Malu, itu yang dulu saya rasakan ketika mengatakan bahwa ibu saya tidak bekerja, atau lebih tepatnya, memilih resign dari karier dosennya. Tatapan mengasihani bahkan meremehkan menjadi respon jamak dari ungkapan saya terkait fakta di atas. Tanya pun acapkali tiba, “Mengapa ibumu sarjana tapi bukan wanita berkarier?”, sementara yang ditanya hanya diam saja. Lantas dewasa ini, memori itu sedikit menggelitik saya, membuat bertanya-tanya, dalam Islam, apakah wanita sarjana itu harus wanita berkarier?
Terlebih, mengingat perempuan berpendidikan, mempunyai gelar, lulus hingga strata doktoral, semua lazim dijumpai dan tidak tabu lagi. Menariknya, dari 3.207.707 sarjana wanita itu, 2.197.690 jiwa di antaranya memilih untuk berkarier (sumber: bps.go.id). Hal ini membuat saya semakin penasaran, menurut Islamic worldview, apakah wanita berpendidkan harus berkarier?
Pendidikan Perempuan dalam Islam
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting rasanya kita sepakati kembali bahwa Islam tidak pernah menomorduakan pendidikan perempuan. Tidak ada perbedaan hak bahkan kewajiban berpendidikan dan belajar antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana tidak ada perbedaan kewajiban membayar zakat bagi laki-laki dan perempuan. Semuanya sama. Hal ini jelas dari dawuh Nabi, “Thalabu al-‘ilmi farîdhatun ‘alâ kulli muslimin wa muslimatin.” Menuntut ilmu itu wajib bagi seorang muslim dan muslimah.
Pendidikan yang Islam tanamkan pada seorang muslim, termasuk perempuan, membuatnya paham bahwa hidup ini hanya karena Allah semata. Semua aktivitas yang dilakukannya adalah upaya ibadah kepada-Nya, dengan menaati seluruh pinta dan larangan-Nya. Ibarat pegawai dalam sebuah perusahaan yang wajib menjalani seluruh perintah atasan, begitupula selayaknya hamba di hadapan Rabb semesta alam. Sebagaimana buruh mengharap upah, seorang muslimah pun mengharapkan surga-Nya.
Karier Perempuan dalam Islam
Jika kita amini definisi karier menurut KBBI—yakni perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, entah itu berupa pekerjaan maupun jabatan—maka bisa kita simpulkan bahwa makna karier di sini luas. Entah itu menjadi dosen, guru, dokter, pebisnis, penulis, bahkan ibu sekalipun, semua terhitung sebagai “karier” yang dipilihnya. Dan tentu tidak ada yang salah dari wanita karier. Selama pekerjaan itu dibolehkan oleh hukum syara, mengapa tidak?
Ambil contoh, ibunda Khadijah dengan kariernya yang cemerlang di bidang perniagaan. Atau, Ibunda Aisyah, yang melakoni peran praktisi pendidikan, ia menjadi rujukan bukan hanya bagi shahabiyah, tapi juga bagi para sahabat. Juga 500 perempuan ahli hadits yang diejawantahkan oleh Ibnu Hajar dalam karyanya, “al-Ishâbah fî Tamyîz l-Shahâbah.” Begitupula ratusan bahkan ribuan nama-nama âlimah dengan beragam keahliannya yang termaktub dalam buku Umar Ridha Kahalah, “A’lam al-Nisa` fi Alamay al-‘Arab wa al-Islam.”
Akan tetapi—betapa mulianya Islam, ia enggan membiarkan berkualitasnya pendidikan seorang wanita sebatas untuk dieksploitasi oleh materi dan insdutri. Sayang sekali bila cerdasnya gadis pertiwi semata untuk kepentingan para kapitalis. Karenanya, Islam mengajarkan bahwa perempuan memiliki peran lain yang lebih besar dalam memajukan agama, bangsa dan negara. Dan itulah yang saya maksud dengan “wanita berkarier surga”.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Kebijakan Pendidikan dalam Era Disrupsi”
Wanita Berkarier Surga
Sederhananya, wanita berkarier surga adalah dia yang memainkan perannya secara optimal. Dia sadar, di manakah perannya, dan harus seperti apakah menjalaninya. Dan yang terpenting, dia menjalani semua itu secara sukarela, mengharap rida-Nya semata. Dan hanya pendidikan dalam Islam lah yang mampu mencetak wanita berkarier surga. Mengapa?
Ia jalani peran yang dimandatkan-Nya dengan sebaik mungkin. Apa pun itu peran yang sedang dilakoninya. Entah itu ketika masih sekadar anak, atau sudah menjadi istri bahkan ibu.
Kita ambil contoh, ketika seorang perempuan berpendidikan melakoni peran “Ibu.” Selama 24 jam non-stop dia bekerja mengayomi keluarga terutama anak tanpa harap imbal berupa materi—yang bila dipikir dari segi rasionalitas di era yang serba kapitalistik, utopis kiranya terdapat sosok yang rela bekerja siang dan malam, sehat maupun sakit, bahkan sepanjang hidupnya, tanpa menerima upah sedikit pun. Namun begitulah ibu, seorang berpendidikan dengan gelar bergelar M.Si, alias Master Segala Ilmu.
Demikianlah figur wanita berkarier surga. Visinya tidak hanya mendunia, menentukan baik-buruknya agama dan bangsa, tapi bahkan terbang mengangkasa dibalas surga.
Wallâhu a’lam bi al-shawwâb
Baca Juga Artikel Lainnya: “Tantangan Pendidikan di Era Disrupsi”
Oleh: Salma Azizah Dzkaiyyunnisa
Penulis adalah pemimpin umum Majalah Manggala 2019/2020