Tokoh  

Berpikir Kritis ala Ibnu al-Haitham

Berpikir Kritis ala Ibnu al-Haitham

Metode ilmiah dan berpikir kritis adalah anugerah bagi umat manusia yang terus berkembang dari masa ke masa. Perkara ini tidak saja muncul tiba-tiba dalam lingkup keilmuan Barat. Berbagai tudingan mengenai pola belajar umat Islam yang cenderung memorizing centris tanpa critical thingking pun tidak sepenuhnya benar.

Jika kita tarik rantai perkembangan metode ilmiah sampai pada masa Ibnu al-Haitham di abad ke-8. Cendekiawan muslim yang bisa dilabeli sebagai seorang polymath. Ia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan metode ilmiah dan berpikir kritis. Bagaimana Ibnu-al-Haitham melakukan metode berpikir kritis hingga menghasilkan kurang lebih 200 karya sepanjang hidupnya?

Dalam menjawab pertanyaan itu perlu kiranya melihat bagaimana proses Ibnu al-Haitham dalam menelurkan magna opus (karya besar)nya. Lahir di abad ke-8 membuat al-Haitham melihat bagaimana perpecahan Sunni dan Syiah dalam umat Islam. Dari konflik itu al-Haitham menyimpulkan bahwa kalau kita ingin mencari kebenaran kita tidak dapat mengandalkan opini, karena opini manusia itu sangat lemah dan subjektif. Maka ia memikirkan suatu metode untuk mencari kebenaran yang sedapat mungkin terbebas dari opini subjektif manusia. Semangat untuk mencari kebenaran ini diyakini oleh Al-Haitham sebagai bentuk usahanya untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Benar, Al-Haq, yaitu Allah.

Aplikasi Metode Berpikir Ktiris Bidang Optika

Untuk melihat bagaimana aplikasi metode ilmiah dan pola berpikir kritis Ibnu Haitham, kita akan menelusuri bidang optika. Bidang yang menghantarkan al-Haitham sebagai pemikir besar. Karya bidang optika yang merupakan magna opus-nya ini lahir ketika ia dikurung oleh al-Hakim di sebuah kamar sempit di kota Kairo.

Pada masa itu setidaknya ada dua teori megenai cahaya dan penglihatan yang saling bertentangan, yaitu teori Aristoteles serta teori Ptolemy dan Euclid. Menurut Aristoteles, kita dapat melihat suatu benda karena esensi materi dari benda tersebut merasuk ke dalam mata kita.  Dengan masuknya esensi materi dari benda tersebut, maka mata kita dapat melihat benda tersebut.

Teori kedua, yang dikemukakan oleh Ptolemy dan Euclid, mengatakan bahwa penglihatan terjadi karena mata kita memancarkan cahaya sehingga menerangi benda yang kita lihat.  Kita hanya melihat benda yang berada di depan mata kita. Artinya cahaya dari mata kita berjalan lurus ke depan menyinari benda di depan mata kita sehingga kita dapat melihatnya.

Pada teori Aristoteles, al-Haitham berpikir bahwa teori Aristoteles ini tidak dapat dibuktikan dan tidak dapat diukur. Sebagai seorang ahli matematika, ia tidak akan menerima hal tersebut begitu saja. Sementara teori kedua terlihat lebih relevan karena disokong juga oleh penjelasan geometri, berupa perjalanan cahaya dalam garis lurus.

Namun al-Haitham merasa belum puas dengan teori ini. Berbagai pertanyaan terlintas dalam benaknya. Jika memang mata kita memancarkan cahaya, mengapa kita tidak dapat melihat matahari secara langsung atau silau terhadap sesuatu yang terang? Lalu bagaimana teori ini dapat menjelaskan penglihatan kita terhadap bulan yang sedemikian jauh? Apakah cahaya yang keluar dari mata kita dapat menjangkau bulan? Jika iya, mengapa pada malam hari ketika kita melihat bulan, sekitar kita tetap tampak gelap tak terlihat?

Produk Berpikir Kritis Bidang Optika

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari pemahaman kritis terhadap dua teori di atas mendorongnya untuk melakukan berbagai percobaan dengan cahaya. Dari hasil eksperimennya ia menciptakan camera obscura,  sebuah prototype dari mata kita. Dengan media ini al-Haitham merumuskan teori cahaya yang menjadi dasar bagi ilmu fisika optik sampai dewasa ini.

Teorinya menjelaskan bahwa cahaya berjalan lurus dan memantul setiap kali mengenai benda. Dengan arah pantulan yang memiliki sudut tertentu sesuai dengan kemiringan permukaan benda yang memantulkannya.  Pada saat kita melihat suatu benda, yang terjadi adalah pantulan cahaya dari benda tersebut masuk ke dalam mata kita melalui lubang kecil ditengah pupil mata kita.

Dalam teori itu juga ia menjelaskan bahwa ada benda yang memancarkan cahaya seperti matahari dan api dan ada yang memantulkan saja. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa cahaya mengalami refraksi ketika melewati benda dengan kerapatan berbeda seperti air teori ini sekarang kita kenal sebagai hukum Snell.

Dalam bukunya “Kitab al-Manazir” atau dikenal sebagai Book of Optics yang merupakan magna opus-nya, Al-Haitham menuliskan sebuah pesan yang sangat penting bagi prinsip dan hakekat “ilmiah” sampai dengan saat ini. Pesan tersebut kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Jangan Anda percaya pada kesimpulan saya mengenai teori cahaya ini. Silahkan Anda buktikan sendiri dengan melakukan eksperimen seperti yang sudah saya jelaskan secara detil di dalam buku ini.”

Dari ulasan proses Ibnu al-Haitham dalam menelurkan magna opus-nya. Kita dapat melihat bahwa runtutan sistematika dari mulai observasi masalah sampai pengambilan kesimpulan dapat dijelaskan secara ilmiah dan objektif bukan hanya asumsi semata. Bahkan dalam satu bab khusus dalam kitab al-Manazir ia menjelaskan metedologi yang digunakan.

Tentu kita tidak heran banyak ilmuwan di era selanjutnya yang terpengaruh oleh karyanya. Sebut saja Issac Newton, Sneel dan Hubble yang mengenalnya sebagai Alhazen.

Baca Juga Artikel Lainnya: “H.M Rasjidi dan Polemiknya dengan Sekulerisme”

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim

Penulis adalah editor Majalah Manggala periode 2019-2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *