Sedekah Tsabit bin Qais yang Membuat Ar-Rahman Tersenyum

Sedekah Tsabit bin Qais yang Membuat Ar-Rahman Tersenyum
Sedekah Tsabit bin Qais yang Membuat Ar-Rahman Tersenyum

Suasana Madinah ketika itu penuh dengan romantika kekhusyuan, bahu membahu dan sedekah menjadi warna keseharian, yang elok di pandang mata. Wanita dengan aurat tertutup rapi, para lelaki yang menghormati kaum hawa dan lantunan suara merdu Al-Quran, adalah hiasan langit yang jatuh di bumi Madinah. Sampai detik ini Madinah dikenal sebagai salah satu lumbung kurma berkualitas, sayang rasanya kalau kita pergi berhaji kemudian singgah ke Madinah, tanpa mencicipi atau membungkus kurmanya untuk dibawa pulang ke tanah air.

Siang itu matahari mulai condong ke arah barat, angin berhembus halus menyapa para sahabat yang duduk rapi mendengarkan wejangan dari sang Nabi. Dari kejauhan terlihat seorang lusuh berjalan tertatih mendekati ke rumunan orang di masjid, dengan terbata penuh kesedihan, lelaki ini berkata: “Saya kelaparan, adakah di antara kalian yang punya sedikit makanan?”, semua mata tertuju penuh haru, dan Nabi pembawa rahmat itu pun mendekatinya, menatapnya penuh peduli, kemudian bergegas berlari kecil ke arah Ummahatul mukminin barang kali ada sepptong roti, kurma atau segelas susu segar pelepas dahaga sang musafir.

Nabi Saw pun kembali dengan wajah sendu, seolah hari itu bukanlah miliknya, ya hanya segelas air putih yang dimiliki oleh pemimpin terbesar sepanjang sejarah manusia itu. Tak ada makanan pokok menginap di rumahnya. Kesederhanaan dan kesahajaan terlalu nampak jelas dalam hidupnya, sukar dan bahkan tidak ada lawan bandingnya, Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam.

Sedekah yang Mengundang Senyuman Allah Swt

Berdiri dengan penuh harap, bertanya kepada para sahabatnya: “Adakah di antara kalian yang bersedia menjamunya malam ini?” lama terdiam senyap tak ada suara … hingga berdirilah seorang yang wajahnya penuh ketegaran lelaki paruh baya, sederhana namun kaya akan kepedulian adalah penduduk tulen Madinah. Dengan bibir bergetar berkata: ”Saya siap ya Rasulullah” tegas Tsabit bin Qais radiyallâhu ‘anhu… “Alhamdulillah…Allahu Akbar” serempak suara jemaah di Masjid bergema …

Malam yang penuh damai di Madinah, dengan suara hewan malam silih berganti, menambah syahdu suasana rumah Tsabit sekeluarga dan tamu undangannya. Ada begitu banyak rahasia yang tak diketahui oleh sang tamu dari kebahagiaan yang menyelimuti mereka. Sampai keesokan harinya berpamitanlah sang tamu ini, untuk melanjutkan perjalanannya.

Selang berapa menit setelah kepergiaan tamunya, datanglah utusan Nabi memanggil sahabat Tsabit ini untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Dengan wajah penuh gembira, beliau kemudian berkata:

(ضحك الله الليلة، أو عجب من فعالكما)

“Wahai sahabatku Tsabit, sesungguhnya Allah ta’ala Tuhan kita tersenyum/tertawa dengan apa (sedekah dengan menjamu tamu) yang engkau dan istrimu lakukan tadi malam.”

Di Balik Kesahajaan Tsabit bin Qais 

Tentunya kita bertanya, apa yang telah dilakukan oleh Tsabit, sehingga Allah ta’ala begitu takjub bahkan digambarkan oleh Nabi, bahwa Allah Swt tertawa – hadis ini termasuk hadis mutasyâbih, yang mana tertawanya Allah tidak bisa disamakan dengan kita sebagai makhluknya, sehingga kita kembalikan semuanya kepada Allah, atau kita mentakwilnya; bahwa Allah kagum terhadap perbuatan tsabit. wallahu’alam -.

Dalam berbagai riwayat, diceritakan bahwa sebelum tamu ini masuk ke rumahnya, terjadilah dialog antara Tsabit dan istrinya:  Tsabit: ”Wahai istriku, apa yang kita miliki untuk menjamu tamu kita, tamu Rasululullah Saw malam ini ?”

Dengan tatapan penuh ketenangan istrinya berkata: “Tidak ada apa-apa, hanya sedikit makanan untuk anak kita, wahai suamiku.”

“Baiklah, segerakanlah anak kita untuk tidur, biar rasa laparnya hilang, kemudian siapkanlah hidanganngya untuk tamu kita, bilamana ia ingin menyantapnya, redupkanlah lampunya, dan perlihatkanlah seolah-olah kita sedang ikut makan bersamanya, sehingga ketika ia menyelesaikan makan malamnya, nyalakanlah lampunya kembali.” Timpal tsabit dengan penuh keyakinan.

Baca Juga Artikel lainnya: “Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Shalawat Tarhim”

Hikmah Kisah Tsabit bin Qais

Bagi seorang Tsabit bin Qais sedekah adalah ringan. Dengan hati yang lapang begitu mudah mereka menyedekahkan apa yang Ia miliki. Meskipun hidup mereka menjadi sempit karena melepaskannya, itulah yang tercermin dalam dua kutipan ayat Al-Qur’an ini:

“Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. al Hasyr : 9﴿

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Ali Imran:92 ﴿

Tidak lain dan tidak bukan adalah karena keimanan yang telah membuncah dalam hati mereka menjadi. Bagai buncahan lava yang telah siap untuk erupsi, mengalir deras dalam sikap dan laku mereka. Selalu mampu memberi manfaat kepada siapa saja tanpa mengenal keadaan lapang maupun sempit.

Namun mungkin bagi sebagian orang ada yang begitu sulit, sehingga untuk melepasnya dan melakukan sedekah pun butuh kalkulasi untung rugi, wal ‘iyadz billah – semoga kita dilindungi dr hal demikian -, tapi memang begitulah sifat dan watak dari sebagian manusia, sebagaimana firman-Nya:

“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta”. Al ‘Aadiyah:8 ﴿

Namun Tuhan kita Allah Swt, telah mengajari kita agar menjadi umat yang wasat / moderat yang tidak berlebihan dalam mengeluarkan harta. Sehingga menjadi menyesal kelak, dan juga tidak pula menjadi kikir karena harta yang selalu kita kekang. Dan inilah sebaik-baiknya kita dalam bersikap.

Semoga kita menjadi hamba-Nya, yang rajin melakukan sedekah setiap hari dengan segala kemampuan yang kita miliki, karena itulah sebenar-benarnya bekal kita kelak di yaumil hisâb. Wallâhu ‘alam.

Referensi:

Sahih Bukhâri (5/34) no: 3798, Sahih Muslim (3/1624) no: 2054. Fathul Bari  Ibn Hajar (7/119). Al-Kâmil f`i târikh li Ibnul Atsir (1/583). Makkah wal madinah fil jâhiliyyah wa ahdi rasul li Ahmad Ibrahim Syarif (1/293). Al-Ishobah fi tamyiz as shahâbah Ibn Hajar (1/511).

Baca Juga Artikel lainnya: “Yang Diresahkan Ibnu Khaldun dari Ngaji Online”

Oleh: Roni Fajar V. Lc, MA*

*Penulis adalah Kandidat Doktor Theologi Hadits, Universitas Al-Azhar Mesir

IG: ronifajarv | FB: Roni Fajar Cairo |Email: [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *