow, karena manusia sendiripun jarang sekali menyadari akan adanya shadow pada dirinya, semenjak letaknya sangat tersembunyi dan tidak mendapatkan cahaya dari ego.

Lebih jauh, di buku Aion, Jung mengatakan “Shadow adalah masalah moral yang menantang kesuluruhan individu manusia, dan tidak ada orang yang dapat sadar dengan keberadaan shadow tanpa usaha yang besar. Untuk menjadi sadar, individu harus mengenali aspek-aspek gelap yang ada pada dirinya.” Saya dapat memahami mengapa Jung mengatakan hal seperti ini. Kembali lagi ke yang saya katakan, bahwa keberadaan shadow sangat sulit untuk ditelusuri di dalam psyche manusia sendiri. Shadow adalah sisi buruk kita, yang ada dalam diri kita, dan kita tekan sebegitu dalamnya hingga tidak terlihat sama sekali pada kesadaran kita. Menurut, Murray Stein, shadow adalah sesuatu yang sangat berlawanan dengan ego kita. Kalau kita adalah seorang yang emosional, shadow kita akan berperan rasional.

Misalnya diri kita adalah seseorang yang memiliki fungsi dominan emosi. Di suatu rapat misalnya, kita diharuskan mengambil keputusan paling tepat untuk organisasi yang sedang kita pimpin. Karena kita memiliki fungsi emosional, kita akan mempertimbangkan keputusan kita kepada perasaan orang lain, agar semuanya sama-sama-enak. Kebalikannya, jika kita memiliki fungsi dominan rasional, kita akan mengambil keputusan yang sesuai dengan kebenaran, dan mengurangi pertimbangan terhadap perasaan orang lain. Dan di sini, fungsi shadow terlihat. Seseorang yang memiliki fungsi dominan emosi, mau-tidak-mau mengambil keputusan dengan emosinya. Padahal di dalam dirinya (shadow), ia sangat ingin mengabaikan emosinya untuk dapat mengambil keputusan yang paling tepat.

Begitu juga jika kita memiliki fungsi Introversi, shadow kita adalah fungsi ekstroversi. Tidak heran, jika ada seorang yang memiliki fungsi introversi memandang seseorang yang memiliki fungsi extroversi dengan tatapan heran. Kok bisa dia seharian berbicara dengan orang? Kok dia tidak capek-capek berada di lingkungan ramai? Kok dia tidak malu melakukan hal tersebut?. Atau pun sebaliknya, ketika seseorang dengan fungsi ekstroversi memandang seseorang yang memiliki fungsi introversi yang cenderung mengambil jarak dari keramaian.

Permasalahan shadow sebenarnya tidak berhenti sampai di titik ini saja. Shadow menurut Jungian, masuk di dalam Archetype yang berada di ketidaksadaran kolektif manusia. Jadi shadow ini memiliki sifat Trangressive (melampaui) diri sendiri, dan berlaku bagi khalayak umum. Jadi tidak heran, kalau kita dapat menemukan seseorang yang memiliki shadow kita. Meskipun shadow –secara dasar- terlihat sebagai sesuatu hal yang buruk, tapi kalau kita memahaminya lebih jauh lagi, kita dapat berpendapat bahwa sebenarnya shadow adalah pelengkap bagi hidup kita. Individu lain yang memiliki shadow kita, sebenarnya dapat mengisi suatu lubang kosong yang ada dalam diri kita. Dalam karya sastra, kita dapat dengan mudah menemukan karakter-karakter yang saling memiliki shadow karakter lainnya. Narcissus dan Goldmun, Batman dan Joker, atau pun Ron Wesley dan Hermione.

Jadi, ketika kita membenci seseorang, sebenarnya yang kita benci adalah diri kita sendiri. Karena shadow kita adalah diri kita. Namun jika kita dapat menaikkan kebencian itu (dengan usaha besar) ke ruang kesadaran, mungkin kita akan dapat berbalik untuk menyukainya atau setidaknya mewajarinya. Jadi kalau suatu waktu kawan saya bertanya lagi kepada saya: Mengapa kita dapat membenci seseorang? Tentu saya akan menjawabnya: Ya mungkin karena lu benci dengan diri lu sendiri?

Oleh: Mahardika Mufti

Penulis adalah Redaktur Ahli Majalah Manggala 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *