Esai, Opini  

Quarter Life Crisis; Fase Normal Dalam Hidup

Ilustrasi Quarter Life Crisis. (Sc: Haneefra, Ilustrator Manggala)
Ilustrasi Quarter Life Crisis. (Sc: Haneefra, Ilustrator Manggala)

Oleh: Diang Kumala

Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2021-2022

“Cemas”, begitu kata yang mewakili perasaan sebagian manusia ketika memasuki usia seperempat abad. Sebutan Quarter Life Crisis (QLC), kerap kali menghantui manusia ketika beranjak dewasa. Menurut Alexander Robbins dan Abby Wilner, Quarter Life Crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan yang mencakup karier, pertemanan, keluarga, bahkan percintaan yang umumnya terjadi di sekitar usia 20 tahunan.

Dilansir dari artikel The Guardian dalam risetnya, sebanyak 86% milenial mengalami Quarter Life Crisis yang membuatnya merasa insecure, kecewa, kesepian hingga depresi. Fase penting dalam tahap kehidupan ini, merupakan bagian dari proses bertumbuhnya manusia. Keresahan, overthinking, atau loneliness yang membayangi benak manusia dewasa awal atau sering disebut emerging adulthood ini adalah hal yang lumrah terjadi.

Secara bahasa, Quarter memiliki Seperempat, Life berarti Hidup, dan Crisis bermakna Krisis. Singkatnya, Quarter Life Crisis memiliki makna krisis usia seperempat abad. Sementara itu, menurut istilah psikologi, Quarter Life Crisis adalah yang merujuk pada keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun, seperti kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup.

Menurt saya, semua perasaan ini muncul dari 2 aspek besar, yakni faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal pemicu Quarter Life Crisis adalah: 1) Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan akan masa depan, 2) Merasa tidak cukup dengan pencapaian, 3) Membandingkan diri sendiri dengan orang lain, 4) Anggapan negatif yang berlebihan akan diri sendiri, 5) Keraguan dan ketidakseriusan terhadap tujuan, dan 6) Realita yang tak sesuai dengan mimpi dan harapan.

Selain itu, Quarter Life Crisis juga bisa dipicu oleh lingkungan sekitar, di antaranya: 1) Tekanan dari lingkungan sekitar, 2) Ekspektasi berlebihan dari orang lain, 3) Tuntutan keluarga atau norma yang berlaku di lingkungan, serta 4) Menjalani hubungan serius dan komitmen dengan pasangan untuk pertama kalinya.

Banyak hal lagi yang sebenarnya menjadi tekanan bagi emerging adulthood. QLC ini bermuara dari ketakutan dan kecemasan akan masa depan. Jika kita menilik dengan baik, takut dan cemas sebenarnya adalah perasaan yang manusiawi. Tidak ada orang yang tak pernah merasakan kedua hal ini. Bahkan Nabi Saw. pun pernah takut dan cemas ketika mendirikan shalat di tengah peperangan, khawatir musuh akan datang menyerang, lalu Allah Swt. tenangkan dengan menurunkan perintah shalat khauf ketika perang.

Dalam peristiwa ini, saya melihat ada isyarat bahwa rasa takut dan cemas bukanlah titik tumpu sebuah keputusasaan. Akan tetapi, kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai. Poin pentingnya adalah manusia mesti berupaya untuk mengendalikan rasa takut dan cemas sesuai porsinya.

Manusia berjalan dengan orientasinya masing-masing; kesuksesan orang lain tidak bisa dijadikan tolok ukur kesuksesan milik kita. Untuk itu solusinya adalah berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain, kurangilah scrolling media sosial kemudian menjustifikasi diri dengan perkataan: “Kenapa mereka bisa sukses, ya?”, “Kok aku gini-gini aja, ya?”, “Kenapa mereka bisa produktif?”, atau “Kenapa di usia segini aku belum bisa menghasilkan apa-apa?

Kebiasaan seperti ini sebenarnya berepengaruh terhadap pola pikir seseorang sehingga sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan merasa tidak puas dengan titik pencapaian yang dimiliki saat ini. Statement yang mestinya kita ingat adalah, “Social media today, are more likely to show the good side of life.

Maksudnya, kesuksesan seseorang tidaklah segampang dan sesenang yang dilihat di media sosial, karena yang mereka ekspos sebagian besar hanyalah sisi kebahagiaan saja. Banyak hal yang tidak kita ketahui bagaimana perjuangan mereka bisa berada di titik tersebut. Namun juga, banyak hal yang orang lain miliki, tak mesti dibandingkan dengan diri sendiri.

Manusia butuh untuk bertumbuh dan berproses. Batu yang keras dapat berlubang ketika acap kali ditetesi air. Singkat cerita, hikmah yang dapat kita ambil dari renungan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, bahwa kemampuan yang diasah melalui proses yang panjang, tak akan pernah menjadi kesia-siaan.

Untuk itu, tetaplah berusaha dan nikmati pahit manisnya proses. Keluarlah dari zona nyaman, jangan batasi diri dari kesempatan hanya karena ilusi ketakutan yang dibuat sendiri. Libatkan diri secara aktif dengan hal yang disukai, bukan sekadar ikut-ikutan.

Perlu diingat, menjadi dewasa bukan berarti kita dituntut untuk lebih baik, bukan juga dituntut untuk mewujudkan ekspektasi orang lain, tapi menjadi dewasa adalah fase berusaha untuk lebih baik dan bersyukur dengan pencapaian yang kita miliki.

Oleh karena itu, sambutlah fase Quarter Life Crisis dengan energi positif. Maknai fase ini sebagai “New Chapter of Life”, maknanya ada lembaran baru yang harus dibuka, memulai bagian ini dengan kepribadian yang lebih baik lagi.

Semua ini merupakan proses pencarian jati diri. Jatuh bangun yang dihadapi, sejatinya menjadi pemanis dalam kehidupan. Tak ada pendaki gunung yang langsung sampai ke puncak. Sebelum sampai, ia pasti singgah di lereng gunung. Tak ada manusia yang sukses dengan sekali usaha, dia pasti sudah mengalami berkali-kali gagal.

Teruntuk kamu yang sedang berada di fase ini, selamat kamu ga sendiri menjalaninya. Jangan sedih, ini normal. Keep enjoying your life.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *