Hari Tani: Sejarah dan Tantangannya Masa Kini

Hari Tani

Hari Tani nasional tidak luput dengan peranan sejarah masa lalu. Di mana kala itu, kebijakan penjajah menjadi penentu perkembangan dunia pertanian. Pun, sistem yang dibuatnya turut mewarnai dunia pertanian di Indonesia. Pada akhirnya, singkat cerita, Hari Tani menjadi momen terlepasnya Indonesia dari kukungan sistem yang dibakukan penjajah tersebut.

Meski demikian, hari tani belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan pertanian hari ini. Bahkan, pada praktiknya kaum tani di Indonesia acapkali masih “kecolongan”. Pasalnya, kini masih banyak tantangan bagi para petani yang patut diperhitungkan. Bisa berupa aspek geografis, langkah yang diambil oleh pemerintah, ataupun teknologi yang dinilai belum maksimal. Maka, Hari Tani ini menjadi momen yang tepat untuk melihat kembali sejarah ditetapkannya Hari Tani, sekaligus meneropong sekelumit tantangan yang dihadapi para petani.

Hari Tani: Tonggak Awal  Memakmurkan Pertanian Nasional

Hari Tani Nasional merupakan bentuk peringatan dalam mengenang sejarah perjuangan kaum petani guna membebaskannya dari penderitaan. Di mana masyarakat Indonesia berjuang untuk merdeka dalam bidang pertanian. Hal ini tergambar jelas dari perjuangan mereka mengahapus sisa-sisa kebijakan pertanian  yang dibuat oleh penjajah terhadap sistem pertanian di Indonesia.

Hari Tani sendiri diambil dari tanggal dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Pasalnya, sejak lepas dari cengkraman Belanda, pemerintah Indonesia selalu berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria kolonial. Sebab, sebagaimana masyhur diketahui, sistem pertanian kolonial dinilai merugikan petani lokal.

Seperti yang pernah terjadi  pada zaman VOC 1600-1800 M. Kemudian dilanjutkan dengan zaman kekacauan dan ketidakpastian tahun 1800-1830 M, atau juga disebut masa sewa tanah. Lalu zaman tanam paksa 1830-1850 M dan zaman peralihan ke liberalisme 1850-1870 M. Selanjutnya zaman liberalisme 1870-1900 M, zaman politik etik 1900-1930 M, dan terakhir zaman depresi dan perang 1930-1945 M.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, kebijakan penjajah yang turut mewarnai sistem pertanian tersebut membuat rakyat Indonesia  kesal. Hingga pada tahun 1948 M, pemerintah Indonesia mengawali perjuangannya untuk bangkit dari kebijakan penjajah. Pada saat itu ibu kota Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta. Sayangnya, usaha pemerintah membuat panitia UU Agria baru, dengan nama Panitia Agraria Yogya masih terbilang gagal.

Lantas, pada tahun 1951 M, terjadilah pengalihan dari Panitia Agraria Yogya, menjadi Panitia Agraria Jakarta. Pengalihan panitia ini berulang kali terjadi. Di antaranya pergantian estafet kepengurusan dari Panitia Agraria Jakarta ke Panitia Soewahjo (1955). Dilanjutkan oleh Panitia Negara Urusan Agraria (1956), lalu Rancangan Soenarjo (1958) dan terakhir Rancangan Sadjarwo (1960). Namun, semua upaya ini masih terhitung gagal dan tersendat-sendat.

Berjalan 12 tahun, usaha ini akhirnya menuai hasil melalui prakarsa Menteri Pertanian 1959, Soenaryo. Rancangan Undang-Undang itu, digodok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu dipimpin Zainul Arifin. Melalu sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960 Menteri Agraria berganti menjadi Sarjarwo. Dia menyampaikan pidato atas keinginan bangsa Indonesia yang tidak lagi dikekang sistem feodal atas tanah dan pemasaran modal asing.

Kemudian, pada pada 24 September 1960, RUU tersebut disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Atau hari ini dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial.

Langkah pemerintah dalam WTO

Usai terbentuknya UUPA, pemerintah berusaha mengambil peluang sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, roda dunia saat itu memang sedang kaya akan peluang. Dalam hal ini, kerjasama antarnegara dalam bidang perdagangan internasional difasilitasi oleh World Trade Organization ( WTO ).

Menariknya, di waktu yang sama Amerika Serikat & Selandia Baru memiliki ketertarikan akan kerjasama dengan Indonesia karena kekayaan alamnya. Hal ini menjadi angin segar bagi Indonesia yang kala itu memang sedang mencari kerjasama antarnegara.

Sayangnya, dalam kerjasama ini Indonesia diniai gagal memenuhi pasar. Indonesia pun terkena gugatan karena melanggar perjanjian  yang ditetapkan oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1994. Akibatnya Indonesia harus “mengharmonisasikan” peraturan produk holikultura.

Mulanya hal ini dianggap biasa selama kebutuhan domestik terpenuhi dan sesuai dengan amanat UU pangan. Namun, kerjasama ini berujung rugi. Sebab pada akhirnya malah memberi akses bagi negara-negara maju untuk memasukkan produk-produknya. Produk itu lantas bisa masuk sebebas-bebasnya ke negara berkembang.

Di sinilah cikal bakal tantangan para petani Indonesia untuk mengembangkan hasil pertaniannya. Mereka harus bersaing dalam hal produktivitas dengan produk negara nomor satu. Sedang kualitas dan harga pasar seringkali tak memihak mereka. Tidak heran bila akhirnya hari tani suka diwarnai oleh demonstrasi.

Hari Tani:  Menjawab Tantangan Para Petani

Sebagaimana disinggung sebelumnya, produktivitas masih menjadi tantangan petani hari ini. Di siai lain, pada era 4.0, teknologi memegang peranan penting dalam berbagai lini kehidupan. Salah satunya dalam sektor pertanian. Teknologi dapat lebih memudahkan serta mengefektifkan waktu kegiatan pertanian. Suatu langkah yang akan mendorong produktivitas hasil pertanian yang baik.

Kita ambil contoh Belanda sebagai negara yang mempunyai sistem pertanian yang paling maju. Negara itu hanya memiliki luas tanah sekitar 41.526 km2. Luas wilayah yang relatif kecil bila dibandingkan Indonesia. Namun, adanya riset yang mendukung sistem pertanian lantas diterapkan melalui kebijakan. Pun, disalurkan dengan menciptakan teknologi yang mampu mendobrak permasalahan pertanian.

Dengan demikian, peran generasi muda terpelajar yang akrab dengan riset juga menjadi sangat penting. Merekalah yang akan menjadi roda penggerak perkembangan pertanian. Dalam hal ini, masalah tani bukan hanya tugas mahasiswa pertanian secara. Namun juga menjadi PR mahasiswa engineering (teknik), dengan dengan memfokuskan pada riset dan inovasi teknologi untuk kemajuan pertanian negeri. Sebut saja teori rekayasa temperatur berupa yang dipelajari mahasiswa teknik. Teori tersebut bisa digunakan untuk merancang mesin penyimpanan bibit. Atau juga untuk distribusi produk pertanian yang membutuhkan kondisi tempat dengan temperatur rendah.

Dengan dimaksimalkannya aspek teknologi, riset, dan SDM generasi muda terpelajar, harapannya pertanian Indonesia bisa lebih maju serta modern. Lantas memaksimalkan potensi lahan pertanian yang ada, meningkatkan produktivitas, memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, dan meningkatkan ekspor. Bahkan selanjutnya dapat memajukan dan menyejahterakan perekonomian negara Indonesia.

Baca Juga Artikel lainnya: “Hari Kebangkitan Nasional: di Balik Pemilihan Budi Utomo”

Oleh: Bariq Athallah

Penulis adalah kru Manggala 2020-2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *