Hari ini, kota Jakarta memperingati hari lahirnya yang ke-493. Sebelum bernama Jakarta pada mulanya kota ini bernama Sunda Kelapa. Ia Berdiri dan mulai digunakan sejak abad ke-5 sebagai kota pelabuhan di masa Tarumanegara. Pada abad ke-12 pelabuhan Sunda Kelapa di bawah kekuasaan Sunda Pajajaran. Sunda Kelapa menjadi bandar besar yang aktif, tempat dimana para saudagar dari berbagai penjuru melakukan transaksi jual beli.
Sunda Kelapa terletak di pesisir utara laut Jawa. Posisi Sunda Kelapa yang strategis memang sangat berpotensi secara geografis untuk dikembangkan menjadi bandar besar. Tak heran jika keberadaannya diperebutkan oleh tiga kekuasaan besar yakni Pajajaran, Kesultanan Islam Demak dan Portugis. Tahun 1511 pertama kalinya Portugis menginjakan kaki di Nusantara dan menguasai Malaka. Hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap aktivitas perniagaan di Sunda Kelapa.
Pasalnya para pedagang muslim yang semula menggunakan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan, merasa tidak diuntungkan. Akibatnya banyak para pedagang muslim mengalihkan jalur perdagangan mereka dari Selat Malaka ke Sunda Kelapa.
Kerajaan Sunda Pajajaran yang pada saat itu berkuasa atas Sunda Kelapa memiliki hubungan politik yang baik dengan Portugis. Mereka membuat perjanjian untuk saling membantu satu sama lain. Portugis akan membantu Pajajaran apabila diserang oleh Islam. Sebagai imbalannya, Pajajaran mengizinkan Portugis membangun benteng atau loji di Sunda Kelapa serta memperoleh lada banyak 350 kuintal per tahun.
Di timur pulau Jawa Kesultanan Islam Demak yang pada saat itu sedang berkembang menentang keras perjanjian yang dibuat antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis. Mereka menganggap perjanjian ini sebagai ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara khususnya Pulau Jawa. Tak hanya itu kedatangan Portugis di Indonesia diyakini bukan semata-mata untuk misi politik atau ekonomi saja, melainkan ada misi keagamaan yang terselubung di dalamnya.
Mr. Hamid Al-Gadri dalam bukunya yang berjudul “Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia”. Menuturkan, bahwa kedatangkan Portugis di nusantara tidak bisa dipisahkan dari kelanjutan perang salib. Yang mana pada abad ke-15 sampai abad ke-16 Portugis dan Spanyol masih terlibat perang salib di semenanjung Iberia Spanyol dengan Portugis sebagai pemimpin kristen melawan Islam. Maka dari itu Portugis ingin memutus jalur perdagangan yang sudah terjalin selama berabad-abad antara negara-negara Islam di timur tengah dengan Indonesia, yang mereka yakini sebagai faktor kuatnya ekonomi negara-negara Islam.
Berangkat dari kegelisahan Kesultanan Islam Demak terhadap misi yang di bawa Portugis ke Indonesia. Maka diutuslah seorang jendral yang sangat taat pada allah dan merupakan seorang ulama yang bernama Fadilah Khan atau Fatahillah yang biasa dipanggil Wong Agung Sabrang atau Ratu Bagus Pasai yang dikenal oleh bangsa Portugis sebagai Falatehan. Fatahillah diutus langsung oleh Syarif Hidayatullah, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati untuk merebut Sunda Kelapa yang berada dibawah kekuasaan Padjajaran dari kencaman bangsa Portugis.
Atas perintah tersebut kemudian Fatahillah mengumpulkan armada perangnya. Pada misi ini Fatahillah dibantu oleh kesultanan-kesultanan Islam yang sudah berdiri di nusantara pada saat itu, yakni, Cirebon dan Banten. Kesultanan-kesultanan Islam di nusantara bersatu saling bahu membahu memberikan sumbangsih terbaiknya demi keberhasilan misi ini. Perang melawan Portugis disebut sebagai perang suci demi syiar Islam, karena kedatangan Portugis ke Indonesia dianggap sebagai misi kristenisasi yang mana sebelumnya Portugis sudah berhasil menguasai Gowa dan Pasai kemudian Malaka yang juga merupakan jalur pelayaran penting ke Indonesia.
Dinaungi semangat jihad fisabilillah, Fatahillah mengerahkan armada perangnya dari Demak, kemudian pergi menuju Kesultanan Cirebon guna menggabungkan kekuatan. Setelah itu Fatahillah menuju Kesultanan Banten yang memang sudah lama bergejolak melawan Pajajaran. Kemudian pada tahun 1526 Sultan Trenggono, Raja Demak ke-3 mengirim 20 kapal perang dan 1500 prajurit. Armada perang Fatahillah terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa.
Di tahun yang sama, guna menghalau kekuatan armada perang Fatahillah, Alfonso De’alburquerque mengirim bala tentaranya di bawah pimpinan Fransisco De Sa menuju Sunda Kelapa. Armada yang dikirim terdiri dari 6 kapal berjenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Diperkirakan membawa 600 prajurit bersenjata lengkap. Armada perang ini jelas lebih besar, lebih kuat dan lebih siap, berbanding terbalik dengan armada perang milik Fatahillah.
Terjadilah pertempuran sengit antara armada perang Fathillah dan Portugis di Sunda Kelapa. Setelah melalui pertempuran sengit yang mengorbankan banyak nyawa, atas izin Allah SWT pada tanggal 22 Juni 1927 bertepatan dengan 9 Muharram 923 H Portugis berhasil ditaklukan, dengan segala keterbatasan jumlah dan kekuatan Fatahillah dan pasukannya mampu memukul mundur Portugis dan mengambil alih Sunda Kelapa.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. atas kemenangan yang diraih, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sebuah nama yang dinisbatkan kepada Al-Quran surat Al-fath ayat 1 yang berbunyi إنّ فتحنا لك فتحاً مبيناً yang artinya “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”. Diambil dari kalimat فتحاً مبيناً berarti kemenangan yang nyata. Dalam bahasa sangsekerta kemenangan yang nyata disebut Jayakarta yang kemudian hari setelah kemerdekaan Indonesai dikenal sebagai Jakarta.
Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1527, Sunda Kelapa kembali berhasil direbut dari Portugis, berbayarkan keringat, darah bahkan nyawa umat Islam yang dikomandoi Fatahillah. Tidak sedikit pengorbanan umat Islam demi menghadirkan kenyamanan, kedamaian, keamanan hingga terwujudnya kota Jakarta saat ini. Tidak akan ada pasukan yang berani mati jika bukan umat Islam, yang mengejar kemuliaan dan keridhoan tuhan-Nya, berharap surga tertinggi yang dijanjikan bagi mereka yang gugur memperjuangkan agamanya.
Sejak awal kemunculannya sampai hari ini, Jakarta atau Sunda Kelapa merupakan pusat kendali ekonomi dan politik Indonesia. Wujudnya yang kita kenal saat ini, tidak sebatas perahu yang bersandar di dermaga-dermaga. Melainkan sebuah kota yang didominasi bangunan mewah dan gedung-gedung pencakar langit. Jakarta atau Sunda Kelapa hari ini menjadi poros pergerakan indonesia dan menjadi wajah bagi indonesia di mata dunia.
Kini di usianya yang semakin senja, semoga Jakarta tetap menjadi kota produktif, dan terus melahirkan generasi-generasi yang mewarisi semangat juang para pendahulunya. Generasi yang bisa memaknai setiap pengorbanan dan tetes darah yang jatuh untuk kebebasan kota ini.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Sila Kedua dalam Gerusan Teknologi”
Oleh: Yuqa Nurhamida
Penulis adalah Kru Majalah Manggala Periode 2020/2021