Peristiwa Tiananmen 1989 dan China

Peristiwa Tiananmen 1989 dan China

Tepat 31 tahun silam, Lapangan Tiananmen menjadi saksi atas pembantaian ribuan demonstran oleh pihak militer Tiongkok. Namun monumen yang menjadi simbol besarnya Kekaisaran China sejak puluhan abad lalu itu pun tak bisa berbuat apa-apa atas peristiwa Tiananmen di tahun 1989 itu.

Aksi demonstrasi yang sudah berlangsung selama tujuh pekan itu pun akhirnya dibubarkan secara paksa oleh Pemerintah Tiongkok yang pada saat itu dipimpin oleh Deng Xiaoping dari Partai Komunis Tiongkok.

Pemerintahan dengan rezim komunis punya ciri otoriterisme dalam pola pemerintahannya. Begitupla dengan negeri Tirai Bambu. Peristiwa Tiananmen merupakan refleksi dari hal itu. Bagaimana itu bermula dana pa dampaknya bagi China?

Apa Penyebab Aksi Protes Itu Bermula ?

Pada 1980-an, China mengalami beberapa perubahan besar. Pemerintah China dibawah pimpinan Deng Xiaoping  dari Partai Komunis China, mulai memberi izin bagi beberapa perusahaan asing untuk berinvestasi di China.

Deng Xiaoping berharap dengan adanya kebijakan tersebut dapat membangkitkan perekonomian dan meningkatkan standar hidup masyarakatnya.Tetapi ternyata hal tersebut dicederai oleh adanya beberapa praktik korupsi yang terjadi di pemerintahan, sehingga masyarakat tiongkok pada masa itu menuntut adanya transparansi politik yang lebih besar dari pihak pemerintah.

Dikarenakan faktor tersebut, para petinggi Partai Komunis yang pada saat itu menduduki kursi pemerintahan terbelah menjadi dua kubu, antara mereka yang ingin lebih transparan kepada masyarakat dan yang ingin tetap mempertahankan kontrol negara yang ketat.

Maka, pada pertengahan 1980-an, aksi protes yang dipimpin mahasiswa pun mulai dilakukan.

Bagaimana Dampak Tragedi Ini Bagi Pemerintah Dan Masyarakat China ?

Pada tahun 2019 sebelum momen 30 tahun Peringatan Tiananmen, Pemerintah China memberikan pembelaan atas tragedi berdarah yang memakan banyak korban jiwa tersebut.

The Global Times, yang juga merupakan media corong Partai Komunis China, memuji tindakan Pemerintah China dalam “menangani” tragedi itu dalam ulasan bertajuk “4 Juni Mengimunisasi China Dari Kekacauan”. The Global Times menyebutkan bahwa tindakan Pemerintah China dalam tragedi tersebut merupakan vaksin yang dapat meningkatkan kekebalan China dalam kekacauan politik yang mungkin terjadi di masa depan.

Ulasan ini didasari oleh pernyataan Mentri Pertahanan China Wei Fenghe yang ditanya oleh sebuah wartawan mengenai tragedi tersebut saat sedang berpidato dalam Pertemuan Keamanan Regional atau Shangri-La Dialogue pada 2 Juni 2019.

Ia menyebutkan bahwa kontrol terhadap insiden di Tiananmen merupakan “titik balik”. Karena hal inilah yang membedakan China dengan negara-negara komunis lainnya seperti Yugoslavia maupun Uni Soviet yang mengalami keruntuhan sebelumnya. Ia juga melontarkan kritikan kepada para pembangkang, media serta politisi barat bahwa kritik mereka terhadap peristiwa itu tidak akan berdampak apa-apa bagi masyarakat China. Sehingga bisa kita simpulkan dari pernyataan Mentri Pertahanan China itu bahwa ternyata Aksi Demonstrasi yang terjadi pada tahun 1989 itu tidak mempengaruhi kedudukan Pemerintah China sedikitpun. Yang mana menjadikan peristiwa tersebut sebagai salah satu aksi demonstrasi gagal yang paling berdarah dalam sejarah dunia.

Lalu bagaimana dampak bagi masyarakat China itu sendiri ?

Dampak bagi masyarakat China tentu saja sebaliknya. Dengan “kemenangan” Pemerintah China pada peristiwa tersebut, maka hal ini menjadi mimpi buruk bagi mereka yang terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut.

