Awal Kiprah Habib Revolusioner: Sayyid Jamaluddin al- Afghani al-Husaini

Dok. Manggala
Dok. Manggala

Sumpah serapah dan segala bentuk umpatan tengah menghujani kalangan habaib di Indonesia beberapa waktu belakangan, dalam intensitas yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Rakyat Indonesia, yang terkenal penurut dan terbiasa tunduk-menunduk itu, tiba-tiba punya keberanian menyumpahi orang-orang yang dianggap keturunan nabi dan suci itu.

Yang demikian dapat terjadi karena banyak faktor. Salah satunya disebabkan kepongahan dan kelalaian mereka sendiri; demikian terlena pada selaput sosial yang telah diciptakan para pendahulunya—yang pada realitas dunia modern ini semakin tidak menemukan tempat dalam pergaulan masyarakat.

Dewasa ini, masyarakat sudah paham kaidah ekonomi take and give: bilamana Anda diberi keistimewaan oleh masyarakat, maka sudah seharusnya Anda mengganti pemberian itu dengan kontribusi kepada masyarakat yang memberikan. Alih-alih memberi kontribusi, para habaib ini justru menjejali narasi keagamaan dengan kepongahan dan kesombongan nasab. Entah apa yang ada di pikiran mereka; masih saja memelihara feodalisme yang pada dasarnya menjadi musuh utama kakek mereka sendiri, Muhammad saw.

Di tengah maraknya oknum—kalaulah masih boleh disebut oknum—habib yang ugal-ugalan ini, menilik kembali kiprah tokoh-tokoh habib yang memberikan sumbangsih dahsyat terhadap kemanusiaan dan kemajuan peradaban global menjadi semakin relevan. Satu di antara habib revolusioner nan progresif itu adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani Al-Husaini.

Kenapa Al-Afghani istimewa?

Kalau hanya mempunyai ide pembaruan, maka ada banyak tokoh pembaharu dalam dunia Islam waktu itu. Bila hanya mengandalkan nasab mulia, maka yang memiliki garis keturunan nabi bukan hanya dia. Lalu, bagaimana Al-Afghani bisa seistimewa itu?

Hari telah berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun, sedangkan nama Al-Afghani tak juga lekang oleh waktu. Jasanya kekal dalam benak dan buku-buku. Bilamana Anda hendak menyebut pembaharu dan reformis Islam abad modern ini, namanya pasti berada di barisan paling atas—dia pelopornya.

Kata sejarawan Mesir, Abdurahman Ar-Rafi’i, tentang Al-Afghani, “Ia sudah terjaga saat yang lain tidur, ia sudah sadar saat yang lain masih lelap.” Seruannya untuk bersatu melawan kolonialisme Barat telah menyadarkan manusia non-kulit putih di belahan Timur bumi ini. Ide-idenya menembus ruang dan waktu. Bahu-bahu kaum pergerakan di banyak negeri kembali tegak setelah menyimak kalam-kalamnya. Dialah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, sang habib reformis nan revolusioner.

Yang membuat Al-Afghani istimewa adalah kiprahnya yang telah melampaui batas-batas dimensional. Dalam satu waktu, ia adalah guru agama yang dihormati, filsuf ternama, sekaligus seorang politikus ulung.

Di bidang keagamaan, misalnya, ide-ide pemurnian Islam yang ia bawa menjadi game changer bagi wacana keislaman pada zamannya—seperti yang juga dilakukan Martin Luther terhadap Kristen di Jerman. Di bidang pemikiran, upayanya merobohkan pakem-pakem ilusif dalam struktur sosial masyarakat Muslim waktu itu sangat berpengaruh, seperti yang juga pernah dilakukan Rousseau di Prancis. Di kancah politik, risalah kemerdekaan yang ia bawa mirip dengan seruan kebangsaan George Washington di Amerika Serikat. Dapatlah Anda bayangkan sosok habib satu ini.

Afghani Muda

Untuk menelusuri muasal kemampuan Al-Afghani menjalani hidupnya yang spektakuler itu, penelaahan atas periode awal hidupnya menjadi penting. Sebab yang demikian dapat memberi gambaran yang jujur dalam melihat Al-Afghani sebagai manusia biasa yang juga terikat pada faktor sosial-politik dimana ia tumbuh dan berkembang.

Al-Afghani lahir di Asadabad, satu distrik kecil di kota Kabul, Afghanistan. Praktis secara geografis tempatnya lahir jauh dari pusat dunia Islam seperti Istanbul, Kairo atau Hijaz. Kendati demikian, dia lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya sendiri adalah Sayyid Shafdar, seorang pemimpin politik terkemuka. Status sosial keluarganya ini tak bisa dilepaskan dari gelar Sayyid yang melekat pada mereka, yang diyakini mempunyai ketersambungan nasab kepada baginda nabi saw.

Saat usianya delapan tahun, terjadi kemelut politik di Afghanistan. Pangeran Dus Ahmad Khan mengambil alih kekuasaan lalu menyingkirkan keluarga Al-Afghani dari pucuk kepemimpinan Asadabad.  Al-Afghani kemudian diboyong ayahnya ke kota Kabul. Di kota yang lebih besar, sebagaimana anak bangsawan umumnya, ia bisa mengakses guru dan sekolah terbaik.

Di Kabul inilah fondasi ilmu keislamannya dibentuk dan matang. Sampai usia 18 tahun, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke India. Di sana Al-Afghani berkenalan dengan ilmu eksakta, filsafat, bahasa Inggris, Perancis, Persia dan ilmu-ilmu modern lain. Waktu itu Britania sudah bercokol di anak benua India, pendidikan ala Eropa disediakan untuk anak-anak priayi. Berkat kecerdasannya Al-Afghani mampu menguasai ilmu Eropa yang diberikan. Pada titik inilah ia menyadari satu kejanggalan; ada ketimpangan yang demikian jauh antara kondisi umat muslim dengan kaum pendatang dari Barat.

Masuk usia 22 tahun, Al-Afghani muda memutuskan untuk safar ke Hijaz, menuju Mekkah untuk berhaji. Namun selain untuk menunaikan rukun Islam kelima, tujuan lain Afghani hendak menambah pengetahuannya seputar kondisi entitas-entitas muslim di tempat yang akan dilewati.

Awal Kiprah

Sepak terjang Sayyid Jamaluddin Al-Afghani sebagai tokoh terkemuka sejatinya baru dimulai sesaat setelah ia pulang dari ibadah haji. Negeri Afghan yang berada dekat dengan otoritas Britania di India mengalami konflik internal yang tak berkesudahan. Sepulang berhaji, dengan segala wibawa dan nama besar yang dimiliki, ia pun naik ke gelanggang politik dan segera menjadi orang dekat penguasa Afghan, Pangeran Dus Muhammad Khan.

Misi pertama yang ia ikuti adalah bergabung dalam kampanye militer Sang Pangeran menguasai wilayah Herat. Dalam misi ini Pangeran Dus Muhammad Khan tewas, namun misi menguasai kota Herat berhasil dicapai. Sepeninggal pangeran Muhammad Khan, konflik internal segera terjadi di antara anak-anaknya. Putra mahkota Syir Ali Khan didapuk jadi penguasa, namun ia tidak mendapat dukungan politik yang mapan dari rakyat banyak.

Al-Afghani melihat pada sosok Pangeran Muhammad Al-A’zham kemaslahatan dan kebaikan untuk negeri, ia pun bergabung dengan blok Al-A’zham. Berbekal dukungan tokoh masyarakat dan pemuka agama, Al-A’zham berhasil menggulingkan saudaranya, Syir Ali Khan.

Tak terima, Syir Ali Khan mengajak Britania—yang sudah tak sabar ingin mengacakngacak Afghan—untuk ikut campur. Kekuatan militer kolonial merangsek maju membantu Syir Ali, perang saudara tak bisa dihindari lagi, berkat bantuan asing, Syir Ali Khan berhasil mengambil alih kekuasaan Afghan.

Kemelut politik internal yang didesain imperialis Britania ini melekat kuat dalam memori Al-Afghani. Terpatri dalam jiwanya ketidakberdayaan bangsa Afghan dan umat muslim secara umum di hadapan tipu muslihat bangsa Eropa. Pengalaman tempur yang ia dapat di awal periode hidupnya ini juga punya pengaruh signifikan dalam menanamkan sifat berani, pantang menyerah dan pandai berstrategi dalam kepribadian Al-Afghani.

Setelah gonjang-ganjing politik di Afghan itu, Tahun 1869, saat usianya 34 tahun Al-

Afghani memutuskan meninggalkan negeri Afghan menuju Hijaz untuk berhaji lagi. Sebelum itu ia singgah di India. Kemasyhuran ilmu dan sepak terjang Al-Afghani lebih dulu tiba di India dibanding dirinya sendiri. Segera para ulama dan cendekiawan berdatangan untuk mendengarkan ceramahnya.

Tentu saja, Pemerintah Kolonial Britania tak suka dengan ceramah Al-Afghani yang menyeru umat muslim untuk bangkit dan melawan penjajah itu. Al-Afghani kemudian dilarang menghadiri perkumpulan. Tak lama, perintah untuk mengeluarkan Al-Afghani dari India pun diterbitkan.

Melihat kondisi India yang sangat terbelakang dalam bidang pengetahuan, sedang eksploitasi sumber daya terus saja dilakukan Inggris, Al-Afghani makin mafhum bahwa langkah pertama untuk mengobati penyakit umat adalah mendepak kekuatan kolonial dari tanah air, artinya punya kemerdekaan yang sebenar-benarnya. Mesir lalu menjadi tujuan Al-Afghani selanjutnya, pusat peradaban Islam terkemuka yang ilmu pengetahuan masih menggeliat di sana.

Ke Mesir

Tahun 1870 Sayyid Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir via pelabuhan Suez. Kematangan pribadinya menemukan momentum saat tiba di pusat kekuatan politik muslim. Praktis setelah  Istanbul, Kairo merupakan episentrum dunia Islam masa itu. Bahkan sejak awal abad 19, imperium Ottoman yang dipimpin anak keturunan Osman Ghazi itu telah kehilangan sebagian besar dominasi sosial, politik dan militernya. Terlebih saat Muhammad Ali Pasha berhasil mendirikan dinasti di Mesir.

Bagi Al-Afghani, Mesir merupakan laboratorium besar untuk meramu ide dan gagasannya. Sampai hari itu, gagasan utama Al-Afghani adalah persatuan umat melawan penguasa muslim yang zalim sekaligus mendepak kolonialisme barat dari negeri-negeri Islam. Selain faktor politiknya yang signifikan, Mesir—dengan Al-Azharnya—dianggap sebagai benteng ideologis umat yang bisa diharapkan menjadi inkubator tokoh perlawanan rakyat di masa depan.

Total empat puluh hari lamanya Al-Afghani berada di Kairo. Tak hanya diam mengamati, Al-Afghani juga melakukan interaksi langsung dengan tokoh cendekia Al-Azhar. Bahkan ia sempat membuka pengajian kitab nahwu di rumah sewanya di bilangan Khan Khalili. Buku yang dikaji adalah kitab Al-Izhar, buku ilmu gramatikal bahasa Arab. Ide-ide kebaruan dan revivalik juga disebarkannya. Tak hanya itu, di surat kabar, ia turut aktif meramaikan wacana publik dengan tulisan-tulisan yang “membakar”; menyeru pada pembaruan wacana keagamaan yang saat itu dianggap kaku dan tak sesuai dengan alam modern.

Saat tiba di Kairo, usianya baru 35 tahun. Niat hati ingin menjauh dari pengaruh kolonialis Britania di India, yang ia temukan di Mesir justru sama saja. Abad 19 memang jadi era terkuat gerakan kolonialisme. Pengaruh bangsa Barat mencengkeram tiap sudut negeri muslim, tak terkecuali Mesir.

Persis setahun sebelum Al-Afghani tiba, 17 November 1969, Mesir baru saja meresmikan proyek maha akbar yang mengubah peta ekonomi global, proyek Terusan Suez. Dalam upaya mewujudkan mega proyek ambisius ini pemerintah Mesir memilih mendanainya dengan hutang luar negeri, yang pada gilirannya tidak hanya mesti dibayar dengan uang, namun juga dengan kedaulatan negara.

Penutup

Perang saudara di Afghan, kegagalan revolusi muslim-India melawan Britania dan tergadainya kedaulatan Mesir ke tangan asing, semua itu menjadi episode kehidupan yang nyata telah membentuk pribadi Al-Afghani beserta arah politik dan ideologinya.

Tak heran, kelak kita mengenalnya sebagai tokoh pelopor pan-islamisme. Sebuah ide revolusioner yang menyeru umat muslim menyadari ketertinggalan dan perpecahan politik yang mereka alami beberapa abad terakhir. Tak heran pula, bila kita membaca kisah perjuangan Afghani, ia harus terusir dari negeri sendiri sebab memperjuangkan ide kemerdekaan; bukan hanya merdeka dari penjajah asing, namun juga dari kezaliman para sultan yang despotik itu.

Di kemudian hari, gagasan-gagasannya mengilhami pribadi-pribadi hebat di berbagai negeri. Murid-murid beserta orang-orang yang terinspirasi dari ide-idenya menjadi pahlawan kemerdekaan di tanah air masing-masing. Di Mesir, bersama Muhammad Abduh, ia menjadi arsitek gerakan nasionalisme Mesir yang melahirkan pejuang-pejuang besar seperti Mustafa Kamil dan Saad Zaghloul.

Jauh di ujung Asia Tenggara, tulisan-tulisan revolusioner  Al-Afghani di majalah Al-Urwatul Wutsqa dibaca secara luas oleh tokoh-tokoh pergerakan. Cokroaminoto, Soekarno dan Ahmad Dahlan turut membaca buah pena Al-Afghani sebagai bahan meracik gagasan nasionalisme negara baru yang kelak bernama Indonesia itu.

Sungguh Al-Afghani menginsafi benar risalah kenabian kakeknya yang mengajak manusia untuk berpikir dan merdeka. Jauh sekali dengan praktik keagamaan yang dipertontonkan habib-habib pandir hari-hari ini.

Tabik.

oleh: Rifaldhoh

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar fakultas Sejarah dan Peradaban

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *