Esai, Opini  

Kebijkan Pendidikan dalam Era Disrupsi

sumber: kumparan.com
sumber: kumparan.com

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim*

Perkembangan teknologi yang pesat pada revolusi industri 4.0 telah menciptakan fenomena inovasi disruptif (disruptive innovation) dalam dasawarsa terkahir ini, yaitu inovasi yang menciptakan sebuah tren baru dalam berbagai aspek. Banyak pihak yang mengistilahkan disrupsi adalah era gangguan, Era “Gangguan” yang dianggap banyak merugikan beberapa orang, komunitas, lembaga bahkan sebuah Negara.

Disrupsi adalah masalah bagi lembaga-lembaga besar, baik lembaga bisnis maupun lembaga negara. Dalam merespon gejala disrupsi, tentunya para pemegang kebijakan harus tepat dalam bertindak. Maka hal yang paling mendasar dalam menghadapi hal ini adalah mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sesuai dan adaptif terhadap iklim disrupsi. Dalam hal ini inovasi disrupsi terhadap bidang pendidikan adalah hal utama dalam mempersiapkan SDM yang mampu bersaing di era ini.

Ironisnya, kenyataan di lapangan menyampaikan bahwa lapangan kerja sulit mendapat SDM siap pakai, meski sarjana di Indonesia belimpah-ruah. Berdasar dari  penelitian yang dimuat dalam tulisan Prof. Satrio Sumantri Brojonegoro, Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia, karyawan Indonesia 92% sangat lemah dalam membaca, 90% lemah dalam menulis, 84% lemah dalam etos kerja, 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam kemampuan bekerja dalam tim. Kemampuan critical thinking, creativity, communication, dan collaboration sangat diperlukan untuk berkembang di setiap kondisi zaman, terlebih era disrupsi.

Berangkat dari perkara tersebut,  menarik rasanya mengupas kebijakan Mendikbud RI, Nadiem Makarim sebagai model inovasi disrupsi dalam bidang kebijakan pendidikan. Ia membuat terobosan baru untuk mengatasi kualitas SDM dengan menginisiasikan program ‘Merdeka Belajar’ yang dilanjutkan dengan ‘Kampus Merdeka’ untuk pendidikan perguruan tinggi. Namun, seberapa relevankah kebijakan ini dalam menghadapi arus disrupsi?

DISRUPSI SEBAGAI GANGGUAN DAN INOVASI

Paham disrupsi pertama muncul dari pemikiran Clayton M. Christensen yang ia tulis di buku The Innovator’s Dilemma (1997). Christensen memahami disrupsi dalam perspektif yang berbeda, yaitu industri, bisnis dan keuangan. Christensen melihat disrupsi sebagai peluang inovasi yang menguntungkan. Dari perspektif organisasi/perusahaan mapan (incumbent), pendatang baru itu dapat dianggap sebagai kompetitor yang mengganggu. Namun itulah yang dimaksud inovasi disruptif (disruptive innovation) yang memanfaatkan apa yang dianggap remeh sebagai peluang untuk menciptakan sesuatu yang bernilai dan bermutu dengan harga yang terjangkau dan layanan yang efisien.

Berdekatan waktu dengan terbitnya, Francis Fukuyama juga menggunakan istilah ini dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order (1999). Dalam hal ini, Fukuyama memilih perspektif ilmu sosial dalam menganalisis perubahan masyarakat menjelang akhir abad ke-20, dan memaknai disrupsi sebagai gangguan terhadap nilai dan tata sosial, yang punya risiko memerosotkan peradaban. Fukuyama berpendapat bahwa disrupsi mesti diatasi. Menurutnya, agar kita bisa menata kembali masyarakat secara sosial, perhatian perlu diarahkan kepada dua kapasitas manusiawi, yaitu kesadaran akan kodrat manusia dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri.

Maka Kesamaan Christensen dan Fukuyama ialah mereka menulis dalam konteks zaman yang sama ketika teknologi informasi mulai mencapai kemajuan yang definitif dan dengan cepat mempengaruhi pola-pola relasi dan komunikasi. Dalam konteks dan kondisi perkembangan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi yang serba cepat, memang the great disruption tampaknya tak terhindarkan. Selama ilmu pengetahuan dan teknologi masih terus berkembang, maka selama itu pula disrupsi akan terjadi.

Inovasi disruptif terjadi pada berbagai aspek dari sarana transpotasi, ekonomi, pelayanan publik, bahkan hal ini juga terjadi dalam bidang pendidikan. Salah satu contoh kongret disrupsi dalam bidang pendidikan adalah munculnya munculnya MOOCs (Massive Online Open Courses) yaitu kursus secara online yang mampu menjadi alternatif perguruan tinggi, dan bukan menjadi sebuah kemustahilan akan menjadi penggantinya.

