Tokoh  

Harriet Tubman: Budak Pembebas Ratusan Hamba Sahaya

Oleh : A’lie Ilham Al-Mashuri

Penulis adalah Kru Tokoh Website Manggala 2021-2022

Perbudakan merupakan suatu hal yang lumrah pada zaman dahulu, di mana hal tersebut telah menjadi bagian dari sejarah kelam umat manusia. Dalam praktek ini, seorang budak haruslah patuh pada setiap perintah tuannya, sekalipun jika dia ingin menjualnya kepada orang lain.

Tidak hanya itu, bahkan di banyak tempat, seorang anak yang terlahir dari rahim seorang budak akan otomatis menjadi seperti orang tuanya. Inilah yang terjadi kepada Harriet Tubman, seorang wanita yang terlahir dari pasangan suami-istri yang bernama Harriet ‘Rit’ Green dan Ben Ross yang merupakan budak. Memiliki orang tua seperti mengharuskan Harriet Tubman mewarisi status tersebut sejak ia lahir.

Seorang budak yang pada akhirnya menjadi pembebas ratusan hamba sahaya ini lahir pada tahun 1820 masehi di Maryland, Amerika Serikat, dengan nama asli Araminta Ross. Kemudian ia dikenal sebagai Harriet Tubman; nama Harriet diambil dari nama awal ibunya, sedangkan Tubman diambil dari nama akhir suaminya, John Tubman.

Kehidupan Tubman sebagai Seorang Budak

Hidup sebagai seorang budak, Harriet Tubman memiliki kehidupan yang berat, kekerasan fisik tentu merupakan hal yang hampir ia terima setiap hari, bahkan ia selalu mendapatkan cambukan dari tuannya setiap pagi sebelum sarapan, hingga terdapat banyak luka permanen di tubuhnya.

Salah-satu kekerasan paling parah yang pernah Tubman alami ketika ia diminta untuk membeli berbagai persediaan di sebuah toko. Di sana ia bertemu dengan seorang budak yang kabur dari pekerjaan ladang. Lalu pemilik budak tersebut meminta bantuan Tubman untuk menangkap budaknya yang kabur itu, tetapi ia menolak.

Alhasil Tubman dilempari dengan suatu barang yang berat tepat ke arah kepalanya. Ia sempat mengalami kejang-kejang dan sakit kepala parah akibat lemparan tersebut, namun ia hanya diberikan sedikit perawatan medis lalu diperintahkan untuk kembali bekerja.

Perjalanan Membebaskan Diri dan Ratusan Orang dari Perbudakan

Pada tahun 1849, tuan pemilik Tubman meninggal dunia. Kemudian setelah mendengar isu bahwa ia akan segera dijual, ia pun langsung memutuskan untuk melarikan diri dari perbudakan di Maryland meuju kebebasan di Philadelpia. Dengan memanfaatkan kereta api bawah tanah, Tubman melakukan perjalanan menuju Philadelphia dengan jarak tempuh sekitar 144 km, dan berhasil menyebrang ke negara bagian Pennsylvania yang bebas dari perbudakan dengan perasaan kagum dan lega.

Alih-alih memilih tetap hidup aman di kawasan utara, pada tahun 1850 Tubman kembali ke Maryland, membantu keluarga dan beberapa budak lainnya untuk melarikan diri ke Philadelpia. Namun, perjalanan ini ternyata tidak selancar perjalanannya ketika melakukan pelarian seorang diri, karena di masa itu terdapat Undang-undang Budak Buronan yang disahkan.

Hal tersebut membuat kawasan utara tidak lagi aman, karena UU ini menyatakan bahwa budak yang melarikan diri ke wilayah tersebut dapat ditangkap dan dikembalikan ke perbudakan, ditambah lagi aparat penegak hukum di utara dipaksa untuk membantu menangkap para budak yang kabur.

Menanggapi masalah tersebut, Tubman tidak patah semangat. Ia pun mengubah rute perjalanan ke Kanada yang pada saat itu lebih aman untuk mereka, hingga mereka berhasil membebaskan diri dari perbudakan.

Pada tahun 1858, Tubman bertemu John Brown yang merupakan aktivis anti perbudakan. John Brown memiliki caranya sendiri dalam melawan perbudakan, yaitu dengan menganjurkan penggunaan kekerasan. Walaupun memiliki cara yang berbeda dengannya, Tubman menoleransi cara tersebut, serta banyak melakukan kerja sama dengan John Brown karena memiliki tujuan yang sama dalam melawan perbudakan.

Saat terjadi perang saudara, Tubman bekerja untuk Union Army sebagai juru masak dan perawat. Namun tak berselang lama, ia dipercaya untuk menjadi mata-mata bersenjata. Dengan menjadi wanita pertama yang memimpin ekspedisi bersenjata dalam perang, iia memimpin serbuan ke sungai Combahee dan berhasil membebaskan lebih dari 700 budak di Carolina Selatan.

Hari Tua dan Kematian

Di hari tuanya, Tubman tinggal di Auburn, New York, bersama dengan keluarga dan teman-temannya. Meskipun saat itu ia merupakan sosok yang terkenal dan memiliki reputasi tinggi, Harriet Tubman masih selalu kesulitan dalam hal ekonomi. Teman-teman dan para pendukungnya banyak yang mengumpulkan dana untuk kehidupan Tubman, di antaranya adalah Sarah H. Bradford yang menulis biografi berjudul Scenes in the Life of Harriet Tubman, dengan keuntungan dari penjualan diserahkan kepada Tubman dan keluarga.

Tubman kemudian meninggal dunia pada 10 Maret 1913, di usia 93 tahun. Hal itu terjadi karena penyakit pneumonia yang dideritanya. Tubman dimakamkan di Dort Hill Cemetery di Auburn dengan penghormatan militer.

Refleksi Harriet Tubman sebagai Budak Pembebas

Harriet Tubman, seorang budak yang terlahir dari orang tua yang juga merupakan budak di daerah serta masa yang melegalkan perbudakan. Meskipun begitu, ia tetap dengan gigih memperjuangkan haknya sebagai manusia. Lebih dari itu, ia bahkan rela mempertaruhkan kehidupannya demi membebaskan banyak orang dari perbudakan.

Kini perbudakan telah dihapuskan, tapi realitasnya masih banyak manusia yang tidak bisa memanusiakan manusia yang lain, masih banyak para pengusaha yang mengeksploitasi para pekerja mereka, bahkan yang melakukan perdagangan manusia dan praktek perbudakan secara illegal.

Miris rasanya ketika piagam demi piagam tentang penghapusan perbudakan telah ditandatangani, perjanjian demi perjanjian telah disepakati, tapi pada kenyataannya perbudakan masih saja terjadi. Namun di lain sisi, kita harus yakin bahwa sosok-sosok pejuang dan pembebas budak seperti Harriet Tubman akan terus bermunculan, dan bisa jadi kita adalah salah satunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *