Jakarta Charter atau piagam Jakarta merupakan sebuah rumusan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dasar negara sendiri bermakna pandangan hidup atau filsafat negara (filosophy politics), yang menjadi acuan dibuatnya peraturan-peraturan. Maka dari itu, Piagam Jakarta yang merupakan rumusan dasar negara memiliki kedudukan penting bagi Negara Indonesia. Sebab di atasnya dibangun peraturan-peraturan, yang kemudian menjadi acuan berjalannya Negara Indonesia yang merdeka.
Menariknya, dari Piagam Jakarta ini kita bisa melihat bagaimana perjuangan para ulama guna turut andil dalam merumuskan dasar NKRI. Sebab pasalnya, Piagam Jakarta dirancang oleh panitia sembilan untuk menjembatani pandangan dasar NKRI menurut para ulama yang di sini merupakan kaum nasionalis Islam dan menurut yang lainnya.
Dari Piagam Jakarta ini, dapat kita lihat bagaimana perjuangan para ulama, santri, dan para nasionalis Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar Islam walaupun berbenturan dengan para penjajah, kolonialis, nasionalis, serta lintas agama lainnya.
Latar Belakang Dibentuknya BPUPKI
Berawal dari pemberontakan tentara PETA pada 15 Februari 1945 di Blitar. Lalu disusul pada tanggal 21 April 1945 di Cilacap. Kemudian puncaknya terjadi di Pangalengan, Bandung pada tanggal 4 Mei 1945 yang bertepatan dengan 21 Jumadil awal 1364 H.
Pemberontakan-pemberontakan ini didasari atas motif penagihan janji kemerdekaan yang diberikan pada tanggal 7 September 1944 oleh Kunaiki Koiso, seorang Perdana Menteri Jepang ke-41 (1880-1950 M). Di waktu yang sama, soliditas kaum nasionalis dan ulama di Jakarta sedang pada puncaknya.
Guna meredam keadaan yang semakin tidak kondusif bagi pihak Jepang, Itagaki Sishiro, panglima wilayah ke-7 Jenderal yang berada di Singapura melancarkan sistem sosial politik dengan memberi izin berdirinya Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPOPK, tanpa kata Indonesia). Selanjutnya akrab disapa Badan Penyelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dengan berdirinya BPUPKI, siasat Jepang berhasil membuat keadaan menjadi lebih kondusif. Para ulama dan tentara PETA, yang mulanya melakukan penyerangan dengan senjata berhasil diredam. Sistem perlawana pun berhasil diubah, dilakukan dengan damai melalui debat politisi di dalam forum BPUPKI. Jelas hal ini berhasil mengukuhkan posisi tentara Jepang di Indonesia yang saat itu terpojokkan dalam perangnya melawan Amerika.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Hari Kebangkitan Nasional: di Balik Pemilihan Budi Utomo”
Siasat Jepang dan Cita-cita Ulama Islam
Dalam pembentukan BPUPKI, Jepang menggunakan taktik untuk meredam para ulama beserta kaum nasionalis Islam di belakangnya. BPUPKI yang beranggotakan 62 orang, hanya terdiri dari 15 orang ulama. Dapat disimpulkan, suara perwakilan Umat Islam hanya 25% di dalam BPUPKI. Jika memang BPUPKI dibentuk guna menjembatani kaum nasionalis dan para ulama, mengapa jumlah perwakilan Umat Islam jauh dari 50%?
Belum cukup sampai di situ. Sejalan dengan pandangan Abdul Kahar Muzakir, terdapat taktik licik Jepang lainnya guna meredam peran para ulama dalam perumusan dasar negara. Selain jumlah keanggotaan ulama yang minim, Jepang juga mengangkat ketua dan wakil ketuanya berasal dari kalangan Kejdawen, yang pernah menolak cita-cita persatuan Indonesia dan pernah bekerja pada Kolonial Belanda.
Di sisi lain, terdapat dua pendapat dalam perancangan rumusan dasar negara. Sebagaimana penuturan Dr. Soepomo, para ulama menginginkan Indonesia merdeka berdasarkan Islam dan ada juga blok yang berpendapat sebaliknya. Maka kiranya menarik untuk kita telisik, mengapa para ulama gigih untuk memperjuangkan Indonesia merdeka dengan atas dasar Islam?
Setidaknya ada tiga faktor yang memantik semangat perjuangan para ulama. Pertama, sebelum datangnya tentara Jepang, Indonesia pernah terdiri dari 40 kesultanan yang menegakkan politik Islam. Kedua, propaganda tentara Jepang yang seolah-olah berada dalam barisan umat Islam. Jepang menjanjikan pembebasan para ulama yang ditahan oleh kolonial Belanda. Ketiga, Jepang juga mengungkit kekejaman katolik kolonial Belanda. Hal ini kembali membuka luka lama, terutama di kalangan para petani yang mayoritas beragama Islam.
Oleh karena itu, kaum muslim serta para ulama gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Juga semakin gencar dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekaligus menggantungkan harapannya pada tentara Jepang. Di sisi lain, hal ini malah memperkuat kedudukan Jepang di Indonesia.
Lahirnya Piagam Jakarta
Kemudian 1 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI berhasil menemukan solusi untuk perumusan dasar negara. Terbentuklah panitia sembilan yang terdiri dari 4 orang berasal dari Umat Islam dan 5 orang berasal dari selainnya. Di antaranya: KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Agus Salim. Lagi-lagi Umat Islam berada dalam jumlah yang lebih kecil. Namun, perjuangan ulama tidak pernah mundur barang selangkah.
Dari kepanitiaan tersebut menghasilkan perumusan Preambule yang kerap disapa Jakarta Charter (Piagam Jakarta). Rumusan dasar NKRI ini disepakati pada 22 Juni 1945 pada hari Jumat yang bertempatan dengan 11 Rajab 1364 H. Penamaan Jakarta Charter sendiri diusulkan oleh Mohammad Yamin. Kata Jakarta diambil karena bertepatan dengan dibangunnya kota Jakarta pada 22 Juni 1527. Dan kata Charter diambil dari Atlantik Charter 14 Agustus 1941 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sayangnya, dalam perjalanannya kalimat “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya” dihapus. Padahal, A. A. Maramis yang beragama Kristen saja menyetujui 200% terhadap kalimat tersebut. Dengan alasan, dalam kalimat tersebut dituliskan “ketuhanan”, yang maknanya meyakini Tuhan, sehingga tidak menyalahi trinitas. Kemudian pada kalimat berikutnya, disimpulkan bahwa, syariat hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Maka, selain agama Islam, tidak terikat dengan hukum tersebut. Berdasarkan hal ini dapat kita lihat, bahwasanya hakikat toleransi dapat berjalan tanpa harus menghapuskan ajaran yang menjadi kewajiban kita.
Bagaimana gigihnya para ulama dalam membangun negara Indonesia, semangat politisnya, keberaniannya, serta komitmennya yang kuat terhadap Islam; tentunya patut kita teladani. Sudah lanya kita melanjutkan perjuangan ini, guna membangun masyarakat yang islami, bilkhusus kita sebagai Azhari.
Tak lupa rasa hormat yang teramat kepada para pelopor kemerdekaan Indonesia, para pahlawan yang jasanya tak dapat diukur dengan segala apa pun. Hanya Allah lah sebaik-baiknya pembalas atas apa yang mereka lakukan.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Sila Kedua dalam Gerusan Teknologi”
Oleh: Khofifah Hayati
Penulis adalah Kru Majalah Manggala periode 2020/2021