Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim
Penulis adalah Penanggung Jawab Manggala 2021-2022
Beberapa waktu lalu ada seorang teman menceritakan keresahan dan permasalahan mengenai dirinya yang mana pernah saya rasakan juga, sih. Setelah itu, entah mengapa salah satu chat iseng saya ke teman lainnya dibalas panjang dan malah ia keluarkan salah satu keresahan terdalamnya. Kemudian dalam suatu tim, saya menugaskan kolega saya untuk mengonsep sekaligus memimpin sebuah projek, tapi ditengah penugasan itu ia mengundurkan diri karena suatu hal. Setelah digali, akhirnya dia memberikan alasan pengunduran dirinya, yang saya nilai sebagai keresahannya dalam tim.
Walaupun tiga narasi keresahan teman dan kolega saya ini cukup berbeda penyebabnya. Namun secara substansi, yang menarik adalah pada dasarnya sumber keresahan mereka berasal dari persepsi orang lain terhadap dirinya, baik itu berupa respons, tindakan, ataupun pendapat. Berangkat dari sana, menarik rasanya membahas fenomena ini dari sudut pandang salah satu aliran filsafat yang saya kira sekarang sedang cukup hype.
Apa itu? Yap, itu adalah stoikisme atau cukup familiar dikenal sebagai filosofi teras. Pada dasarnya, aliran pemikiran ini menekankan pada pengendalian diri yang akan bermuara pada menjauhkan kita dari rasa cemas. Hmm … benarkah begitu? Lalu bagaimana meracik stoikisme dalam menghadapi kecemasan yang sering menggangu?
Stoikisme dan Konsep Dikotomi Kendali Kebahagiaan
Tentu saja dalam memahaminya, tepat rasanya untuk mengetahui apa itu Stoikisme? Aliran pemikiran ini pada dasarnya adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia. Secara sederhana, saya melihat tujuan utama dari filosofi teras ini adalah mengontrol emosi negatif dan melipatgandakan rasa kebahagiaan serta syukur yang kita rasakan.
Stoikisme berasal dari Yunani Kuno, tepatnya dari seorang saudagar Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Kemudian tokoh lainnya ada Seneca Si Saudagar, Marcus Aurelius Sang Kaisar dan Epictetus Si Budak. Dilihat dari penganutnya, aliran ini bisa dikatakan aliran yang inklusif dibandingkan aliran filsafat Yunani lain yang lebih erat penganutnya di kalangan cendekiawan dan aristrokrat.
Salah satu hal menarik dari aliran pemikiran ini bagi saya adalah dikotomi kendali. Apa maksudnya? Prinsipnya adalah membagi kendali ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi internal; kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam dimensi kita, meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan. Sementara dimensi eksternal meliputi apa pun yang terjadi di luar dimensi kita, yakni hal yang bukan kendali kita. Hal-hal ini meliputi semua kejadian, kondisi, dan tindakan atau perilaku orang lain terhadap kita.
Oleh karena itu dalam konteks kebahagiaan, Stoikisme menganjurkan kita untuk memindahkan sumber kebahagiaan itu dari dimensi eksternal ke dimensi internal. Untuk memperjelasnya, izinkan saya untuk menjadikan cerita yang ada di prolog sebagai contoh. Singkatnya, dia memiliki kedekatan yang cukup intim dengan temannya, dan berusaha sebaik mungkin untuk menyesuaikan sebagaimana temannya itu inginkan. Namun respons dan penilaian dari temannya tidak seperti yang ia harapkan, bahkan berkebalikan. Pada akhirnya itu pun membuatnya kegelisah dan memutuskan untuk menyudahi kedekatan itu. Ya singkatnya ‘patah hati’-lah. Imbasnya beberapa waktu setelah itu ia merasakan banyak emosi negatif yang menghantui dan merasa hidup itu seakan lebih sulit.
Menaruh perhatian lebih terhadap respons atau persepsi orang lain pada dasarnya kita akan punya potensi lebih besar dihantui ketidakbahagiaan. Karena apa? Tentu saja karena itu bukanlah sesuatu yang bisa kendalikan. Hal ini berimbas pada munculnya emosi negatif, seperti kecewa, marah, cemas, kesal dsb. Dalam Stoikisme, persepsi tentang kebahagian tidaklah diorientasikan ke sesuatu yang spesifik, tapi lebih ke bagaimana kita mengendalikan diri supaya netral dari berbagai emosi negatif.
Akar dari Kegelisahan; Ekspetasi dan Rasionalitas
Sebagaimana saya jelaskan di atas bahwa persepsi tentang kebahagiaan adalah kondisi dimana netral dari emosi negatif. Akar kegelisahan adalah ketika diri kita diliputi oleh berbagai emosi negatif. Nah, di sinilah inti anjuran memindahkan kebahagiaan dari dimensi eksternal ke internal. Lalu bagaimana itu? Ketika kita menaruh kebahagiaan dalam dimensi eksternal, baik itu respons orang lain maupun persepsi orang lain, maka kita akan lebih mudah dihantui kegelisahan.
Sementara ketika kita menaruh kebahagiaan itu pada dimensi internal—dalam hal ini proses, persepsi kita, dan menalar segala kemungkinan yang akan terjadi, smentara faktor eksternal itu datang dan tak sesuai dengan harapan kita, maka pikiran kita akan lebih mudah untuk menegasikan emosi negatif yang hendak muncul.
Kembali ke kasus teman saya di atas, tentu kiranya perasaan kecewa itu pasti ada. Ya … apalagi soal urusan di atas, ‘kan. “Sebaik-baiknya perpisahan tetap saja menyakitkan, dan semanis apa pun kenangan tetap saja tak bisa diulang. :’)” Namun jika pikiran kita malah berkutat pada hal itu dan penilaian orang lain terhadap proses dan usaha kita, bukan kepada proses kita sendiri, hasilnya malah kita akan sulit merasionalkan kemungkinan terburuk yang akhirnya terjadi.
Meracik Stoikisme sebagai Obat di Era Informasi
Sebagai seorang muslim, tentu saja aliran pemikiran ini tidak mentah-mentah bisa kita terapkan. Yang menjadi pembeda adalah bukan hanya takaran nalar saja yang menjadi patokan kita, tetapi juga memasukan konsep qada wal qadar ketika pikiran kita mulai merumuskan ekspektasi dalam melakukan berbagai hal. Tak lupa tentu saja senantiasa sadar bahwa Dia-lah yang paling tahu baik serta buruknya suatu perkara bagi kita. Artinya dengan itu jiwa dan raga kita sudah siap menerima sampai kemungkinan terburuk dari hasil usaha kita. Kalau sudah begitu, saya kira racikan ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi pikiran kita untuk senantiasa terbebas dari emosi-emosi negatif.
Lebih lagi di era informasi digital, Stoikisme akan cukup efektif membantu kita dalam mengendalikan diri. Sebagaimana kita tahu informasi begitu mudah, tentu saja ada banyak manfaat yang bisa kita ambil. Namun tak jarang aliran deras informasi ini menjadi racun bagi pikiran kita. Seperti kita dengan mudahnya dapat melihat kesuksesan teman sebaya, konten-konten pamer barang mewah, atau konten 50 juta pertama di umur 20 tahun. Kadang kala ini membuat kita bertanya kenapa orang lain hidupnya begitu, sementara saya begini?
Pada akhrinya itu membuat kita berlari dalam lomba lari yang sebenarnya tak mau kita ikuti. Akhirnya muncullah rasa iri dan bermuara pada dengki. Lebih parahnya sampai membeli barang yang kita tidak perlu, untuk memukau orang yang tidak kita suka atau tidak menyukai kita, dengan uang yang bahkan tidak kita miliki. Singkatnya, membuat orang haus validasi tapi dibaluti kedengkian, deh. Coba perhatikan, semua hal di atas adalah faktor yang terdapat dalam dimensi eksternal. Yang mana sudah saya jelaskan itu tidak bisa dikendalikan.
Nah, meracik stoikisme sebagai penawar bagi fenomena ini tentu sesuai, dimana kita dapat meminimalisir dan menjadi filter untuk melenyapkan ketergantungan terhadap hal-hal yang sifatnya eksternal. Dengan begitu, kita akan terbantu dalam menciptakan kebahagiaan sendiri, berfokus terhadap proses yang dijalani, dan selalu bisa tawakal dalam mengahadapi segala takdir-Nya.
Bagi saya, sekarang rasa bahagia itu terletak dari seberapa rasional harapan, bukan seberapa tinggi sebuah pencapaian. Kuncinya adalah kita dapat menyesuaikan antara realitas dan ekspetasi. Ya memang mengakui realitas kadang menyakitkan, itu mungkin yang saya alami tepat satu tahun lalu ketika tulisan ini ditulis. Namun, mengakui itu pada akhirnya membuat jiwa lebih tenang, kuat dan lega. Bahkan saya merasa, ternyata ada banyak hal yang saya bisa lakukan. Dan teruntuk temanku yang saya comot ceritanya, fokus terhadap prosesnya! Kamu berharga, dan soal pencapaian selalu siapkan dirimu untuk berbagai kemungkinan terburuk. Waalaha ‘alam bi al-shawab.