Hari Kebangkitan Nasional pertama kali digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan, Yogyakarta. Kala itu dikenal sebagai 40 tahun Hari Kebangunan Nasional. Pemilihan tanggal tersebut berdasar pada pendirian Budi Utomo atau dulu dikenal sebagai Boedi Oetomo (BO) yang tercatat dalam sejarah resmi sebagai momen lahirnya kesadaran kebangsaan di Hindia Belanda. Namun, tidak sedikit kalangan mempertanyakan dasar pemilihan BO sebagai pelopor kesadaran kebangsaan. Benarkah kesadaran nasional pertama kali dirintis oleh BO?
Mempertanyakan Budi Utomo Untuk Hari Kebangkitan Nasional
Apabila kita menelisik geneologi kesadaran perjuangan nasional maka kitan akan mendapati bahwa Budi Utomo bukanlah satu-satunya. Bahkan bisa dibilang tidak mewakili kesadaran nasional. Mengenai sejarah awal BO, organisasi ini semata-mata bertujuan “memajukan kerjasama untuk pembangunan rakyat Jawa dan Madura secara harmonis”. Keanggotaanya masih berdasarkan etnis dan imajinasi teritorialnya sebatas Jawa. Budi Utomo memang melakukan pencapaian-pencapaian di tanah Jawa, misalnya dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi Jawa. Namun melihat kenyataan-kenyataan yang terhampar, Budi Utomo lebih tepat untuk disebut pelopor kebangkitan Jawa ketimbang nasional.
Tidak hanya erat kaitannya dengan etnis, organisasi yang didirikan di aula Stovia ini terbatas hanya untuk golongan priayi atau elit suku Jawa dan Madura. Sejak awal pendiriannya, memang Budi Utomo terlihat lebih kental mengusung tema-tema yang bersifat primordial ketimbang kebangsaan (nasional). Meski seorang Tjipto Mangunkoesoemo pada Kongres I Budi Utomo bulan Oktober 1908, lewat aspirasi dan pemikiranbya yang radikal telah membangun posisi berhadap-hadapan secara diametral dengan Wahidin dan hampir seluruh mayoritas peserta Kongres.
Selain bersifat primodial dan punya kesan eksklusif, BO juga menjaga jarak dengan aktivitas pergerakan politik. Tjipto Mangunkoesoemo melontarkan gagasan yang saat itu tentu saja tak didukung mayoritaas peserta kongres yang mayoritas kaum priayi itu. Yakni agar Budi Utomo menjadi partai politik dan menekankan pada pendidikan tak cuma untuk priayi saja. Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Kesannya yang eksklusif hanya untuk priayi membuat rakyat Jawa jelata sungkan untuk bergabung dengan (priayi dan ningrat) Budi Utomo.
Pelopor Kebangkitan Nasional Lainnya
Berbicara tentang kebangkitan kesadaran nasional maka kita akan menemukan organisasi-organisasi pergerakan yang lebih membumi dibanding BO. Sebagian yang menolak BO sebagai simbol kebangkitan nasional seringkali mengajukan Sarekat Islam (SI) yang dianggap lebih pantas. Organisasi ini, meminjam pernyataan Laffan (2002), lebih “merepresentasikan gerakan massal yang mempunyai anggota di seluruh Hindia”. Organisasi yang didirikannya ini bertujuan mengangkat status kaum Mardika (pedagang, petani dan artisan) di bawah solidaritas umat. Sejak 1912, SI bertransformasi menjadi gerakan politik massa. Dengan Islam sebagai penanda ‘solidaritas nasional’ dan ‘pribumi’ di bawah kepemimpinan karismatik Tjokroaminoto.
SI memiliki anggota dan simpatisan hingga ratusan ribu orang di tahun 1910-an. Secara garis politik pula organisasi ini dianggap lebih radikal melawan pemerintah kolonial dibandingkan BO sehingga kebangkitan nasional dianggap lebih terwakili oleh gerakan massa SI. Selain SI ada gerakan yang lebih vital lagi ketimbang BO dan SI adalah organisasi Indische Partij (IP/Partai Hindia) yang didirikan oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat dan Tjiptomangoenkoesomo pada 1912. Tiga pemikir ini yakin bahwa dasar gagasan Indonesia bukanlah kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis atau keterikatan keagamaan, melainkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang mengalir darinya. IP adalah kelompok politik nasional pertama yang menyerukan gagasan “kemerdekaan untuk bangsa Hindia”.
Gagasan yang radikal yang dibawa oleh IP membuatnya tak bertahan begitu lama. Puncaknya, pada acara perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis di tahun 1913, Soewardi menulis penyataan yang radikal, “Als ik eens Nederlander was” (Jika Saya Seorang Belanda). Soewardi menyatakan bahwa seandainya saya seorang Belanda, “Tidak bijak menyelenggarakan perayaan kemerdekaan Belanda di tanah yang penduduknya tidak kita beri kemerdekaan. Berikanlah dulu kemerdekaan terhadap bangsa terjajah itu, barulah kita merayakan kemerdekaan kita sendiri.” IP dibubarkan karena dianggap terlalu radikal dan membahayakan ketertiban umum. Meskipun dibubarkan, cita-cita IP rupanya telah mengakar dan turut menajamkan fokus identitas nasional baru yang ditempa oleh generasi pergerakan selanjutnya.
Dipilihnya Budi Utomo pada Tahun 1948 Untuk Hari Kebangkitan Nasional
Setelah kita membaca ulasan di atas, dapat kita pahami bahwa BO tidak senasionalis IP dan tidak membumi seperti SI maka kembali kepada pertanyaan, benarkah kesadaran nasional pertama kali dirintis oleh BO? Sejarawan Hilmar Farid melihat bahwa alasan di balik peringatan Hari Kebangunan Nasional 1948 yang pertama kali diselenggarakan bermakna strategis-politik. Bahwa lahirnya Budi Utomo sebagai simbolisasi Kebangkitan Nasional dicoba untuk digunakan untuk membangkitkan semangat perjuangan dan persatuan rakyat dalam menghadapi ancaman nyata rencana agresi Belanda.
Pemilihan BO bisa dibilang sebagai jalan tengah yang paling moderat saat itu. Tujuannya tentu untuk memulai penggalangan kesatuan nasional sebagai antitesis dari pemerintah kolonial Belanda. Di tengah pergolakan politik antara kelompok kiri dan kanan. Memilih organisasi yang mempunyai akar terkait dengan kelompok yang bertikai hanya akan menimbulkan gejolak politik lebih besar alih-alih persatuan. Meski kurang proporsional mewakili kesadaran identitas nasional, BO dianggap sebagai organisasi yang mewakili perwujudan kesadaran baru untuk meninggalkan keterbelakangan dan kemiskinan.
Dengan kata lain, perayaan tahunan kebangkitan nasional yang merujuk pada tanggal lahir BO adalah politik historiografi pemerintah. Hal ini ditujukan untuk menjawab tantangan ‘darurat politik’. Namun, Apa yang penting dari eksplorasi genealogis ini adalah bahwa BO sebenarnya tidak merepresentasikan perwujudan kebangkitan nasional atau gagasan Indonesia modern. Ia hanyalah satu mata rantai dalam proses kebangkitan nasional.
Baca Juga Artikel Lainnya: “H.M Rasjidi dan Polemiknya dengan Sekularisme”
Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo