Bukan Hanya Covid-19, 7 Hal ini Sebabkan Haji Tertunda

Bukan Hanya Covid-19, 7 Hal ini Sebabkan Haji Tertunda

Pada tahun ini Covid-19 membuat haji tertunda. Padahal momen ini sangat istimewa di hati kaum muslimin. Bagaimana tidak? Besarnya ganjaran, ampunan, pertolongan, juga melimpah ruahnya berkah, membuat rukun Islam kelima ini begitu dinanti. Tak heran bila ratusan Umat Islam rela mengantri di waiting list guna berkesempatan mengunjungi Baitullah ini. Selain itu, tidak sedikit di antara mereka yang dengan senang hati menabung bertahun-tahun demi memenuhi panggilan-Nya. Pun, beberapa di antara mereka berharap kejatuhan jackpot haji dengan jalur alternatif. Temus (Tenaga Enerjik Mahasiswa Untuk Syariah) haji misalnya, sebagaimana yang didamba para Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah, di antaranya Masisir.

Penundaan di tahun ini membuat harapan Temus di tahun ini pupus sudah. Ibadah haji yang mensyaratkan adanya keamanan bagi jiwa dan raga pelaksananya membuat Raja Salman beserta jajaran menutup haji bagi umat di luar Arab Saudi; enggan haji menjadi ajang Covid-19 memburu inangnya. Dengan begitu, tahun 2020 kelak akan tercatat sebagai tahun di mana haji dilakukan begitu terbatas.

Menariknya, hal seperti ini bukan hanya sekali tercatat dalam tinta hitam kelam sejarah haji. Bila kita meneliti dan mengkaji kitab-kita tarikh, di beberapa tahun silam, pelaksanaan rukun Islam kelima ini juga pernah tertunda. Baik itu secara universal—dalam arti sebagian besar umat Islam tidak diperbolehkan berhaji seperti tahun ini, maupun partikular—dalam arti hanya kaum Muslimin di sebagian wilayah yang tidak diperbolehkan mengunjungi tanah Haram. Dengan demikian, setidaknya ada 7 hal sepanjang sejarah tertundanya haji. Apa sajakah itu?

Pertama, Haji Tertunda Karena Ketegangan Politik

Tidak bisa kita pungkiri, teknis pelaksanaan haji acapkali berkaitan erat dengan siapa yang duduk di kursi tahta kuasa. Begitupula halnya ketika terjadi ketegangan politik antara kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Fathimiyah. Pada tahun 372 H, kemelut antara Bani Abbas dan Bani Abad ini membuat kaum muslimin di Irak tidak bisa melaksanakan haji. Sebagaimana tutur sejarawan berdarah Mesir, Ibnu Taghribirdi dalam kitabnya Al-Nujūm al-Zāhirah fī Mulūk Miṣr wa-al-Qāhirah “Tidak ada seorang pun yang berhaji dari Iraq selama 8 tahun.”

Hal serupa juga pernah terjadi di tahun 411 H dan terabadikan dalam al-Muntazham fi Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Ibnu Jauzi berkisah, kegentingan antar penguasa kala itu berimbas pada tertundanya haji.

Kedua, Haji Tertunda Karena Huru-hara Begal Arab Badui

Dulu, kini dan nanti, haji selalu identik dengan mereka yang memiliki kelapangan rezeki. Hal ini menggoda suku-suku Arab Badui untuk beralih profesi sebagai begal dan penyamun para jamaah haji. Bahkan, menurut al-Dzahabi dalam al-‘Ibar fī Khabar Man Ghabar, Bani Salim dan Bani Hilal tidak segan melakukan pembunuhan.

Berkaitan dengan ini, Ibnu Asakir menceritakan dalam karyanya, Tārīkh Dimasyq bahwa pada tahun 272 H, Dimaskus dipimpin oleh Sa’ad al-As’ar. Sebelum kepemimpinannya, suku Badui acapkali menguasai jalur haji untuk melancarkan aksi. Begitupula selama tiga tahun kepemimpinannya, tetap tidak ada yang berhasil berangkat haji melalui jalur Syam. Sehingga Sa’ad menemui mereka dan menyelesaikan perkara sehingga jalur haji kembali terbuka.

Senada dengan itu, al-Suyuthi bertutur dalam kitab Husnu al-Muhādharah fi Akhbār Mishr wa al-Qāhirah. Pada tahun 147 H, penduduk Mesir berhasil menunaikan haji. Berbeda dengan penduduk Iraq dan sekitarnya, mereka tidak dapat berhaji sebab ulah para penyamun suku Badui. Demikian halnya tahun 148-149 H, hanya penduduk Asia Tengah yang dapat melaksanakan ibadah haji, sementara penduduk Iraq dan Mesir tidak. Mengulang tahun 147 H, pada tahun 120 H, hanya penduduk Mesir yang berhasil berangkat haji.

Ketiga, Haji Tertunda Karena Perbaikan Jalur Haji

Berbeda dengan dewasa ini, keterbatasan teknologi membuat orang-orang tempo dulu harus menelan berkali lipat lelahnya perjalanan haji. Waktu yang panjang harus mereka amini. Jalur yang acapkali terjal dan masih jauh dari kata aman harus mereka hadapi. Dengan ini, sejarah mencatat pada tahun tertentu kaum muslimin dari beberapa wilayah terpaksa kembali pulang ke kampung halaman di tengah perjalanan haji. Hal ini disebabkan buruknya medan rute yang harus ditempuh.

Sebagaimana al-Dzahabi tulis dalam al-Muntazham fi Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, “Pada tahun 304 H, jamaah haji dari Asia Tengah terhenti di tengah perjalanan menuju Makkah.” Hal ini disebabkan buruknya rute perjalanan dan kurangnya perhatian pemimpin kala itu. Dengan demikian, mereka pun kembali, jamaah dari Asia Tengah dan Iraq tidak jadi berhaji.”

Keempat, Haji Tertunda Karena Cuaca  yang Ekstrem

Lagi-lagi menimpa jamaah haji asal Iraq dan Asia Tengah, cuaca dingin yang ekstrem menghambat tertunaikannya haji. Kala itu, tahun Hijriyah menginjak usianya yang ke-417. Cuaca dingin yang tak sewajarnya memeluk daratan Syam kala itu. Air di Sungai Tigris dan sungai-sungai lainnya membeku. Irigasi kecil pun ikut membeku. Belum lagi, hujan tidak kunjung datang. Kebutuhan dan ketersediaan air semakin timpang. Mengingat hasil panen tidaklah terhitung baik pra insiden tersebut, stok pangan kala itu turut menipis.  Alhasil, jamaah haji dari Iraq dan Asia Tengah kembali tidak dapat berangkat haji. Hal ini disampaikan oleh Ibnu al-Atsir dalam al-Kāmil fi al- Tārīkh.

Berbanding balik, air yang berlebihan juga nampaknya bisa menunda ibadah haji. Pada tahun 337 H, Iraq mengalami banjir bandang. Sebagaimana tutur Ibnu Taghribirdi dalam master piece-nya, “Kala itu terjadi banjir bandang di Iraq. Tinggi sungai Tigris bertambah hingga 20 dzira’. Alhasil, banyak penduduk yang megungsi, atau bahkan mati. Pun, tidak ada seorang pun yang berhaji.”

Kelima, Haji Tertunda Karena Konflik Internal antar Masyarakat

Sejarah mencatat, konflik internal dan horizontal antar masyarakat menjadi salah satu faktor tertundanya haji secara partikular. Hal ini dialami oleh penduduk Iraq pada tahun 392 H. Insiden ini terjadi antara Umat Islam dan Umat Kristiani di sana. Perjanjian damai antar keduanya dirusak. Orang fasik dan keji muncul lantas merebak. Konflik semakin memanas, korban jiwa pun berjatuhan. Dengan huru-hara yang terjadi, penduduk Iraq belum bisa melaksanakan haji tahun itu. Hal ini tercatat jelas dalam kitab al-Dzahabi, Tārīkh al-Islam.

Keenam, Haji Tertunda Karena Penjarahan Hajar Aswad

Pada tahun 317 H, tepatnya tanggal 8 Zulhijah, Abu Thahir, pemimpin Syi’ah Qaramithah beserta para pengikutnya menjarah Ka’bah. Klaimnya, “Bersiaplah kalian menghadapi orang-orang kafir, para penyembah batu (Hajar Aswad)! Lepaskanlah batu itu dari rumah suci-Nya,” sambil tak segan mengayunkan pedang. Lantas mereka lepaskan Hajar Aswad dari Ka’bah dan menahannya. Dengan demikian, penduduk Iraq tidak melaksanakan haji beberapa tahun. Sebab, memaksa berangkat haji seolah menunggu ajal menjemput mati. Sebagaimana Ibnu Jauzi Kabarkan dalam Mir’ātu al-Zamān fi Tawārikh al-A’yān, “Jelas bahwa tidak ada seorang pun yang berhaji pada tahun 317-326 H sebab takut akan marabahaya  aksi Qaramithah.”

Polemik ini akhirnya bisa terelesaikan di tangan Abu Ali. Ia menengahi pihak Khalifah al-Muthi’ Lillah dan Abu Thahir al-Qarmathi. Hajar Aswad kembali dengan imbalan harta yang Qaramithah terima dalam jumlah besar.

Ketujuh, Haji Tertunda Karena Merebaknya Wabah

Dewasa ini, teknologi berhasil meredam beberapa faktor tertundanya haji. Namun, siapa kira kalau hari ini teknologi transportasi yang kian canggih menjadi faktor utama menyebarnya Covid-19 sehingga menjadi pandemi. Wabah serupa nampaknya juga pernah menjadi sebab ditiadakannya haji. Entah itu wabah pandemi, epidemi, maupun endemi, faktor ketujuh ini menjadi mayoritas faktor tertundanya haji. Seperti ungkap Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa al-Nihāyah, pada tahun 357 H terjadi wabah al-Masyiri di Makkah. Sebagian besar jamaah haji wafat di tengah perjalanan. Pun, mayoritas jamaah yang berhasil tiba wafat usai menunaikan ibadah haji.

Begitupula wabah lainya. Seperti wabah Thaun pada tahun 1229 H di mana mengantarkan 8000 orang wafat. Kemudian Wabah Hindi pada 1246 H, di kala tiga perempat jamaah wafat. Juga wabah kolera tahun 1262 H, 1266 H, 1269 H, dan terulang di tahun 1309 H.  Tidak lama setelahnya, pada tahun 1279 H Madinah tertimpa wabah. Sebanyak 1000 pendatang tanah haram kala itu meninggal setiap harinya. Terakhir, wabah tifus pada tahun 1312 H,  meningitis pada tahun 1407 H d an Covid-19 pada tahun 1441 H.

Demikianlah ketujuh faktor tertundanya pelaksanaan haji sepanjang sejarah. Semoga wabah Covid-19 segera berakhir. Sehingga ibadah haji dapat tertunaikan dengan normal kembali, serta kita turut mendapat panggilan ke tanah-Nya yang suci.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Idul Fitri ‘Di Rumah Aja’ Versi Darul Ifta”

Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa

Penulis adalah Pimpinan Umum Majalah Manggala 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *