Seiring dengan majunya teknologi, nilai-nilai pancasila dapat dikatakan menurun bahkan luntur. Banyak masyarakat terutama para pelajar bermaksud memanfaatkan kemajuan zaman dan teknologi ini, tapi malah dominan meniru budaya Barat yang sangat bebas dan individualis. Karenanya, banyak sekali para pelajar di masa sekarang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri, tanpa menghiraukan orang lain. Dengan ini, luntur lah nilai Pancasila, yang dalam hal ini penulis titik beratkan pada sila kedua yang mengatur tatanan kehidupan sosial yang adil dan beradab.
Sila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” ini menekankan agar kita menjadi bangsa yang menjunjung tinggi harkat serta martabat setiap individu tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan budaya keturunan, meski pasalnya memiliki banyak perbedaan. Artinya, harus ada sikap toleransi, saling memahami, tenggang rasa, serta berani membela kebenaran dan keadilan yang dibangun dalam setiap individu.
Sayangnya, nilai sila ini hanya menjadi hafalan belaka, tanpa adanya pengamalan, terutama di kalangan pelajar. Kehidupan sehari-hari pun kini makin jauh dari pedoman Pancasila. Padahal, pelajar masa kini adalah aset bangsa untuk terus memajukan negara. Sungguh ironis.
Akulturasi: Buah Majunya Teknologi
Sejak ditemukannya versi web 2.0, media sosial mengalami perkembangan kemajuan yang sangat signifikan. Diawali dengan kemunculan friendster, kemudian BBM, teknologi internet terus melakukan transformasi komunikasi secara cepat. Berbagai platform baru media sosial bermuculan seperti google, fecebook, twitter, instagram dan lain-lain (Severin & Tankard, 2007:4445).
Teknologi informasi dan komunikasi sendiri adalah alat bantu yang digunakan untuk transfer data baik itu untuk memperoleh suatu data atau informasi kepada orang lain serta dapat digunakan untuk alat berkomunikasi baik satu arah ataupun dua arah. Teknologi ini sangat memudahkan seseorang dalam berkomunikasi, berteman, mendapatkan berbagai ilmu, dan informasi berbagai individu lainya yang bersifat pribadi dan bahkan tentang budaya-budaya bangsa lain, sehingga terjalinnya pergaulan antar bangsa. Pergaulan antar bangsa yang semakin kental ini, akan memicu terjadinya akulturasi, saling meniru, dan saling mempengaruhi budaya masing-masing.
Melihat ulasan tadi, tidak ada yang salah dari majunya teknologi. Namun, para pelajar yang notabenenya masih labil, secara mudah menerima bahkan menigkuti budaya baru dari luar, dalam hal ini budaya Barat. Lantas terjadilah akulturasi, Pancasila tidak lagi menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, dilansir dari kpai.go.id, diawal tahun 2020 telah terjadi bullying pada seorang pelajar yang mana jarinya harus diamputasi, hingga siswa yang ditendang sampai meninggal. KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Sedang untuk kasus bullying baik dalam lingkungan pendidikan atau sosial media mencapai angka 2.473 dan terus meningkat. Artiya, cukup banyak pelajar yang terjerat kasus kekerasaan, bullying. Balum lagi kasus pemerkosaan, bahkan hingga pembunuhun.
Lantas apa relevansinya degan teknologi? Fenomena ini terjadi sebab pelaku minim edukasi soal etika penyelesaian masalah. Di sisi lain, melalui canggihnya teknologi, mereka terbiasa menyaksikan kekerasan sebagai penyelesaian suatu masalah. Alhasil, tidak ada lagi sikap toleransi, saling memahami, tenggang rasa, serta berani membela kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang diajarkan sila kedua.
Tiga Faktor Lunturnya Sila Kedua
Ada tiga elemen lain yang ketika salah satu dari ketiganya lemah, lunturlah nilai-nilai Pancasila, khususnya di kalangan pelajar.
Pertama, kurangnya pendidikan agama sebagai pegangan hidup sekaligus pengontrol diri dalam bertindak. Agama akan mengarahkan seseorang pada jalan yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari dan juga bagaimana bertindak terhadap sesama. Sehingga akan terciptanya rasa saling menyayangi antar sesama dan saling menghormati. Hal ini eiring dengan bunyi sila kedua.
Kedua, kurangnya pendidikan Pancasila. Pancasila diajarkan sekadar teori, tanpa penekanan dalam aplikasi di kehidupan sehari-hari. Wajar bila akhirnya para pelajar menganggap tidak penting menerapkan nilai-nilai panacasila dalam bergaul, dan lebih memilih bergaya hidup bebas ala Barat.
Ketiga, kurangnya pembinaan dan penekanan, para pelajar yang usianya masih labil dan dalam masa pencarian jati diri membuat pentingnya pembinaan dan penekan yang diterapkan oleh lingkungan ia tinggal, seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga elemen ini berperan penting dalam mendidik para pelajar dalam menumbuhkan nilai-nilai Pancasila.
Dari permasalah-permasalahan di atas, jelas bahwa pendidikan menjadi faktor utama dalam memengaruhi kehidupan seorang pelajar. Di satu sisi, Pemerintah sendiri terus berupaya memahamkan nilai-nilai Pancasila terdadap seluruh masyarakat dan para pelajar khususnya. Seperti menetapkannya tanggal 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Peringatan ini dimulai sejak 29 Mei sampai Juni 2017, dengan tema “ Saya Indonesia, Saya Pancasila” yang dikampanyekan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Yakni dari berbagai media sosial seperi Facebook, Instagram, Twiter dan-lain lain. Peringatan tersebut diikuti hastag #PekanPancasila, #SayaPancasila, #PancasilaReborn, #KenalPancasila, #PancasilaPunyaKita, #PancasilaSatu, #Pancasila2017.
Senada dengan ini, sebagai aset bangsa di era 4.0, sudah seharusnya seorang pelajar mawas diri. Juga menghargai jasa para pahlawan yang telah mencetuskan Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan ini, seyogianya pula kita menjadikan hari Pancasila sebagai reminder dalam menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkadung dalam sila ke dua.” Sehingga dengan majunya teknologi tidak menjadikan kita lupa akan dari Pancasila sendiri.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Hari Kebangkitan Nasional: di Balik Pemilihan Budi Utomo”
Oleh: Endang kurniawan