Dari paparan di atas dapat kita ambil dua hal penting yang kita hadapi dalam era disrupsi ini. Pertama, tuntutan perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, membuat inovasi yang sifatnya disruptif sangatlah diperlukan dan itu merupakan peluang untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Kedua, faktor tersebut juga membuat terkikisnya nilai moral dan membuat keraguan terhadap kebenaran moralitas. Artinya, SDM ideal dalam era ini harus dapat mengambil peluang dan bersifat adatif, namun di lain pihak harus tetap berusaha menjaga kapasitas moralnya dengan tantangan berkali lipat.

Kebijakan Inovasi dalam Disrupsi

Dari berbagai aspek yang terkena efek disruptif zaman, pendidikan adalah aspek yang hendaknya kita beri perhatian lebih. Karena SDM yang ideal berbanding lurus dengan kebijakan dan sistem pendidikan yang ada. Maka kembali kepada pertanyaan utama, bagaimanakah inovasi kebijakan pendidikan Mendikbud, Nadiem Makarim, dalam payung merdeka belajar menjawab hal ini?

Tiga bulan setelah Nadiem dilantik, ia menjawab tantangan era disrupsi dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan baru. Melihat dari titik-titik fundamental yang mengubah era ini, yaitu efesiensi, mudahnya komunikasi dan perubahan pola interaksi. Maka, empat poin utama dalam kebijakan merdeka belajar dirasa sudah cukup menyentuh titik perubahan itu. Mari kita tilik satu persatu mengenai relavansi kebijakannya dalam menanggapi disrupsi sebagai peluang.

Pertama penghapusan UN dan menganti dengan ujian Asesmen yang dilaksanakan untuk memudahkan pihak sekolah untuk menilai secara langsung dan memenuhi kebutuhan peserta didik. Lalu perampingan pola administrasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memangkas banyak pola birokrasi yang rumit. Dua perubahan kebijakan di atas bisa dengan signifikan meningkatkan efesiensi pendidik dalam berinovasi dan mengembangkan pola yang tepat bagi tiap peserta didiknya. Di sini pendidik tidak perlu dipusingkan dengan cara kaku dalam mengejar nilai UN atau menulis dan mempersiapkan RPP yang terkesan rumit. Namun, pendidik dituntut untuk terus berinovasi dan adatif terhadap zaman.

Sementara kebijakan lainnya yaitu Asasmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (literasi, numerasi, karakter) yang mengacu pada PISA dan TIMSS digadang mampu melihat daya saing peserta didik dalam lingkup global. Hal itu tentunya diperlukan. Bagaimana tidak, sekarang dunia sudah bagaikan daun kelor di mana jarak dan wilayah tidak lagi terbentang luas tapi beririsan dalam masyarakat informasi. Terkahir Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi yang lebih fleksibel, diharapkan berimbas pada pemerataan pendidikan di tiap wilayah.

Tidak berhenti di pendidikan dasar dan menengah, kebijakan “merdeka” dalam pendidikan ini punya ranah tersendiri dalam pendidikan tinggi. Seperti yang disampaikan di awal bahwa, pada era disrupsi akan banyak muncul perubahan pola dari berbagai aspek. Maka imbasnya akan banyak sesuatu yang sebelumnya diminati oleh masyarakat, tidak ada artinya lagi di era ini. Maka untuk menjawab. tantangan itu, dalam kebijakan ini perguruan tinggi dimudahkan untuk membuka prodi baru yang sesuai dengan permintaan zaman. Bukan tidak mungkin akan ada masa dimana prodi media sosial adalah bagian dari Fakultas Ilmu Komunikasi.

Sementara dalam mendorong mahasiswa supaya lebih adaptif terhadap masyarakat, lingkungan maupun pasar. Kebijakan ini mewajibkan kampus  memberi hak mahasiswa mengambil Sistem Kredit Semester (SKS) di luar PT (berupa magang, pertukaran pelajar, kegiatan wirausaha, mengajar, dan proyek lainnya) selama 2 semester, dan mengambil SKS di prodi yang berbeda selama 1 semester. Di sini mahasiswa dituntut untuk lebih adaptif dan benar benar mengefisiensikan waktu kuliah dengan mengenal kondisi masyarakat juga dunia kerja.

Berbekal paparan di atas, kebijakan Nadiem yang sifatnya disrupsi dirasa mampu menjawab era ini. Kembali kepada pemahaman Fukuyama yaitu disrupsi sebagai penggangu moralitas. Maka untuk menghadapinya sebagai peluang dan ganguan dalam bidang pendidikan, realisasi kebijakan ini memerlukan pendidik yang berkualitas bukan saja sebagai agen moral yang diharuskan memberikan uswah. Berarti secara tidak langsung, pendidik dituntut untuk menjadi inovatif dan adaptif. Tentunya pemerintah dalam hal ini perlu memerhatikan kesejahteraan, kualitas dan juga pola pikir dari tiap pendidik. Apabila variabel ini tidak terpenuhi maka perubahan dan peluang yang coba disusuri akan melahap kita begitu saja dan malah tidak menjadi simbol kemenangan bangsa dalam menghadapi era ini.

*Penulis adalah editor Majalah Manggala 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *