Oleh: Muhammad Rifky Handadari Raharjo
Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2021-2022
Perbincangan mengenai wanita karier kian hari semakin ramai. Stigma terhadap wanita karier sebagai wanita yang modern juga tertancap begitu dalam. Tak sedikit orang beranggapan bahwa mereka yang menjadi ibu rumah tangga sebagai wanita tidak berdaya dan produktif, berbeda dengan wanita karier.
Berangkat dari situ, lantas pertanyaan saya adalah, apakah stigma-stigma tersebut benar adanya? Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang wanita karier, dibatasi atau justru diperbolehkan? Apakah ada contohnya dari generasi terdahulu? Sebelum membahas lebih dalam mengenai hal itu, saya merasa kita perlu mengetahui pengertiannya terlebih dahulu.
Dalam KBBI, kata ‘wanita’ berarti perempuan dewasa, dan kata ‘karier’ berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya. Ada pun arti ‘wanita karier’ dalam KBBI adalah wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya). Maka bisa disimpulkan syarat menjadi wanita karier adalah dewasa, sudah memasuki usia kerja, dan memiliki profesi.
Di Indonesia sendiri jumlah wanita yang bekerja bisa dibilang cukup fantastis. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 tercatat 47,95 juta orang perempuan yang bekerja. Kemudian tahun 2019 terjadi peningkatan hingga 48,75 juta orang.
Secara umum, saya melihat penyebab para wanita terjun ke dunia profesi terbagi menjadi dua alasan; paksaan keadaan atau hobi yang disukai. Di tengah kerasnya persaingan lapangan kerja, kita semua—baik pria maupun wanita—dituntut untuk memiliki softskill (keterampilan). Sehingga ketika terimpit oleh keadaan yang memaksa, kita selalu siap untuk bekerja di berbagai lini profesi.
Dalam kasus ini, mungkin seorang istri mau tidak mau harus bekerja juga demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang tidak tercukupi jika hanya suaminya saja yang bekerja. Sebagai contoh, Penelitian Nilakusmawati (2009) menunjukan 86% responden penelitian yang juga sebagai wanita pekerja di Kota Denpasar sebagai Pedagang Canang Sari adalah untuk mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga. Ada pun wanita yang bekerja karena menyukai atau menekuninya, kerap kali kita lihat ada pada para pekerja seni, pekerja kuliner, dan lain-lain.
Terlepas dari apa pun alasan mereka bekerja, salah satu polemik seorang Independent Woman (Wanita Mandiri) atau wanita karier yang sering dibicarakan adalah mudahnya mereka menggugat cerai suaminya. Penyebabnya bisa jadi karena komunikasi minim, atau mereka sudah mandiri secara ekonomi, sehingga tidak bergantung lagi kepada nafkah suami; bisa juga karena beban pekerjaan yang terbawa hingga ke rumah dan mengakibatkan gesekan antar keduanya.
Sebagai contoh kita ambil jumlah kasus perceraian di Kabupaten Gresik; terdapat 2.431 kasus perceraian, 683 di antaranya adalah gugatan dari pihak wanita. Kepala Humas Pengadilan Agama Gresik, Sofyan Zefri mengungkapkan 80 persen dari pihak wanitanya yang mengajukan gugatan cerai, kebanyakan merupakan wanita karier. (www.radargresik.jawapos.com, 29 Januari 2021)
Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang wanita karier ini? Tentunya ada yang melarang dan ada juga yang membolehkan dengan argumennya masing-masing. Pihak yang melarang sering menjadikan surat Al-Ahzab ayat 33 sebagai sandaran, dimana arti ayat tersebut adalah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu ….”
Di sisi lain, Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. berpendapat dalam Tafsir Al-Mishbah, mengutip perkataan Thahir bin Asyur, perintah ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi perempuan-perempuan muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan; tidak wajib, tetapi sangat baik. (www.islam.nu.or.id, 13 Juli 2021).
Sedangkan yang membolehkan wanita untuk berkarier, berkaca kepada Sayidah Khadijah Ra. sebagai sosok pekerja yang sukses dan kaya raya. Selain itu, sandaran mereka juga adalah Hadis Riwayat Bukhari no. 1373, mengisahkan tentang Zainab binti al-Tsaqafiyah Ra. yang bertanya kepada Rasulullah Saw. melalui Bilal bin Rabah Ra. tentang keadaan dirinya yang menafkahi suami dan anak-anak yatim tanggungannya. Di akhir kisah itu, Nabi justru menjawab bahwa Zainab mendapat dua pahala; sedekah dan menyambung kekerabatan.
Jika kita menyelami sejarah lebih dalam, bukankah ada begitu banyak para shahabiyah (Sahabat Wanita) yang bekerja? Seperti yang telah disinggung sebelumnya; Sayidah Khadijah Ra. yang berkecimpung dalam dunia bisnis, Zainab binti Jahsy Ra. sebagai penjahit, dan Al-Syifa’ Ra. sebagai perawat.
Tidak hanya itu, coba kita lihat lebih jauh ke belakang, bukankah di dalam Al-Qur’an diceritakan kisah dua putri Nabi Syu’aib yang bekerja karena ayahnya sudah lanjut usia (Q.S. Al-Qasas: 23)? Kemudian bukankah Siti Hajar bolak-balik dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah demi mencari air juga bentuk kerja dan usaha untuk memenuhi kebutuhan bayinya (Q.S Al-Baqarah 158)?
Oleh karena itu menurut saya, sesungguhnya Agama Islam tidak membatasi wanita dalam berkarier, akan tetapi kembali lagi kepada kemaslahatannya. Bagaimana hukumnya juga tidak bisa disamaratakan untuk seluruh tempat, kita harus melihat bagaimana budaya dan adat setempat.
Saya juga memandang bahwa diperbolehkannya wanita bekerja paling tidak memenuhi tiga syarat: aman dari fitnah, tidak cukup nafkah, dan mendapat izin dari suami atau wali. Disamping itu, wanita karier juga tidak boleh meninggalkan kewajiban pokoknya, seperti mendidik anak dan mentaati suami, sekalipun penghasilannya lebih tinggi dari sang suami.
Kemudian, bagaimana dengan stigma bahwa wanita produktif itu hanyalah wanita karier? Menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Seorang ibu rumah tangga pun bisa produktif dari sudut pandang lain. Mencetak generasi terbaik yang menjadi penegak agama adalah sebaik-baiknya bentuk produktivitas.
Untuk itu, saya berpesan kepada para wanita, jangan pernah sia-siakan fitrah yang Allah Swt. Berikan, seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui. Bekerjalah jika memang ada maslahat di situ! Lalu untuk para pria, pahamilah para wanita! Jika memiliki pekerja dari ‘Kaum Hawa’, berilah kemudahan ketika mereka mengalami siklus rutin biologisnya! Pun pada akhirnya, kita hanya diminta untuk saling memahami porsi masing-masing.