Oleh: Fadhil Syukrillah
Penulis adalah Kru Warta Manggala 2022/2023
Ibadah haji merupakan rukun islam kelima dan juga ibadah yang istimewa bagi umat islam. Umat islam di seluruh penjuru dunia berbondong-bondong mengorbankan hartanya, waktunya, dan tenaganya untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Bahkan ada beberapa pendapat ulama yang mengatakan bahwa haji adalah ibadah yang paling utama dibandingkan dengan ibadah lainnya. Tak heran jika sejak dulu animo umat muslim untuk berhaji terbilang sangat besar, terutama di Nusantara.
Jika dilihat secara geografis, Makkah merupakan daerah yang tandus dan tak sekalipun dilirik oleh dua imperium besar kala itu; Romawi dan Persia. Meski begitu Makkah mempunyai mata air yang tak dimiliki daerah Hijaz lainnya, sehingga menjadikannya salah satu rute perdagangan internasional dan mulai menggerakkan roda perekonomian masyarakatnya. Maka, tak heran jika mayoritas masyarakat Makkah berprofesi sebagai seorang pedagang yang sering melanglang buana ke negeri yang jauh dari jazirah Arab.
Sejak masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 7 M (menurut teori Makkah) dan berdirinya Samudera Pasai di abad 13 M sebagai entitas politik Islam pertama di Nusantara, menuntut adanya seorang yang mampu mengajarkan Islam dan menguasai hukum Islam di masyarakat. Maka, mualailah pengutusan delegasi kerajaan untuk menimba ilmu ke Makkah sekaligus menjalin hubungan diplomasi dengan Ottoman sebagai penguasa Makkah kala itu.
Terbukti dengan banyaknya penggunaan gelar sultan oleh para raja dan keturunannya di beberapa kerajaan di wilayah Nusantara. Gelar sultan itu diberikan oleh penguasa Makkah kepada para raja Nusantara ketika mereka pergi haji ataupun mengirim utusan untuk haji. Begitu pula pengakuan yang baru-baru ini viral dari Syeikh Assim bahwa ia merupakan keturunan dari seorang Qadhi Kesultanan Deli di Medan, bermula ketika kakeknya mengirim ayahnya untuk belajar ke Makkah dan berakhir tinggal dan menetap di sana.
Selain delegasi kerajaan, haji juga biasanya ditunaikan oleh para saudagar kaya yang sudah terlebih dahulu dikenalkan kepada Islam oleh para pedangang Arab yang tiba di Nusantara. Biasanya mereka berhaji sekaligus membawa komoditas yang dibutuhkan di Jazirah Arab, seperti rempah-rempah, kapur barus, gaharu, kayu manis, dan lain sebagainya. Mungkin ini juga yang memengaruhi seorang jamaah haji asal Jawa Timur yang kedapatan membawa 2 koper berisi rokok pada momen keberangkatan haji tahun ini sebagaimana yang dilansir dari Tribbunnews. Haduuh, Pak! Ini sudah bukan lagi abad ke 14.
Hanya dua golongan itulah yang mampu melaksanakan haji, karena pergi haji di kala itu (pra-kolonial) membutuhkan kecakapan khusus, bekal yang banyak, dan kemampuan komunikasi yang baik, sebab harus melintasi berbagai teritori dengan penguasa yang berbeda dan belum adanya jaminan keamanan yang memadai bagi para jamaah haji.
Di era kolonial Belanda, pemerintahan Hindia Belanda sebagai wakilnya di Nusantara mencoba mengatur para calon jamaah haji dengan membuat peraturan yang sangat ketat dan mematok biaya yang di luar nalar. Selain itu, keberangkatan haji kala itu dibatasi hanya melalui tiga maskapai kapal milik Belanda, atau yang biasa disebut sebagai “Kongsi Tiga”. Tujuannya adalah mengurangi semangat kaum muslimin untuk dapat menunaikan haji. Karena sering sekali gerakan pemberontakan kepada Hindia Belanda dipelopori oleh mereka setelah pulang dari berhaji. Namun, upaya itu tak membuahkan hasil. Animo masyarakat untuk pergi haji tetap tak bisa dibendung, hingga yang terbanyak tercatat di tahun 1914 ada sekitar 28.000 jamaah haji yang berangkat melalui “Kongsi Tiga” milik Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda pun tak ingin menutup sepenuhnya pintu keberangkatan haji, karena keuntungan yang diperoleh dari biaya para calon jamaah haji ini cukup besar. Pemerintah Hindia Belanda mematok sebesar 110 gulden yang jika dikonversikan dengan kurs sekarang kira-kira sebesar Rp13.000.000 belum termasuk makan selama diperjalanan dan biaya perintilan lainnya yang harus dibayar di tengah perjalanan.
BACA JUGA: “Musim Panas Mendekat, Inilah 5 Fakta Musim Panas di Mesir!”
Meski begitu, perjalanan berhaji pun tidak serta merta menjadi mudah. Ada saja oknum travel haji yang nakal dan menipu calon jamaah haji. Maka tak heran ada istilah “Haji Singapura” bagi mereka yang berhaji hanya sampai Singapura karena ditelantarkan travel haji dan kehabisan bekal. Pun mereka yang mampu meneruskan perjalanan sampai ke Makkah juga dihantui banyak rintangan seperti perompak, masalah kesehatan, pemeriksaan dan lain sebagainya. Maka haji menjadi ibadah yang sangat prestisius di tengah masyarakat Nusantara kala itu. Bahkan ada anggapan di tengah masyarakat bahwa orang yang sudah pernah berhaji adalah muslim yang lebih alim atau baik (hoe verder van Mekka, hoe beter moslim).
Disebabkan banyaknya pemberontakan yang dipelopori mereka yang pulang dari berhaji, maka pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar “haji” dan pakaian khusus yang dapat dikenali masyarakat maupun pemerintah Hindia Belanda. Aturan ini dimasukkan ke dalam “Staatsblad” pada tahun 1903. Dan mulai diberlakukan di ordonansi haji 1916. Mewajibkan mereka yang pulang dari tanah suci untuk menyematkan gelar haji di awal nama mereka dan memakai gamis dan sorban.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, mereka yang disematkan gelar Haji malah menjadi panutan masyarakat yang dipatuhi dan disegani. Terlebih mereka para haji yang memiliki wawasan agama yang luas sekembalinya dari Makkah ditambah beberapa dari mereka adalah saudagar kaya yang menguasai ekonomi pasar dan berhati mulia menambah loyalitas dari masyarakat setempat.
Banyak sekali perlawan yang dipelopori kaum haji, salah satunya Perang Padri yang mulanya adalah perang saudara antara Kaum Padri dan Kaum Adat, dimulai dari tiga Haji sekembalinya mereka dari Makkah; Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin merubah pola hidup masyarakat adat menjadi lebih islami. Namun di kemudian hari malah bersatu melawan kolonial Hindia Belanda.
Dari kalangan bangsawan, sebut saja Haji Nawi seorang tuan tanah daerah Gandaria sampai Kemayoran yang hingga kini namanya masih digunakan untuk nama jalan dan stasiun MRT. Haji merupakan sosok yang dermawan dan bijaksana, maka tak heran ia sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat.
Begitu pula tokoh pendiri persyarikatan Islam seperti Haji Samanhudi, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari yang masing-masing mendirikin Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama yang juga merupakan para haji. Masyarakat merasakan manfaat dar pergerakan ini. Akibat politik etis yang dicetuskan pemerintah Hindia Belanda kurang merata, hal inilah yang dimanfaatkan para pencetus pergerakan dalam meraup simpatik masyarakat dan menjalankan perlawanan atas pemerintah Hindia Belanda.
Di akhir masa penajajahan, perlawanan terhadap penajajahan mulai beralih ke perjuangan intelektual dan hukum. Perjuangan menggunakan pendidikan merupakan cara terbaik untuk menyampaikan gagasan kepada masyarakat dan dampaknya dapat dieasakan sampai jauh. Politik etis yang dilakukan ratu Wilhelmina belum terlaksana secara menyeluruh karena terhambat banyak kepentingan. Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda akhirnya hanya mencetak tenaga kerja yang murah dan mudah dikendalikan oleh pemilknya.
Oleh karena itu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai pergerakan yang diinisiai oleh para haji menggelar lembaga pendidikan yang dilandasi moral demi menyeimbangkan pendidikan ala barat, karena pendidikan yang tak dilandasi dengan moral dan amal baik hanya akan menimbulkan kerusakan.
Tak hanya di bidang pendidikan dan ekonomi, bidang politik pun mulai diisi oleh para haji. Sebut saja tokoh seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim yang kala itu menjadi volksraad atau Dewan Rakyat yang didirikan tahun 1916 sebagai lembaga penasehat dan legislatif oleh pemerintah Hindia Belanda dan menjadi “Arena Tarung” tokoh bangsa dalam mengktritisi kebijakan pemerintah. Sampai dengan kedatangan Jepang dan melemahnya kekuatan Belanda di Asia Pasifik peran volksraad akhirnya melemah.
Berpindahnya kekuasan dari Hindia Belanda ke Jepang tak membuat kaum haji mengendorkan perjuangannya. Mulai dari penolakan beberapa masyarakat terhadap seikerei atau sikap hormat kepada matahari terbit karena dapat mencederai iman seorang muslim yang merupakan hasil dari pendidikan kaum haji kepada masyarakat. Sampai pada akhirnya Jepang menggandeng para haji untuk melaksanakan propaganda militer Jepang.
Pada bulan Mei 1942 pemerintah militer Jepang menghidupkan kembali Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bentukan KH. Mas Mansyur yang pernah dibekukan pemerintah Hindia Belanda. Meskipun kembali dibekukan setahun kemudian karena malah menjadi alat perjuangan tokoh bangsa, berbeda dengan tujuan yang dimaksud Jepang.
Kemudian Jepang kembali berusaha menyatukan berbagai pergerakan Islam dalam satu wadah. Dibentuklah Masyumi sebagai alat propaganda Jepang yang tujuannya adalah mengumpulkan sumber pangan dan tentara demi menyukseskan perang Asia-Pasifik Jepang. Namun usaha itu kembali gagal, karena Masyumi yang beranggotakan diantaranya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Mas Masyur, KH. Wahid Ma’ruf, KH. Mukti, KH. Wahid Hasyim, Buya Hamka, dan KH. Nachrowi malah menjadi tempat bertukar pendapat para tokoh masyarakat.
Sampai pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 kaum haji tetap memberikan sumbangsih yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan. Tercatat dalam perlawanan ulama dan santri dalam melawan agresi militer dan didukung dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu dari tokoh kaum haji.