Datang tak diundang, pulang entah kapan. Covid-19 yang menjajaki bumi sejak akhir tahun lalu masih saja asyik bertamasya mencari inangnya. Seisi dunia dengan berbagai sektornya dibuat bingung lagi kalang kabut. Mencari cara terbaik guna mengusir atau setidaknya “berdamai” dengan wabah satu ini. Namun, tahukah kita? Ibnu Sina, the Father of Modern Medicine in the Middle Ages telah merumuskan lima cara hadapi wabah sejak seribu tahun silam.
Konsep Ibnu Sina terhadap Wabah
Terlahir di Bukhara membuat polymath muslim ini “peka” terhadap rantai sejarah wabah yang menimpa dunia. Khususnya umat Islam yang berada di dekat kampung halamannya. Hitam kelam tinta sejarah mencatat, gelombang wabah Tha’un tidak sebatas satu-dua kali mewarnai dinamika manusia kala itu. Setidaknya, satu abad sebelum kelahiranya, terdapat wabah yang menjangkiti wilayah Irak di tahun 836 M dan 863 M. Pun, di masa hidupnya, Irak kembali terkena wabah pada tahun 1015 M. Begitupula halnya India dan Asia pada tahun 1032 M.
Tidak cukup berbuah “peka”, bermodal kejeniusannya, Ibnu Sina alias Avicenna melahirkan diagnosa yang akurat mengenai wabah ini. Dalam master piece-nya, “Qanun al-Thib”, Ibnu Sina menjelaskan soal paparan wabah, “Sekresi tubuh organisme inang (misalnya, manusia) terkontaminasi oleh organisme asing (mikroorganisme) yang tercemar yang tidak terlihat dengan mata telanjang sebelum infeksi.”
Artinya, sejak seribu tahun silam, Ibnu Sina sudah menemukan konsep mikroorganisme kasat mata sebelum ditemukannya alat bantu teleskop. Juga, The Prince of Medicine ini berhasil mengemukakan bahwa mikroogranime yang mencemari inang dapat menular.
Tahu asam garamnya, Ibnu Sina rumuskan lima cara hadapi wabah. Kelima cara ini terekam dalam tinta emas sejarah pertemuan dua ilmuwan Muslim ternama di abad pertengahan. Merekalah Ibnu Sina dan Al-Biruni.
Lima Cara Hadapi Wabah
Kala itu, Ibnu Sina beserta para muridnya berkesempatan menemui Al-Biruni. Betapa hangat Al-Biruni menyambut kafilah tersebut. Namun, di tengah sambutannya, Ibnu Sina memohon kepadanya untuk memberi mereka pakaian ganti, serta air cuka untuk membasuh lengan dan wajahnya. Baru pertama kali mendapati permintaan tersebut, sang tuan rumah pun bertanya-tanya, “Adat bangsa manakah gerangan?”
“Tradisi ini harus berlaku di negara-negara tempat wabah bersembunyi.” Jawab Ibnu Sina, mengingat kampung halamannya berbatasan dengan Irak yang belum lama ini tertimpa musibah wabah. Kemudian dilanjutnya dengan penjelasan lima cara menghadapi wabah, yakni:
Pertama, Jangan takut berlebihan. Jelas, mikroba si sumber wabah ini tidak takut apalagi menjauh dari si penakut. Penduduk yang terjangkit wabah diharap tenang.
Kedua, Physical distancing atau jaga jarak. Sebab wabah ini disebabkan oleh partikel yang menyebar melalui gesekan dan sentuhan antarmanusia. Partikel ini tidak terlihat oleh mata telanjang; menembus udara, rambut, pakaian.
Ketiga, Karantina bagi orang yang terjangkit wabah, serta menjauhinya. Menariknya, isitilah karantina ini berasal dari bahasa Italia yakni quarantine (40 hari), yang terinspirasi dari konsep Arba’in (40 hari) yang diprakarsai Ibnu Sina. Seiring berjalannya waktu serta berkembangnya teknologi, karantina cukup dilakukan selama dua minggu saja.
Keempat, Menutup Pasar, juga membasuh setiap uang dengan air cuka.
Kelima, Menutup tempat peribadahan untuk sementara waktu. Kedua hal ini, yakni menutup pasar dan tempat ibadah dilakukan agar masing-masing individu berdiam diri di rumah, alias di rumah saja.
Demikian kelima cara hadapi wabah versi Ibnu Sina. Sehari selembar benar, setahun selembar kain. Kesabaran dan kegigihan Ibnu Sina dalam mendalami ilmu kedokteran membuahkan hasil yang nyata. Di mana
manisnya masih bisa kita rasakan meski 1.000 tahun masa memisahkan.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Pandemi Covid-19, Rancangan ‘Sekelompok Orang’?”
Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa
*Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Manggala periode 2019-2020