Banyak dari alumni generasi Tiananmen yang ditangkap, dibunuh dan diasingkan ke negara lain. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang dibuang ke luar negri tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Bahkan akses komunikasi dengan keluarga mereka di China juga diputus. Sangat memprihatinkan melihat kondisi para aktivis yang dibuang dengan tidak adanya akses komunikasi terhadap keluarga mereka.

Tentu saja hal ini merupakan pelanggaran HAM yang menjadikan peristiwa ini menjadi isu global di PBB sampai saat ini. Akan tetapi, walaupun dengan banyaknya kecaman dan kritikan baik dari PBB ataupun negara-negara dunia lain mengenai isu ini, Pemerintah China tetap tidak goyah dengan sikap mereka terhadap peristiwa tiananmen tersebut. Bahkan menjelang peringatan Peristiwa Tiananmen setiap tahunnya selalu saja ada aktivis-aktivis yang ditangkap terkait tragedi ini dengan tuduhan provokasi dan segala macamnya.

Apa Dampak Peristiwa Ini Terhadap Ekonomi ?

Menurut Barry Naughton, seorang ahli ekonomi Amerika, sebagaimana yang ia tulis dalam jurnalnya yang disampaikan pada sebuah konferensi di Universitas California. Krisis Politik 1989 adalah katalis untuk pola keseluruhan transisi ekonomi Tiongkok. Baik dari segi politik dan ekonomi. krisis memberikan urgensi dan legitimasi di antara elite penguasa terhadap model kekuasaan yang terkonsentrasi seperti China, agar lebih efektif.

Hasilnya, tahap pemasaran berikutnya digabungkan dengan peran yang lebih kuat bagi pemerintah, sehingga Pemerintah China lebih mampu memobilisasi sumber daya untuk pembangunan ekonomi dan keamanan nasional.

Sebelum 1989, para pemimpin Cina bersedia untuk menundukkan kepentingan nasional lainnya untuk pencarian model reformasi ekonomi yang layak, sehingga ekonomi dan standar masyarakat menjadi lebih baik. Setelah Tiananmen, sementara reformis masih mengejar visi ekonomi yang berubah, visi itu terkait dengan, dan sering kali berada di bawah kekuasaan pemerintah yang diperkuat, stabil dan menurut Pemerintah lebih efektif. Mau tidak mau, kekuasaan pemerintah juga berarti Kekuasaan partai politik. Meskipun sifat Partai tersebut mungkin tidak dapat dikenali oleh orang yang akrab dengan Partai gaya Soviet di bawah ekonomi sosialis.

Fakta yang luar biasa adalah bahwa sebenarnya kebijakan ekonomi pada dua periode, sebelum tragedi Tiananmen 1989 dan sesudahnya, sama-sama mempunyai potensi untuk meningkatkan perekonomian China.

Selama periode pertama, Zhao Ziyang bermanuver melalui pengkhianatan lingkungan politik untuk melonggarkan ikatan ekonomi terencana dan membawa kekuatan pasar ( Marketization Force ). Meskipun dia gagal secara politik, dia berhasil secara ekonomi. Selama periode kedua, Pemerintah China telah bermanuver untuk memperkuat negara dan menopang kontrol politik sekaligus mendorong ekonomi menuju tingkat fungsi ekonomi yang lebih tinggi. Dalam hal ini, mereka juga berhasil. Memang, titik tertinggi dari model ini mungkin datang pada 2008-2009.

Saat ini segala topik mengenai Tiananmen 1989 adalah “hal tabu” bagi masyarakat China. Pemerintah China juga sudah memblokir secara teratur segala informasi yang merujuk kepada tragedi berdarah itu. Seperti halnya topik “IM” di Mesir, siapapun yang ketahuan mendiskusikan topik tersebut akan langsung ditangkap oleh pihak aparat China.

Tentu sejarah manusia akan mencatat peristiwa ini sebagai salah satu pelanggaran HAM terbesar. Tentu kita tidak mengharapkan hal-hal seperti ini akan terulang dimasa kita. Walaupun realitanya masih ada saja pemerintah-pemerintah dunia yang mengedepankan sikap otoriter terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakatnya.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Sila Kedua dalam Gerusan Teknologi”

Oleh : Dandi Azhary Nasution

Penulis adalah kru Manggala periode 2020/2021

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *