Layaknya mengaduk minyak dalam air Israel tak pernah sepenuhnya diterima di kawasan Arab. Dalam catatan sejarah setidaknya ada empat perang yang melibatkan kedua pihak—Israel dan Arab dalam skala besar yaitu Perang Arab-Israel (1948), Perang Sinai (1956), Perang Enam Hari (1967) dan Perang Yom Kippur (1973). Secara militer pihak Israel selalu menuai kemenangan, bahkan di 1967 Israel sempat menguasai semenanjung Sinai dan dataran tinggi Golan. Namun di Perang Yom Kippur ada satu serangan yang mematahkan legenda tentara Israel yang tak terkalahkan, yaitu ketika Mesir melancarkan Operasi Badr pada serangan 6 Oktober.
Status Quo “tidak ada perang, tidak ada perdamaian”
Sebelum Perang Yom Kippur meletus, Presiden Mesir Anwar Sadat menghadapi situasi internasional yang kurang menguntungkan tatkala menempati jabatannya. Ketika itu dua negara Adidaya, Soviet dan Amerika bersedia menjalani kondisi status quo, kebijakan “tidak ada perang, tidak ada perdamaian” antara Arab dan Israel, sampai pihak yang bersengketa menunjukkan sikap lebih pragmatis untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini adalah imbas dari keputusan Presiden AS saat itu, Richard Nixon yang mengendurkan ketengangan dengan sekutu Mesir, Uni Soviet. Maka ketika ketegangan berkurang konflik Arab-Israel bukan urusan mendesak bagi Moskow dan Washington.
Anwar Sadat menyadari bahwa status quo ini disukai oleh Israel. Karena seiring berlalunya waktu, masyarakat internasional semakin mudah menerima kekuasaan Israel atas wilayah Arab yang diduduki sejak 1967. Maka pihak Arab pun akan lebih pragmatis dalam menanggapi konflik ini. Untuk memecah kebuntuan Anwar Sadat berusaha untuk menarik kembali Amerika-Soviet untuk melirik kembali konflik Arab-Israel. Langkah pertama yang diambil oleh Sadat adalah pengusiran 21.000 penasihat militer Soviet dari Mesir (Marsot: 2007). Amerika mulai mempertanyakan hubungan Mesir dengan Uni Soviet dan kemungkinan akan mengalaihkan negara Arab terkuat ini ke dalam kelompok pro Barat.
Menariknya Meski Sadat telah mengusir penasihat militer Soviet, dia tetap berhati-hati untuk tidak memutuskan hubungan dengan negara komunis itu. Perjanjian persahabatan Mesir dan Soviet tetap dipertahankan, agar tetap menunjukkan sikap bersahabat. Strategi Sadat sukses, alhasil, antara Desember 1972 hingga Juni 1973, Soviet mengekspor persenjataan canggih ke Mesir lebih banyak dibanding ekspor dalam kurun 1970-1972 digabung jadi satu.
Perang di Bulan Puasa
Pada 6 Oktober 1973, Perang pun meletus beberapa menit selepas pukul dua siang pada bulan suci Ramadan hari itu juga bertepatan dengan Yom Kippur hari tersuci kaum Yahudi. Suriah dan Mesir secara bersamaan menyerang Israel dari utara dan selatan. Pasukan Mesir dikomandoi Presiden Anwar Sadat, sementara Suriah di bawah perintah Hafez al-Assad. Di hari pertama perang, Mesir melancarkan Operasi Badr yang bertujuan merebut penyeberangan Terusan Suez dan penguasaan Bar Lev Line, dinding pertahanan yang dibangun Israel di tepi timur terusan.
Ketika itu, pada 6 Oktober banyak tentara Israel meninggalkan pos mereka untuk memperingati Yom Kippur. Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.
Bersamaan dengan gempuran artileri yang gencar. Gelombang tentara Mesir melintasi Terusan Suez menggunakan perahu dinghy dan menyerbu benteng pasir Bar-Lev Line sambil bertakbir. Dalam upaya menaklukkan posisi Israel yang secara luas diyakini tidak dapat ditembus itu, tidak banyak korban jatuh di pihak Mesir.
Para komandan Israel pun mendengarkan dengan rasa tidak percaya saat tentara mereka di benteng Bar-Lev Line —Benteng alam milik Israel—menyembunyikan tanda peringatan dan menyatakan posisinya tak dapat dipertahankan di hadapan pasukan musuh.
Ketika militer Israel bergegas meluncurkan pasukan angkatan udara, jet tempur mereka dicegat rudal SAM 6 Soviet begitu mencapai garis depan. Hilang sudah bayangan kemenangan udara Israel pada Perang 1967. Tank Israel yang dikirimkan untuk membantu di sepanjang Bar-Lev Line pun menghadapi kejutan serupa. Mereka menghadapi infanteri Mesir yang dipersenjatai peluru kendali antitank bikinan Soviet yang menghancurkan sekian banyak unit lapis baja Israel.
Atas keberhasilan itu, insinyur militer Mesir mempersiapkan pompa air tekanan tinggi dan jalan bagi pasukan Mesir untuk melewati garis depan Israel menuju Semenanjung Sinai. Jembatan ponton dihamparkan di atas kanal untuk digunakan tentara dan kendaraan lapis baja menyeberangi bantaran timur dan masuk ke Sinai. Peristiwa 6 Oktober menjadi saksi bagaimana legenda militer Israel yang tak terkalahkan itu dipatahkan. Penyeberangan legendaris ini pun terus dikenang Mesir tiap tahunnya.
Meski Israel boleh mengklaim kemenangan militer dalam perang ini. Namun, secara politis Mesir dan Suriah lebih diuntungkan. Semenanjung Sinai kembali ke tangan Mesir. Sebagian Dataran Tinggi Golan kembali ke tangan Suriah. Perang pun Yom Kippur punya dampak cukup krusial bagi masa depan Timur Tengah. Perang ini membuka mata Sadat atas sebuah fakta penting bahwa Israel tak dapat dikalahkan secara militer. Bagi Sadat, dunia Arab harus mengendurkan ambisi melenyapkan Israel dengan jalan militer. Sadat kemudian menempuh jalan yang penuh resiko: berdamai dengan negara zionis tersebut
Baca Juga Artikel Lainnya: “Pancasila dalam Pandangan Buya Hamka”
Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim
Penulis adalah Mahasiswa Strata Satu Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar Kairo