Tokoh  

H.M Rasjidi dan Polemiknya dengan Sekularisme

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim*

Abad ke 20 merupakan zaman dimana Islam dan pemikiran Barat kerapkali bersentuhan, dan kadang menimbulkan banyak persoalan. Kaum modernisme atau pembaru Islam amat menyadari akan hal ini. Maka perlu ada batas jelas antara Islam dan modernism, karena tidak mutlak makna modernism itu adalah sekulerisme. Dalam sejarah pergulatan pemikiran sekuler di Indonesia mengenal satu nama yang amat ketat menjaga batas tersebut: H.M. Rasjidi. Ia pengkritik gagasan-gagasan sekuler di kalangan umat.

Ia lahir dengan nama Saridi di Kotagede, Yogyakarta pada hari Kamis Pahing 20 Mei 1915. Sebenarnya ia lahir dari keluarga Islam Abangan yang masih tercampur kepercayaanya dengan klenik-klenik jawa. Bahkan Ayahnya, Atmosudigdo, juga melanggan majalah Swara Oeomoem dan Kajawen.

Walaupun begitu Kweekschool Muhammadiyah menjadi almamater pertamanya. Itu pun di karenakan minimnya sekolah untuk rakyat  pribumi masa itu. Akhirnya ia pun bersentuhan dengan pemikiran dan gagasan dari moderenis Islam di sekolah. Di mana ia belajar ilmu umum sekaligus ilmu agama. ada usia 14 Saridi pindah sekolah ke Lawang, Jawa Timur. Ia masuk Sekolah al-Irsyad, sekolah milik organisasi modern lainnya, dan belajar langsung pada Syekh Ahmad Surkati, tokoh terpenting al-Irsyad. Gurunya ini yang memberi nama baru Rasjidi.

Di Lawang kecerdasaannya terlihat di usia belia, matan nahwu alfiyah milik Ibnu Malik dan mattan mantiq sullam munawaraq bias ia kuasai dengan baik. Selepas dari Lawang, petualangan intelektualnya berlanjut ke Kairo, Mesir. Ia bersekolah di Darul Ulum dan kemudian masuk jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo. Ia menyempatkan pula untuk naik haji dan melengkapkan namanya menjadi Haji Muhammad Rasjidi.

Pada 1938 ia pulang ke tanah air dan terlibat dalam pergolakan kemerdekaan. Di kampungnya, ia kemudian menikah dengan Siti Sa’adah. H.M. Rasjidi ialah orang yang menerjemahkan naskah proklamasi ke dalam bahasa Arab dan kemudian membacakannya dalam siaran radio internasional. Baktinya kepada Republik kemudian ia tempuh dengan jalan lain. Pada 17 Maret 1947, bersama Haji Agus Salim, Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, dan Abdul Rachman Baswedan, Rasjidi berangkat ke Mesir. Rombongan ini menjadi tim diplomasi RI ke Timur Tengah. 

Polemiknya dengan Sekularisme

Dalam buku 70 Tahun Prof.Dr.H.M Rasjidi Bakat berpolemiknya mulai terasah ketika ia memenuhi panggilan dari McGill University, Montreal Kanada sebagai guru besar Hukum Islam. Tak tanggung-tanggung tokoh orientalis yang ia ajak berdebat adalah Prof. Joseph Franz Schacht, pakar hukum Islam dari Universitas Columbia, New York, saat Schacht menyampaikan ceramah di McGill mengenai hukum Islam. Professor keturunan Jerman tersebut menyatakan bahwa Nabi Muhammad hanya melakukan arbitrase selama di Madinah, bukan hukum sebagaimana dipahami dalam tradisi modern.

Pimpinan Institute of Islamic Studies McGill, Prof Wilferd Cantwell Smith sampai harus membuat siding khusus untuk mendengarkan sanggahan dari Rasjidi. Ia menyatakan bahwa Schacht salah memahami kita hakama. Bagi Rasjidi, Nabi Muhammad tak sekadar menjadi penengah dari persengketaan masyarakat tradisional tetapi benar-benar melaksanakan peradilan di dalam sebuah negara “modern”. Seorang Profesor kenamaan dari Jepang, Toshihiko Izutsu, kemudian membela pandangan Rasjidi ini.

Polemik selanjutnya dengan Nurcholish Majid atau akrab dipanggil Cak Nur. Seorang tokoh pembaru Islam yang fenomenal di paruh terakhir abad ke 20 di Indonesia. Nurcholish memulai polemik ini dengan makalahnya “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang ia sampaikan dalam diskusi HMI, PII, GPI, dan Persami pada 2 Januari 1970. Salah satu picu polemik ialah pemaparan istilah “sekularisasi” yang ia bedakan dengan “sekularisme”. Bagi Nurcholish, sekularisasi ialah sebuah keterbukaan terhadap berbagai aspirasi sejarah, sementara sekularisme merupakan ideologi tertutup. 

Rasjidi mengkritik habis gagasan tersebut. Ia melihat gagasan tersebut berpotensi melikuidasi peran Islam dalam bernegara. Setelah menguliti penggunaan istilah sekularisasi ala Nurcholish yang ia anggap terlalu arbiter, Menteri Agama pertama ini kemudian meneguhkan peran Islam dalam politik dan kehidupan umum kaum Muslim. Tidak ada pemisahan urusan akhirat dan urusan duniawi, begitu menurut Rasjidi yang kritik-kritiknya itu kemudian dibukukan dalam Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (1972). Meski pernah berdebat panjang, Nurcholish tetap melihat Rasjidi sebagai orang tua yang telah melakukan peran intelektualnya dengan penuh tanggung jawab.

Harun Nasution –Mahasiswa yang pernah menempuh studi di Mesir, bahkan ia menempuh studi di Amerika atas rekomendasinya– pun tak luput dari kritikan keras darinya. Rasjidi menyangsikan isi dari buku Harun “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” untuk digunakan sebagai bahan rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam dan Filsafat di IAIN se-Indonesia. H. M. Rasjidi yang merasa khawatir pun akhirnya mengirim laporan dan kritikan atas buku itu kepada Kementrian Agama RI, hanya saja tidak mendapat tanggapan sehingga dia menerbitkan buku ini secara umum.

Pada 30 Januari 2001 di usia 85 Haji Muhammad Rasjidi wafat di Jakarta. Ia disemayamkan di tanah lahirnya, Kotagede, Yogyakarta. Ia telah meninggalkan berbagai karya yang amat penting bagi pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia. Tapi warisannya yang terpenting ialah intelektualisme yang begitu bersahaja, berpolemik secara ilmiah dalam saluran-saluran resmi. Bukan polemik tak berujung yang melelahkan hari-hari.

*Penulis adalah editor Majalah Manggala periodeo 2019-2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *