Nama sohornya Hasan Al-Basri (w.110 H). Nama lengkapnya Hasan bin Yasar al-Basri rahimahullâh. Adalah seorang tabi’in tangguh. Dia tak gentar ketika harus berhadapan dengan para pemimpin zalim. Kata-katanya begitu menyengat tapi meluluhkan siapa pun yang berhadapan dengannya.
Wajahnya rupawan, akhlaknya begitu memesona, setiap tutur katanya hikmah, setiap perangainya adalah tauladan. Bak orang hebat zaman now setiap orang berlomba untuk menjadi yang paling dekat dengannya. Para orang tua berharap dia bisa menjadi anaknya atau paling tidak keturunannya bisa seperti dia. Kaum hawa segan tapi suka dan berharap menjadi bagian dari kehidupannya. Itulah seorang ‘alim yang keilmuannya melebihi batas zamannya. Beribu orang bejubel menghadiri majelis keilmuannya, menyentuh setiap relung hati pendengarnya, menggiring orang untuk kembali ke pangkuan Rab-Nya.
Lahir dan besar dalam pangkuan keilmuan para sahabat Nabi Saw, bahkan darah yang mengalir dalam dirinya adalah air susu dari Ummil Mukminin Ummu Salamah (w.59 H) radiyallâhu ‘anhâ istri Nabi Saw. Sampai-sampai Imam al Ghazali (w.505 H) rahimahullâh seorang ahli tasawuf kelahiran Tusi Iran pernah berucap, ”Bilamana ada seorang yang perkataannya mirip dengan para Nabi maka tak lain adalah Hasan Al-Basri. Ajarannya begitu dekat dengan tuntunan para sahabat radiyallâhu‘anhum.”
Mengenal Hasan Al-Basri Lebih Dekat
Karena kesalehan dan keilmuannya yang begitu masyhur, tak jarang majelis keilmuannya selalu dihadiri para pembesar dari kalangan umara (pemimpin) hingga ulama. Pernah suatu waktu seorang pahlawan Bani Umayyah, yang juga panglima perang saat melawan Konstantinopel; Maslamah bin Abdul Malik (w.66 H) menanyakan perihal beliau ke salah satu penduduk Basra, spontan orang tersebut berkata:
إنه امرؤ سريرته كعلانية، و قوله كفعله، إذا أمر بمعروف كان أعمل الناس به، و إذا نهي عن منكر كان أترك الناس له، و لقد رأيته مستغتيا عن الناس: زاهدا بما في أيديهم، و رأيت الناس محتاجين إليه: طالبين ما عنده
“Kalau Anda mau bertanya tentang dia, maka setiap orang yang Anda temui akan menjawab sama seperti jawaban saya terhadap Anda. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih mirip/sama perilaku lahir dan batinnya, perkataan dan perbuatannya, terang dan gelapnya kecuali dia. Bilamana ia menyuruh kaumnya pada sebuah kebaikan maka dialah yang paling pertama mengamalkannya. Dan bila melarang terhadap suatu keburukan, maka dialah yang paling jauh dari larangan tersebut. Dia sangat menjaga dari memakan harta yg bukan haknya, dan banyak orang berduyun-duyun meminta apa yang menjadi miliknya.”
Dengan nada tinggi sang pahlawan itu berdiri dan berkata, yang kelak perkataannya itu melegenda di tanah Basra Irak daerah terbesar kedua setelah Baghdad:
حسبك حسبك!! كيف يضلُّ قومٌ فيهم مثل هذا؟
“Cukup-cukup wahai saudaraku. Betapa beruntungnya engkau dan kaummu memiliki ulama seperti dia. Saya berkeyakinan bahwa engkau dan kaummu tidak akan pernah tersesat selama dia masih hidup di tengah kalian.”
Keberanian Hasan Al-Basri terhadap Penguasa Zalim
Salah satu kisah fenomenal dari seorang Hasan Al-Basri adalah keberaniannya mengatakan yang haq di hadapan seorang Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (w.95 H). Dia seorang pemimpin yang dikenal sejarawan sebagai pemimpin zalim. Ribuan nyawa tak berdosa telah tumpah ditangannya, bahkan salah satunya adalah seorang sahabat Nabi yang sangat masyhur. Abdullah bin Zubair bin ‘Awwam (w.73 H) radiyallâhu ‘anhumâ, salah satu tokoh Haramain (kota Mekkah & Madinah) kala itu.
Kejadian tersebut bermula saat Khalifah bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan (w.86 H) menjadikan Hajjaj sebagai gubernurnya di Irak. Dari sanalah bermula petualangan sang gubernur. Salah satunya adalah dengan membangun sebuah istana megah sebagai pusat administrasi kegubernuran di Wasith—wilayah ini sekarang telah dimasukkan kedalam daftar situs warisan dunia oleh UNESCO—sebuah daerah antara Baghdad dan Basra di Irak.
Istana megah tersebut “sepertinya” memang lazim bagi sang gubernur. Hanya saja sikap sombong dan pongahnya terhadap rakyat Basra yang membuat sang alim Hasan Al-Basri geram. Hajaj menyuruh rakyat Basra datang, kemudian memuja-memuji sang gubernur dan istananya, hal yang dapat melunturkan akidah. Dengan lantang beliau berkata:
“Wahai kaumku, sesungguhnya Firaun telah membangun istananya lebih megah dari yang kalian lihat. Kemudian ia berlaku angkuh. Lalu Allah ta’ala tenggelamkan, maka istananya tersebut tak sedikit pun menyelamatkannya. Wahai kaumku, kembalilah kalian kepada jalan-Nya. Sesungguhnya Dia lah sebaik-baik tempat kalian kembali”.
Sikap Hasan Al-Basri ini ternyata telah memantik api dalam sekam, yang menjadikan sang gubernur mengumpulkan para algojo dan tentaranya. Dengan murka, bak singa yang ingin menerkam mangsanya hidup-hidup, dia berkata:
تبًّا لكم وسحقا !! يقومُ عبد من عبيد أهل بصرة ويقول فينا ما شاء أن يقول ، ثم لا يجد فيكم مَن يردّه أو ينكر عليه !! واللهِ لأسقينَّكم مِن دَمِه يا معشر الجُبناء
“Kalian semua bodoh dan pengecut! Apakah kalian tidak tahu? Telah berdiri di hadapan kalian seorang jelata yang menelanjangi harga diri kita, tanpa ada satu pun di antara kalian yang membalasnya. Demi Allah akan saya peras darahnya lalu kalian minum.”
Dahsyatnya Doa Hasan Al-Basri, Lunakkan Kerasnya Hati Hajaj
Dalam waktu singkat dipanggilah Hasan Al-Basri di tengah kerumunan orang, mirip kisahnya seperti Nabi Ibrahim ‘alaihi salam di hadapan raja Namrud. Ketika memasuki pintu istana beliau melihat begitu banyak algojo dengan parang di tangannya. Dengan banyak mata tertuju padanya, beliau hanya tenang dan khusyuk menggerakkan bibir, seolah berucap sesuatu.
Dihadapkanlah sang alim ini di muka Hajjaj, tanpa rasa gentar dan takut. Bahkan rasa takut ini justru hinggap di hati Hajjaj, seolah ia berhadapan dengan majikannya. Mukanya pucat pasi, lidahnya kelu bahkan keringat dingin mengalir membasahi pelupuk mata dan pipinya. Hanya satu kata terucap pelan dari mulut Hajjaj, “Kemarilah Aba Sa’id—nama panggilan Hasan Al-Basri— Kemarilah duduklah di samping saya. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan”.
Hal yang membuat para petinggi dan yang hadir takjub. Seorang Hajjaj yang dikenal sangat bengis tak kuasa berhadapan dengan seorang Hasan Al-Basri, ulama yang dikenal sangat sederhana, tenang tapi tegas dalam hal agama. Bahkan seorang Hajjaj harus rela untuk memuji dengan sebutan gelar yang begitu agung, ”Anta sayyidul ‘ulama ya Aba Sa’id” Engkaulah pemimpinnya para ulama wahai Abu Sa’id. Pujian yang memang sangat pantas beliau dapatkan, walau tak lazim keluar dari mulut Hajjaj.
Lantas doa apa yang menjadikan seorang Hajjaj bertekuk lutut di hadapan Abu Sa’id? Doa yang menembus langit menundukkan manusia. Doa yang hanya terucap dari lisan hamba-Nya yang diberi inayah pertolongan-Nya, untuk meluluhkan hati yang keras, mencairkan jiwa yang beku.
Ketika Hasan berpamitan untuk keluar, seorang penjaga pintu istana menghampiri beliau dan berkata, ”Wahai Abu Sa’id, sesungguhnya Hajjaj memanggilmu bukan untuk hal tadi, melainkan untuk menghukummu. Kemudian saya melihat, engkau menggerakkan bibirmu saat memasuki pintu istana ini. Apa gerangan yang engkau ucap?”
Hasan hanya tersenyum lembut dan berkata:
)لقد قلتُ: (يَا وَلِيَّ نِعْمَتِي وَمَلَاذِي عِنْدَ كُرْبَتِي ؛ اجْعَلْ نِقْمَتَهُ بَرْدًا وَسَلَامًا عَليَّ كَمَا جَعَلْتَ النَّارَ بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى ابْرَاهِيم
“Aku telah berdoa, ‘Wahai Zat pemberi ku nikmat dan tempatku berlindung. Jadikanlah murkanya kesejukan dan keselamatan bagiku, sebagaimana Kau ubah api menjadi kesejukan dan keselamatan bagi Ibrahim ‘alaihissalam’”.
Doa, Senjata Mukmim
Do’a adalah senjatanya orang mukmin. Hanya saja senjata ini kembali kepada si penggunanya. Bilamana dia mahir dan punya bekal yang cukup untuk memainkan senjatanya, pasti dia akan selamat dan menang. Hal itu berlaku sebaliknya.
Artinya, sebaik-baiknya doa adalah yang di ampaikan oleh orang yang mengerti dan tahu benar hakikat doa tersebut. Waktu yg mustajab, adab dalam berdoa dan tentunya selalu membiasakan membaca doa-doa yang digunakan oleh orang-orang saleh, yang kita kenal dengan doa ma’tsur.
Bilamana doa kita sampai detik hari ini, belum Allah kabulkan, barangkali Allah ta’ala masih sangat rindu dengan keluh kesah kita. Sebagaimana Tsabit al Bannani (w.127 H) seorang tabi’in ahli hadits pernah berkata:
ما دعا الله المؤمن بدعوة، إلاّ وكّل بحاجته جبريل ، فيقول: لا تعجل بإجابته ، فإني أحب أن أسمع صوت عبدي المؤمن
“Tidaklah hamba Allah ta’ala itu berdo’a, kecuali Allah jadikan malaikat Jibril sebagai wakil si hamba tersebut. Maka Allah berfirman, ‘Janganlah segera dikabulkan doanya, karena Aku masih ingin mendengar keluh kesah hambaku.’”
Atau barangkali Allah ta’ala simpan doa kita. Kelak Allah kabulkan di hari kiamat, atau Allah jauhkan diri kita dan keluarga dari musibah dan bala. Sebagaimana hal tersebut Rasulullah Saw sampaikan dalam sebuah hadits:
ما من مسلم دعا الله بدعوة ليس فيها قطيعة رحم ولا إثم إلا أعطاه الله بها إحدى خصال ثلاث: إما أن تعجل له دعوته، وإما أن تدخر له في الآخرة، وإما أن يرفع عنه من السوء (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء (6/ 311).
Mudah-mudahan kita semua dicatat oleh Allah, sebagai hamba-Nya yang mustajab doanya. Juga diberikan kemudahan dalam segala hal baik urusan dunia maupun akhirat. Amin.
[Referensi: At Thabaqât alkubrâ Ibn Sa’ad 7/114, al Muntadzim f`i Târikh mulûk wal umam Ibn al Jauzy 7/136, wafyatul ‘ayân Ibn Khalkan 2/69 , suwar min hayât tabi’in Dr Abdurrahman 1/107]
Baca Juga Artikel lainnya: “Sedekah Tsabit bin Qais yang Membuat Ar-Rahman Tersenyum”
Oleh: Roni Fajar V. Lc., MA.*
*Penulis adalah Kandidat Doktor Theologi Hadits, Universitas Al-Azhar Mesir
IG: ronifajarv | FB: Roni Fajar Cairo |Email: [email protected]