Sejatinya sejak masa kemerdekaan, rezim orde lama, orde baru, Pancasila terus diberikan makna yang berbeda-beda. Perlu kita ketahui bahwa Pancasila sebagai dasar negara awalnya merupakan sebuah landasan sementara sebelum sidang konstituante. Maka wajar bila di rezim orde lama partai komunis pun berani memberikan tafsir sendiri tentang Pancasila. Istilah yang dulu digali Soekarno dan kemudian dilengkapi oleh Panitia Sembilan di tahun 1945 hingga kini tidak pernah sepi dari berbagai perbincangan. Polemik terakhir yang kita tahu adalah usaha penafsiran Pancasila melalui RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila).
Di rezim Orde baru, Pancasila sampai perlu diberikan kata ’Kesaktian‘ agar dapat menjadi penopang tegaknya rezim tersebut.Pancasila acapkali menjadi semacam alat pukul yang ditujukan bagi sebagian gerakan Islam. Sedikit-sedikit dibenturkan dengan Pancasila. Sesungguhnya makna Pancasila tak pernah lepas dari penafsiran yang berbeda-beda menurut tiap kelompok. Tak terkecuali bagi Buya Hamka seorang ulama Indonesia, sastrawan, dan sejarawan, yang kontribusinya tak hanya diakui tanah air. Ia adalah salah satu sosok yang bergelut dengan pemikiran mengenai Pancasila. Salah satu pandangan Hamka mengenai ini terangkum pada buku kecil “Urat Tunggang Pancasila”. Sebelum membahas lebih dalam penulis hendak mengajak pembaca untuk menilik polemik pandangan mengenai Pancasila.
Menilik Sejarah Pancasila: Perumusan-Sidang Konstituante
Ketika menilik sejarah Pancasila kita akan menemui dengan berbagai pandangan pendiri bangsa. Sidang BPUPKI menjadi ajang para pendiri bangsa untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka. Di mana menjadi ajang pertarungan dua ide negara, yaitu negara berdasarkan agama dan negara sekular. Pertentangan dua ide menjadi semakin sengit. Untuk mencari kompromi di antara keduanya, maka dibentuklah Panitia Sembilan. Panitia ini kemudian berhasil menelurkan Piagam Jakarta. Sila pertama dari piagam Jakarta yang mengandung kalimat, “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,“ ini kemudian yang menjadi suatu nilai yang sangat penting. Bagi tokoh-tokoh Islam, kalimat inilah yang menjadi sebuah puncak perjuangan untuk memasukkan Islam menjadi bagian dari dasar negara.
Namun sejarah Piagam Jakarta beserta ketujuh kata itu tidak sampai menjadi dasar bagi negara Indonesia. Atas prakarsa Bung Hatta 7 kata dalam sila pertama hendaknya dihapuskan. Melalui lobi dan berbagai pendekatan, penghapusan ketujuh kata ini hampir mencapai kata sepakat. Namun ada satu tokoh yang menjadi penghalang dihapuskannya ketujuh kata ini, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Ia adalah tokoh Muhammadiyah yang dalam sidang BPUPKI menjadi figur yang mendorong Islam sebagai dasar negara. Pada akhirnya Mr Kasman Singodimedjo, yang juga tokoh Muhammdiyah berhasil meluluhkan Ki Bagus Hadikusumo dengan mengingatkan janji Soekarno bahwa dasar negara akan dibahas 6 bulan lagi.
Berbagai pergolakan dalam masa revolusi kemerdekaan membuat janji itu tertunda. Bukan 6 bulan tapi sekitar 12 tahun kemudian baru dasar negara kembali dibahas oleh para wakil rakyat dalam sidang konstituante. Dalam sidang konstituante tahun 1957, Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan mengkhianati Indonesia. Malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa. Di mana Islam menjadi ruh bagi perjuangan mereka.
Bagi Hamka menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di konstituante. Namun untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang. Partai-partai Islam sejalan dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Kebulatan tekad tersebut membentur partai-partai lain yang mendukung ide kontra Islam sebagai dasar negara. Tak ada kata sepakat di antara kedua pihak. Kebuntuan ini membuat habis kesabaran Soekarno. Akhirnya konstituante pun dibubarkan, dan dekrit presiden (1959) pun mengembalikan Pancasila untuk ditetapkan sebagai dasar negara, dengan revisi Piagam Jakarta yang menjiwai UUD ’45.
Urat Tunggang Pancasila Menurut Buya Hamka
Dalam sidang konstituante kita dapat melihat secara jelas bagaimana Hamka memandang Pancasila. Untuk lebih mengetahui itu lebih jauh mari kita kembali ke tahun 1951, beberapa tahun sebelum sidang konstituante dimulai. Pada tahun 1951 Hamka menulis dan menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Urat Tunggang Pancasila—Tunggang sendiri berarti akar kuat yang menghujam ketanah menopang pohon supaya kokoh. Buku tipis ini ditulis olehnya sebagai respon atas polemik dari sebuah pidato yang disampaikan oleh Soekarno, Presiden RI saat itu. Sebagaimana diuraikan diawal buku tersebut, Soekarno pada 7 Mei 1951, dalam acara peringatan Isra Mi’raj di istana negara menyampaikan pidatonya yang kemudian menyangkut-pautkannya dengan Pancasila.
Pada momen Isra Mi’raj itu Soekarno memberikan pesan agar seluruh kaum muslim menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangan. Di situ juga ia menyampaikan bahwa ada golongan yang hanya mengambil Pancasila itu sepotong-potong saja. Atas pernyataan Soekarno itu, ternyata ada sebagian kalangan umat Islam yang tersinggung. Mereka merasa bahwa golongan yang dimaksudkan oleh Presiden RI tersebut adalah umat Islam yang hanya mengambil sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja dan meninggalkan keempat sila lainnya. Akhirnya mereka meminta kepada Hamka untuk menjabarkan bagaimana umat Islam seharusnya memahami Pancasila.
Di sini Hamka pun memilih untuk tidak berburuk sangka bahwa golongan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu ialah umat Islam. Bagi Hamka, Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam Islam bermakna tauhid yang mana merupakan ajaran utama dalam Islam. Itu juga yang melandasi perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dalam bukunya “Urat Tunggang Pancasila” Hamka menulis “Kemanusiaan itu baginya adalah keimanan yang tidak dapat dipisahkan, atau hasil yang tumbuh langsung dari pada sila yang asli tadi; yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa saja.” Maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini pula kemudian yang melandasi seluruh sila lainnya. Menurut Hamka, mereka yang berjuang dengan landasan tauhid ini maka telah sendirinya mempunyai peri-kemanusiaan yang tinggi.
Maka jelas bagi Hamka, urat tunggang Pancasila itu ialah sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sila pertama itulah kemudian keempat sila lainnya diterjemahkan dan diamalkan oleh kaum muslimin di Indonesia. Jadi bagi Hamka keadilan sosial ataupun musyawarah haruslan didasarkan pada iman tauhid. Maka tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dengan Pancasila itu. Justru Pancasila akan lebih hidup dengan ajaran agama. Sebagaimana dalam kesimpulannya Hamka menyebut, “Pancasila sebagai filsafat negara Indonesia akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya.” (Hamka, 1952: 37).
Baca Juga Artikel Lainnya: “Pancasila, Weltanschauung Pendidikan Abad ke-21”
Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim
Penulis adalah Mahasiswa Strata Satu Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar Kairo